PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2018
TENTANG
PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Sungai Citarum merupakan sungai strategis nasional sebagai kesatuan ekosistem alami yang utuh dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam dan sumber daya buatan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu disyukuri, dilindungi, dan diurus dengan sebaikbaiknya serta wajib dikembangkan dan didayagunakan secara optimal bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat;
b. bahwa pada Daerah Aliran Sungai Citarum telah terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian yang besar terhadap kesehatan, ekonomi, sosial, ekosistem, sumber daya lingkungan, dan mengancam tercapainya tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. bahwa untuk penanggulangan pencemaran dan kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum perlu diambil langkah-langkah percepatan dan strategis secara terpadu untuk pengendalian dan penegakan hukum, yang mengintegrasikan kewenangan antarlembaga pemerintah dan pemangku kepentingan terkait guna pemulihan DAS Citarum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum;
Mengingat : Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
2. Pencemaran DAS adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam DAS oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
3. Kerusakan DAS adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
4. Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan DAS adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk pelestarian fungsi DAS meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
5. Pencegahan Pencemaran DAS dan/atau Kerusakan DAS adalah kegiatan perencanaan terpadu dan menyeluruh dalam pola pencegahan pencemaran dan/atau perusakan DAS melalui aktifitas fisik dan/atau non-fisik maupun melalui penyeimbangan hulu dan hilir DAS Citarum.
6. Penanggulangan Pencemaran DAS dan/atau Kerusakan DAS adalah cara atau proses untuk mengatasi pencemaran DAS dan/atau perusakan DAS.
7. Pemulihan Fungsi DAS adalah serangkaian kegiatan penanganan lahan yang mengalami kerusakan lingkungan meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi untuk memulihkan fungsi DAS yang disebabkan oleh pencemaran DAS dan/atau perusakan DAS.
BAB II
PEMBENTUKAN
Pasal 2
Untuk melakukan percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum secara terpadu dibentuk Tim Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum, yang selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini disebut Tim DAS Citarum.
Pasal 3
(1) Tim DAS Citarum bertugas mempercepat pelaksanaan dan keberlanjutan kebijakan pengendalian DAS Citarum melalui operasi pencegahan, penanggulangan pencemaran dan kerusakan, serta pemulihan DAS Citarum secara sinergis dan berkelanjutan dengan mengintegrasikan program dan kegiatan pada masing masing kementerian/lembaga dan pemerintah daerah termasuk optimalisasi personel dan peralatan operasi.
(2) Tim DAS Citarum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
BAB III
ORGANISASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
Tim DAS Citarum terdiri atas:
a. Pengarah; dan
b. Satuan Tugas, yang selanjutnya disebut Satgas.
Bagian Kedua
Pengarah
Pasal 5
Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
terdiri atas:
Ketua : Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman;
Wakil Ketua I : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
Wakil Ketua II : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
Wakil Ketua III : Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan;
Anggota :
1. Menteri Dalam Negeri;
2. Menteri Agama;
3. Menteri Keuangan;
4. Menteri Riset, Teknologi, danPendidikan Tinggi;
5. Menteri Kesehatan;
6. Menteri Perindustrian;
7. Menteri Energi dan Sumber DayaMineral;
8. Menteri Pekerjaan Umum danPerumahan Rakyat;
9. Menteri Pertanian;
10. Menteri Lingkungan Hidup danKehutanan;
11. Menteri Kelautan dan Perikanan;
12. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional;
13. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
14. Menteri Badan Usaha Milik Negara;
15. Jaksa Agung Republik Indonesia;
16. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
17. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
18. Sekretaris Kabinet; dan
19. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Pasal 6
Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bertugas:
a. menetapkan kebijakan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum secara terintegrasi dan berkelanjutan; dan
b. memberikan arahan dalam pelaksanaan tugas Satgas, termasuk untuk penyempurnaan, pencabutan, dan/atau penggantian ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung atau menghambat upaya Pengendalian DAS Citarum, dan untuk mengambil langkah mitigasi dampak sosial yang timbul dalam upaya Pengendalian DAS Citarum.
Pasal 7
Dalam pelaksanaan tugasnya, Pengarah dibantu Sekretariat yang secara fungsional dilakukan oleh salah satu unit kerja di lingkungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Bagian Ketiga Satgas
Pasal 8
(1) Satgas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b,
terdiri atas:
Komandan : Gubernur Jawa Barat; Wakil Komandan
Bidang Penataan Ekosistem I : Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi; Wakil Komandan
Bidang Penataan Ekosistem II : Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta; Wakil Komandan
Bidang Pencegahandan Penindakan Hukum I : 1. Kepala Kepolisian : Daerah Jawa Barat; 2. Kepala Kejaksaan : Tinggi Jawa Barat; dan Wakil Komandan
Bidang Pencegahan dan Penindakan Hukum II : Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta.
(2) Komandan Satgas dapat mengangkat Tim Ahli yang bertugas membantu pelaksanaan tugas Satgas.
(3) Tim Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Komandan Satgas.
(4) Dalam pelaksanaan tugas Satgas, Wakil Komandan secara bersama-sama berkoordinasi dan bersinergi sesuai dengan wilayah operasi masing-masing dengan tetap berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan Pengarah.
Pasal 9
(1) Satgas bertugas melaksanakan arahan Pengarah dalam melakukan percepatan dan keberlanjutan Pengendalian DAS Citarum melalui pelaksanaan operasi penanggulangan pencemaran dan kerusakan DAS Citarum secara sinergis dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan personel dan peralatan operasi.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Satgas berwenang:
a. menetapkan rencana aksi pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan
Pengarah;
b. melokalisasi dan menghentikan sumber pencemaran dan/atau kerusakan Sungai Citarum;
c. meminta keterangan, data dan/atau dokumen termasuk memasuki dan memeriksa pabrik, tempat usaha, pekarangan, gudang, tempat penyimpanan, dan/atau saluran pembuangan limbah pabrik/tempat usaha sewaktu-waktu diperlukan;
d. mencegah dan melarang masyarakat untuk masuk kembali untuk mendirikan permukiman di wilayah yang memiliki fungsi lindung;
e. membentuk Komando Sektor yang dipimpin oleh perwira Tentara Nasional Indonesia sebagai Komandan Sektor;
f. membagi wilayah kerja DAS Citarum berdasarkan Komando Sektor;
g. mengikutsertakan kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam pelaksanaan tugas Komando Sektor, disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan operasi penanggulangan, pencegahan, dan pemulihan
ekosistem DAS Citarum, serta penindakan hukum;
h. memerintahkan Komando Sektor untuk melaksanakan operasi penanggulangan pencemaran dan kerusakan DAS Citarum di lokus yang ditentukan oleh Satgas; dan
i. melakukan kegiatan pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum sesuai dengan tugas dan kewenangan Satgas apabila rencana aksi sebagaimana dimaksud pada huruf a belum ditetapkan.
Pasal 10
(1) Dalam pelaksanaan tugasnya, Satgas dibantu Sekretariat Satgas yang dipimpin oleh Kepala Sekretariat.
(2) Kepala Sekretariat dan susunan Sekretariat Satgas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komandan Satgas.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja Pengarah dan Satgas diatur dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman selaku Ketua Pengarah.
BAB IV
DUKUNGAN KEMENTERIAN/LEMBAGA
Pasal 12
Dalam rangka pelaksanaan pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum yang dilakukan Satgas:
a. Menteri Agama memberikan dukungan peningkatan peran tokoh agama dalam edukasi kepada masyarakat,
melalui edukasi perilaku hidup bersih dan sehat bagi masyarakat atas lingkungan;
b. Menteri Keuangan memberikan dukungan dalam penganggaran untuk program dan kegiatan pengendalian DAS Citarum pada Bagian Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga masing-masing;
c. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memberikan dukungan dengan memfasilitasi riset dan keikutsertaan akademisi dalam inovasi pengendalian DAS Citarum, serta kuliah kerja nyata tematik;
d. Menteri Kesehatan memberikan dukungan dalam rangka memberikan edukasi perilaku hidup bersih dan sehat bagi masyarakat atas lingkungan, dan memberikan pelayanan kesehatan serta pengendalian penyakit terhadap masyarakat terdampak di DAS Citarum;
e. Menteri Perindustrian memberikan dukungan pengawasan dan pengendalian atas kegiatan usaha industri di DAS Citarum termasuk melaksanakan sosialisasi, bimbingan teknis, dan fasilitasi kepada pelaku usaha industri untuk melakukan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan dukungan dalam penyediaan data dan informasi mengenai pengendalian air tanah dan kestabilan tanah;
g. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat:
1. memberikan dukungan dalam pengelolaan
sumber daya air secara terpadu di DAS Citarum;
2. memberikan dukungan dalam ketersediaan
fasilitas permukiman bagi penduduk yang
direlokasi;
3. memberikan dukungan penyediaan Sistem
Pengelolaan Air Limbah terpadu dan pembersihan
sampah permukaan; dan
4. memberikan dukungan dalam penegakan hukum
yang dilakukan bersama dengan Kepolisian
Daerah Jawa Barat, Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta, dan Kejaksaan Tinggi Jawa
Barat.
h. Menteri Pertanian memberikan dukungan pelaksanaan
konservasi lahan di DAS Citarum, melalui
pelaksanaan:
1. kaidah-kaidah usaha pertanian dan peternakan
yang sesuai dengan prinsip pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup, termasuk
pelatihan dan pendampingan terhadap petani dan
masyarakat terdampak; dan
2. penyediaan sarana dan prasarana pertanian serta
peralatan mesin pertanian, termasuk penyediaan
bibit, benih, dan pupuk.
i. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan:
1. melakukan penegakan hukum sesuai dengan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
2. memberikan dukungan dalam penegakan hukum
yang dilakukan bersama dengan Kepolisian
Daerah Jawa Barat, Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta, dan Kejaksaan Tinggi Jawa
Barat;
3. menyediakan bibit, penanaman, dan
pemeliharaan pohon di kawasan hutan serta
pembuatan bangunan konservasi tanah dan air;
4. memberikan dukungan penyediaan sarana
pengelolaan sampah; dan
5. memberikan dukungan untuk alih profesi bagi
masyarakat terdampak dalam program
perhutanan sosial.
j. Menteri Kelautan dan Perikanan memberikan
dukungan kegiatan perikanan berkelanjutan di DAS
Citarum dan pendampingan bagi masyarakat
terdampak untuk alih profesi.
k. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional:
1. memberikan dukungan dalam pengadaan tanah
dan penataan ruang untuk penanganan dampak
sosial masyarakat yang terdampak;
2. memberikan dukungan dalam penyediaan data
dan informasi pemanfaatan tanah; dan
3. memberikan dukungan dalam penegakan hukum
yang dilakukan bersama dengan Kepolisian
Daerah Jawa Barat, Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta, dan Kejaksaan Tinggi Jawa
Barat.
l. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
melakukan penyusunan rencana dan program
prioritas pengelolaan terpadu DAS Citarum secara
terkoordinasi dalam dokumen perencanaan
pembangunan nasional, serta melakukan reviu atas
pelaksanaan program prioritas pengelolaan terpadu
DAS Citarum;
m. Menteri Badan Usaha Milik Negara memberikan
dukungan melalui penugasan kepada Badan Usaha
Milik Negara terutama Badan Usaha Milik Negara yang
terkait langsung dengan program pencegahan,
penanggulangan pencemaran dan kerusakan, serta
pemulihan di DAS Citarum;
n. Jaksa Agung Republik Indonesia melakukan
penegakan hukum dan memberikan dukungan
sebagai jaksa pengacara negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
o. Panglima Tentara Nasional Indonesia memberikan
dukungan personel dalam pengendalian DAS Citarum
termasuk memobilisasi peralatan operasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
p. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan penegakan hukum dalam pengendalian
DAS Citarum, termasuk mencegah dan melarang
masyarakat untuk masuk kembali untuk mendirikan
permukiman di lahan yang memiliki fungsi lindung
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
dan
q. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan:
1. melakukan dukungan terhadap peningkatan tata
kelola DAS Citarum melalui pengawasan intern
atas akuntabilitas program dan kegiatan yang
dilaksanakan oleh kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah sejak perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
2. melakukan pendampingan terhadap
BUMN/BUMD guna peningkatan akuntabilitas
dalam pelaksanaan pengendalian DAS Citarum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB V
PELAKSANAAN, EVALUASI, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pelaksanaan
Pasal 13
Dalam pelaksanaan tugas Satgas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) dan kewenangan Satgas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2),
pelaksanaan operasi penanggulangan pencemaran dan
kerusakan DAS Citarum dilakukan dengan cara:
a. sosialisasi dan edukasi dengan memberikan informasi
peringatan dampak pencemaran dan kerusakan DAS
Citarum kepada masyarakat;
b. penanganan limbah dan pemulihan ekosistem;
c. mengoordinasikan relokasi masyarakat terdampak di
DAS Citarum;
d. melakukan koordinasi dalam pemutakhiran data dan
informasi yang dibutuhkan sebagai upaya
penanggulangan pencemaran dan kerusakan DAS
Citarum dengan institusi terkait;
e. melakukan inovasi dalam penanggulangan
pencemaran dan kerusakan DAS Citarum sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
f. pemberdayaan masyarakat; dan
g. pencegahan dan penindakan hukum.
Pasal 14
(1) Pelaksanaan pencegahan dan penindakan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf g,
dilakukan melalui pendekatan persuasif dengan
mengedepankan upaya pemulihan atas dampak
pencemaran dan kerusakan DAS Citarum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal pelaksanaan pencegahan dan penindakan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dapat dilakukan, penindakan hukum atas pencemaran
dan perusakan DAS Citarum dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Evaluasi
Pasal 15
Evaluasi hasil pelaksanaan tugas Satgas dilakukan oleh
Pengarah paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
Bagian Keempat
Pelaporan
Pasal 16
Tim DAS Citarum melaporkan hasil evaluasi pelaksanaan
tugas kepada Presiden paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6
(enam) bulan dan sewaktu-waktu diperlukan.
BAB VI
KEBERLANJUTAN PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI CITARUM
Pasal 17
(1) Dalam rangka keberlanjutan pengendalian DAS
Citarum, Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah melaksanakan tugas dan fungsi masingmasing
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Keberlanjutan pengendalian DAS Citarum oleh
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan menetapkan program dan mengalokasikan
anggaran belanja pada Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan.
BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 18
(1) Masyarakat berpartisipasi dalam upaya pencegahan,
penanggulangan pencemaran dan kerusakan, serta
pemulihan DAS Citarum.
(2) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas individu, organisasi masyarakat, organisasi
keagamaan, filantropi, pelaku usaha, akademisi, dan
pemangku kepentingan lainnya.
BAB VIII
PENDANAAN
Pasal 19
Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas
Pengarah, Satgas, dan dukungan pelaksanaan
pengendalian DAS Citarum bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau
c. Sumber pembiayaan lain yang sah dan tidak mengikat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 20
(1) Sumber pembiayaan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf c termasuk biaya pembangunan
infrastruktur sosial dalam bentuk sarana dan
prasarana untuk kepentingan umum.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial dalam bentuk
sarana dan prasarana untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto
Wajib Pajak.
(3) Persyaratan, batasan, tata cara pencatatan,
penghitungan, dan pelaporan biaya pembangunan
infrastruktur sosial dalam bentuk sarana dan
prasarana untuk kepentingan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 14 Maret 2018
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 15 Maret 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOL
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN INSTALASI PENGOLAH SAMPAH MENJADI ENERGI LISTRIK BERBASIS TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan ketangguhan kota dalam menjaga kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, dan menjadikan sampah sebagai sumber daya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, serta untuk mengurangi volume sampah secara signifikan demi kebersihan dan keindahan kota, dipandang perlu mempercepat
pembangunan instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan
pada daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota tertentu;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Presiden tentang Percepatan Pembangunan Instalasi
Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis
Teknologi Ramah Lingkungan;
2018, No.61 –2–
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297);
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4746);
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 28,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5281) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5530);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 188,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5347);
9. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 8) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun
2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 27);
10. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang
Rencana Umum Energi Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 43);
11. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERCEPATAN
PEMBANGUNAN INSTALASI PENGOLAH SAMPAH
MENJADI ENERGI LISTRIK BERBASIS TEKNOLOGI
RAMAH LINGKUNGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Sampah adalah sampah rumah tangga dan sampah
sejenis sampah rumah tangga.
2018, No.61 –4–
2. Pengelolaan Sampah adalah kegiatan yang sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi
pengurangan dan penanganan Sampah.
3. Pengelola Sampah adalah badan usaha yang
menandatangani kontrak kerja sama dengan
Pemerintah Daerah untuk mengelola Sampah melalui
penanganan Sampah.
4. Biaya Layanan Pengolahan Sampah adalah belanja
yang dikeluarkan dari anggaran belanja daerah
kepada Pengelola Sampah, berdasarkan volume yang
dikelola per ton dan merupakan kompensasi atas jasa
pengolahan Sampah di lokasi tertentu yang
ditetapkan, diluar biaya pengumpulan, pengangkutan,
dan pemrosesan akhir.
5. Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis
Teknologi Ramah Lingkungan adalah mesin/peralatan
yang dapat mengolah Sampah menjadi energi listrik,
dan mengurangi volume Sampah dan waktu
pengolahan secara signifikan melalui teknologi yang
ramah lingkungan dan teruji.
6. Pembangkit Listrik Berbasis Sampah yang selanjutnya
disebut PLTSa adalah Pengolah Sampah menjadi
Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan
yang memenuhi baku mutu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan dan dapat mengurangi volume
Sampah secara signifikan serta teruji.
7. Pengembang PLTSa adalah Pengelola Sampah dan
penyedia tenaga listrik yang menandatangani kontrak
kerja sama mengenai pemasokan Sampah sebagai
bahan baku konversi ke listrik dengan Pemerintah
Daerah dan kontrak penjualan listriknya dengan PT
PLN (Persero) sebagai pembeli hasil listrik dari PLTSa.
8. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap,
terus-menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, serta bekerja dan
berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dapat berupa Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan badan usaha
swasta yang berbadan hukum Indonesia.
BAB II
TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Pengelolaan Sampah bertujuan untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, dan
untuk mengurangi volume Sampah secara signifikan
demi kebersihan dan keindahan kota serta menjadikan
Sampah sebagai sumber daya.
(2) Pengelolaan Sampah dilakukan secara terintegrasi dari
hulu ke hilir melalui pengurangan Sampah dan
penanganan Sampah.
(3) Pengelolaan Sampah menjadi sumber daya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
untuk mendapatkan nilai tambah Sampah menjadi
energi listrik.
BAB III
LOKASI DAN PELAKSANA PEMBANGUNAN
Pasal 3
(1) Dalam Pengelolaan Sampah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, perlu dilakukan percepatan
pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi
Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan,
yang disebut dengan PLTSa, melalui Pengelolaan
Sampah yang menjadi urusan pemerintah daerah:
a. Provinsi DKI Jakarta;
b. Kota Tangerang;
c. Kota Tangerang Selatan;
d. Kota Bekasi;
e. Kota Bandung;
f. Kota Semarang;
g. Kota Surakarta;
h. Kota Surabaya;
i. Kota Makassar;
j. Kota Denpasar;
k. Kota Palembang; dan
l. Kota Manado.
(2) Pemerintah daerah kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b sampai dengan huruf l dapat bekerja
sama dengan pemerintah daerah kabupaten/kota
sekitarnya dalam 1 (satu) daerah provinsi.
(3) Ketentuan mengenai pedoman kerja sama antar
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 4
(1) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) dapat dilakukan dengan pemerintah daerah
provinsi sepanjang Pengelolaan Sampah menggunakan
aset provinsi.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui perjanjian kerja sama.
Pasal 5
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota secara sendiri
atau bersama-sama dapat bermitra dengan Pengelola
Sampah dalam penyelenggaraan Pengelolaan Sampah.
(2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam bentuk perjanjian antara
pemerintah daerah kabupaten/kota dan badan usaha
yang bersangkutan.
(3) Tata cara pelaksanaan kemitraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
(1) Percepatan pembangunan PLTSa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), gubernur atau wali
kota dapat:
a. menugaskan Badan Usaha Milik Daerah; atau
b. melakukan kompetisi Badan Usaha.
(2) Ketentuan mengenai penugasan Badan Usaha Milik
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang pengelolaan badan usaha milik
daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetisi Badan
Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang pengadaan barang/jasa
pemerintah atau ketentuan kerjasama pemerintah
dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur.
(4) Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang berminat atau
tidak lulus seleksi dan tidak ada Badan Usaha Milik
Daerah yang mampu untuk ditugaskan melaksanakan
pembangunan dan pengelolaan PLTSa, percepatan
pembangunan PLTSa dapat dilakukan melalui
penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara oleh
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas usulan
gubernur atau wali kota.
(5) Penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan oleh
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral setelah
dibahas dan diputuskan dalam rapat Tim Koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini.
(6) Penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dilakukan
setelah gubernur atau wali kota:
a. mempunyai pra studi kelayakan;
b. menyampaikan komitmen pengalokasian
anggaran untuk biaya pengangkutan dan Biaya
Layanan Pengolahan Sampah di dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
c. menyediakan lahan.
Pasal 7
(1) Badan Usaha Milik Daerah yang ditugaskan atau
Badan Usaha yang ditetapkan dari hasil kompetisi
Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
dapat bekerja sama dengan:
a. Badan Usaha lainnya; dan/atau
b. pemerintah daerah kabupaten/kota di sekitar
lokasi pembangunan PLTSa.
(2) Gubernur atau wali kota menetapkan Badan Usaha
Milik Daerah yang ditugaskan atau Badan Usaha yang
ditetapkan dari hasil kompetisi Badan Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) sebagai
Pengelola Sampah dan Pengembang PLTSa.
BAB IV
PERIZINAN DAN NONPERIZINAN
Pasal 8
(1) Dalam rangka penugasan atau kompetisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1):
a. menyusun pra studi kelayakan pembangunan
PLTSa yang meliputi studi aspek hukum,
kelembagaan, pendanaan, sosial budaya, dan
teknologi, paling sedikit memuat:
1. jumlah Sampah per hari;
2. komposisi Sampah: ultimate, proximate, abu,
dan logam berat;
3. kondisi dan ketersediaan lahan;
4. kondisi dan persyaratan khusus yang
diperlukan;
5. ketersediaan air dan sumber air;
6. penyelesaian dan/atau pengolahan residu;
dan
7. jadwal pelaksanaan proyek;
b. memastikan ketersediaan Sampah dengan
kapasitas minimal keekonomian PLTSa sesuai
dengan hasil pra studi kelayakan;
c. memastikan metode pengolahan Sampah sesuai
dengan kebijakan dan strategi Pengelolaan
Sampah daerah provinsi/kabupaten/kota serta
rencana induk dan studi kelayakan Pengelolaan
Sampah daerah provinsi/kabupaten/kota; dan
d. memastikan ketersediaan lokasi pembangunan
PLTSa dalam rencana tata ruang wilayah daerah
provinsi/kabupaten/kota.
(2) Dalam menyusun pra studi kelayakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, pemerintah daerah
dapat menggunakan jasa konsultan.
Pasal 9
(1) Pengelola Sampah dan Pengembang PLTSa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) wajib
memenuhi perizinan di bidang lingkungan hidup dan
perizinan di bidang usaha penyediaan tenaga listrik
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Pengelola Sampah dan Pengembang PLTSa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
diberikan kemudahan penerbitan izin prinsip
pembangunan/konstruksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional,
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, menteri
serta kepala lembaga lainnya, dan pemerintah daerah
terkait sesuai dengan kewenangannya memberikan
dukungan perizinan dan nonperizinan serta
penyederhanaannya yang diperlukan Pengelola
Sampah dan Pengembang PLTSa.
(4) Perizinan dan nonperizinan kementerian dan lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang percepatan pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan.
BAB V
PEMBELIAN TENAGA LISTRIK
Pasal 10
(1) Setelah menugaskan atau menetapkan Pengelola
Sampah dan Pengembang PLTSa, gubernur atau wali
kota sesuai dengan kewenangannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, mengusulkan kepada
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk
memberikan penugasan pembelian tenaga listrik
PLTSa oleh PT PLN (Persero) dengan melampirkan
dokumen yang memuat paling sedikit:
a. profil Pengelola Sampah dan Pengembang PLTSa;
b. lokasi dan kapasitas PLTSa;
c. rencana Commercial Operation Date (COD); dan
d. surat penugasan Badan Usaha Milik Daerah atau
penetapan pemenang kompetisi Pengelola
Sampah dan Pengembang PLTSa.
(2) Berdasarkan usulan gubernur atau wali kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral menugaskan PT PLN
(Persero) untuk membeli tenaga listrik dari
Pengembang PLTSa.
(3) Penugasan PT PLN (Persero) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi:
a. penunjukan langsung untuk pembelian tenaga
listrik oleh PT PLN (Persero); dan
b. persetujuan harga pembelian tenaga listrik oleh
PT PLN (Persero).
(4) Terhadap penugasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), PT PLN (Persero) dapat diberikan kompensasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang badan usaha milik negara.
Pasal 11
(1) Harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf
b ditetapkan berdasarkan besaran kapasitas PLTSa
yang dijual kepada PT PLN (Persero) dengan
ketentuan:
a. untuk besaran kapasitas sampai dengan 20 MW
(dua puluh megawatt) sebesar USD 13.35
cent/kWh yang terinterkoneksi pada jaringan
tegangan tinggi, jaringan tegangan menengah,
atau jaringan tegangan rendah; atau
b. untuk besaran kapasitas lebih dari 20 MW (dua
puluh megawatt) yang terinterkoneksi pada
jaringan tegangan tinggi atau jaringan tegangan
menengah dengan perhitungan sebagai berikut:
Harga Pembelian (USD cent/kWh) = 14,54 –
(0,076 x besaran kapasitas PLTSa yang dijual ke
PT PLN (Persero)).
(2) Harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah termasuk
seluruh biaya pengadaan jaringan dari PLTSa ke
jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero).
(3) Harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
harga yang digunakan dalam perjanjian jual beli
tenaga listrik tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi harga
serta berlaku pada saat PLTSa dinyatakan telah
mencapai tahap COD sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
(4) Ketentuan harga pembelian tenaga listrik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal
pembangunan PLTSa dilakukan melalui penugasan
kepada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4).
Pasal 12
Hasil penjualan listrik kepada PT PLN (Persero) merupakan
hak dari Pengembang PLTSa.
Pasal 13
PT PLN (Persero) wajib menandatangani perjanjian jual beli
tenaga listrik dalam jangka waktu paling lama 35 (tiga
puluh lima) hari kerja setelah surat penugasan pembelian
tenaga listrik dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) diterima.
BAB VI
PENDANAAN
Pasal 14
Pendanaan yang diperlukan untuk percepatan
pembangunan PLTSa, bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat didukung oleh
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan/atau
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 15
(1) Pendanaan yang bersumber dari Anggaran dan
Pendapatan Belanja Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 digunakan untuk bantuan Biaya
Layanan Pengolahan Sampah kepada pemerintah
daerah.
(2) Besarnya bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per ton
Sampah.
(3) Alokasi anggaran untuk bantuan Biaya Layanan
Pengolahan Sampah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diusulkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
DUKUNGAN PEMERINTAH
Pasal 16
(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan PLTSa oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau
Badan Usaha dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
(2) Pelaksanaan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang percepatan
pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.
Pasal 17
(1) Pembangunan PLTSa mengutamakan penggunaan
produk dalam negeri.
(2) Ketentuan mengenai penggunaan produk dalam negeri
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundangundangan
di bidang percepatan pembangunan
infrastruktur ketenagalistrikan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18
Dalam rangka percepatan pembangunan PLTSa,
menteri/kepala lembaga terkait, Gubernur DKI Jakarta,
Gubernur Banten, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Jawa
Tengah, Gubernur Jawa Timur, Gubernur Sulawesi
Selatan, Gubernur Bali, Gubernur Sumatera Selatan, dan
Gubernur Sulawesi Utara melakukan pembinaan dan
pengawasan sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 19
(1) Untuk mendukung pelaksanaan percepatan
pembangunan PLTSa, dibentuk Tim Koordinasi
Percepatan Pelaksanaan Pembangunan PLTSa yang
selanjutnya disebut Tim Koordinasi.
(2) Tim Koordinasi mempunyai tugas melakukan
koordinasi dan pengawasan serta memberikan
bantuan yang diperlukan untuk kelancaran
percepatan pelaksanaan pembangunan PLTSa.
(3) Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk dan diketuai oleh Menteri Koordinator
Bidang Kemaritiman, dan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian sebagai Wakil Ketua dengan anggota
terdiri dari wakil Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha
Milik Negara, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Badan Koordinasi Penanaman
Modal, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, Sekretariat Kabinet, Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi, dan instansi terkait lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Koordinasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman
selaku Ketua Tim Koordinasi.
Pasal 20
Tim Koordinasi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
koordinasi percepatan pembangunan PLTSa kepada
Presiden secara berkala setiap 6 (enam) bulan dan
sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Pasal 21
(1) Ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun
2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang
Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 119) berlaku bagi pelaksanaan pembangunan
PLTSa di Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota
Palembang, dan Kota Manado.
(2) Ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun
2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 8) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun
2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 27) berlaku bagi
pelaksanaan pembangunan PLTSa dalam Peraturan
Presiden ini.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini:
1. Perjanjian kerja sama Pengelolaan Sampah yang telah
dilakukan antara Pemerintah Kota Denpasar,
Pemerintah Kabupaten Badung, Pemerintah
Kabupaten Gianyar, dan Pemerintah Kabupaten
Tabanan sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini
tetap berlaku, dan selanjutnya untuk ketentuan yang
belum diatur dalam perjanjian kerja sama mengikuti
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden ini.
2. Pengelolaan Sampah di Kota Bandung yang telah
dilakukan secara kerja sama antara Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota Bandung,
Pemerintah Kota Cimahi, Pemerintah Kabupaten
Bandung, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat,
Pemerintah Kabupaten Sumedang, dan Pemerintah
Kabupaten Garut, yang zdilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi Jawa Barat selaku penanggung
jawab proyek kerja sama melalui perjanjian kerja sama
tetap berlaku dan untuk selanjutnya mengikuti
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden ini.
3. Badan Usaha yang telah mendapatkan penetapan
sebagai Pengembang PLTSa dari Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral, dapat mengajukan
permohonan penyesuaian harga kepada Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral paling lambat 1
(satu) bulan sejak Peraturan Presiden ini
diundangkan.
4. Penugasan kepada Badan Usaha Milik Daerah/Badan
Usaha Milik Negara yang telah dilakukan dalam
rangka percepatan pembangunan PLTSa sebelum
berlakunya Peraturan Presiden ini, tetap berlaku dan
selanjutnya untuk mengikuti ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Presiden ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, Peraturan
Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di
Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota
Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota
Makassar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 35), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 24
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di JakartaJakarta
pada tanggal 12 April 2018
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 April 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 77 TAHUN 2018
TENTANG
PENGELOLAAN DANA LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, perlu menetapkan
Peraturan Presiden tentang Pengelolaan Dana Lingkungan
Hidup;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 228,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6134);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGELOLAAN DANA
LINGKUNGAN HIDUP.
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup adalah suatu
sistem dan mekanisme yang digunakan untuk
mendanai upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
2. Dana Penanggulangan Pencemaran dan/atau
Kerusakan dan Pemulihan Lingkungan Hidup adalah
dana yang disiapkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah untuk menanggulangi dan
memulihkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
3. Dana Amanah/Bantuan Konservasi adalah dana yang
berasal dari sumber hibah dan donasi untuk
kepentingan konservasi lingkungan hidup.
4. Bank Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa
penitipan efek dan harta lainnya yang berkaitan
dengan efek serta jasa lain termasuk menerima
deviden, bunga, dan hak-hak lain menyelesaikan
transaksi efek-efek dan mewakili pemegang rekening
yang menjadi nasabahnya.
5. Penghimpunan Dana Penanggulangan Pencemaran
dan/atau Kerusakan dan Pemulihan Lingkungan
Hidup adalah kegiatan pengumpulan dana untuk
dikelola dan disalurkan sesuai dengan penugasan
dan/atau kontrak/perjanjian.
Pasal 2
(1) Pengelolaan dana lingkungan hidup dilakukan melalui
kegiatan:
a. penghimpunan dana;
b. pemupukan dana; dan
c. penyaluran dana.
(2) Pengelolaan dana lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
prinsip:
a. transparan;
b. efisien;
c. efektif;
d. proporsional; dan
e. akuntabel.
Pasal 3
Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a meliputi:
a. Dana Penanggulangan Pencemaran dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup dan Pemulihan
Lingkungan Hidup; dan
b. Dana Amanah/Bantuan Konservasi.
Pasal 4
(1) Penghimpunan dana berupa Dana Penanggulangan
Pencemaran dan/atau Kerusakan dan Pemulihan
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah;
dan/atau
c. sumber dana lainnya yang sah dan tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Sumber dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berasal dari pajak dan retribusi lingkungan
hidup.
(3) Penghimpunan dana berupa Dana Amanah/Bantuan
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b bersumber dari hibah dan donasi.
(4) Sumber penghimpunan dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang keuangan
negara dan/atau perjanjian kerjasama.
Pasal 5
(1) Pemupukan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) huruf b, dilakukan melalui:
a. instrumen perbankan;
b. instrumen pasar modal; dan/atau
c. instrumen keuangan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal pemupukan dana yang berasal dari Dana
Amanah/Bantuan Konservasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf b, dilakukan berdasarkan
kesepakatan dalam kontrak/perjanjian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
(1) Penyaluran dana lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c dilakukan
sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak/perjanjian.
(2) Penyaluran dana lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui
mekanisme:
a. perdagangan karbon;
b. pinjaman;
c. subsidi;
d. hibah; dan/atau
e. mekanisme lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
(1) Pengelolaan dana lingkungan hidup dilakukan melalui
kontrak/perjanjian.
(2) Kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit memuat:
a. identitas para pihak;
b. peruntukan penggunaan dana;
c. jenis kegiatan yang akan dilaksanakan;
d. besaran dana;
e. jangka waktu pelaksanaan kegiatan; dan
f. jenis instrumen investasi yang disepakati.
(3) Kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 8
(1) Untuk melaksanakan pengelolaan dana lingkungan
hidup dibentuk unit organisasi non eselon yang
melaksanakan fungsi pengelolaan dana lingkungan
hidup dengan menggunakan pola pengelolaan
keuangan badan layanan umum.
(2) Unit organisasi non eselon sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri Keuangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
(1) Dalam mengelola dana lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, unit organisasi non eselon
dapat menunjuk dan menetapkan Bank Kustodian
sebagai trustee.
(2) Fungsi Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
(1) Dalam rangka memberikan arah kebijakan atas
pelaksanaan tugas unit organisasi non eselon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, ditetapkan
Komite Pengarah.
(2) Komite Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas:
a. menyusun kebijakan umum dalam pengelolaan
dana lingkungan hidup;
b. menyusun kebijakan teknis yang akan didanai,
termasuk alokasi aset; dan
c. melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf
b.
(3) Komite pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
Ketua : Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian
Wakil
Ketua
: Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
Anggota 1. : Menteri Keuangan
2. : Menteri Dalam Negeri
3. : Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral
4. : Menteri Perhubungan
5. : Menteri Pertanian
6. : Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional
7. : Menteri Perindustrian
8. : Menteri Kelautan dan Perikanan
(4) Komite Pengarah dalam melaksanakan tugasnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
melibatkan kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian, pemerintah daerah, dan pihak lain
yang terkait.
(5) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Komite Pengarah dibantu oleh
sekretariat yang keanggotaannya merupakan ex-officio
pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pasal 11
Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan tugas Komite
Pengarah dan Sekretariat dibebankan kepada anggaran
unit organisasi non eselon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8.
Pasal 12
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2018
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 September 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 83 TAHUN 2018
TENTANG
PENANGANAN SAMPAH LAUT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa sampah di laut menyebabkan terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dan
ekosistem perairan, serta membahayakan kesehatan
manusia;
b. bahwa akibat pencemaran sampah plastik di laut,
telah ditemukan kandungan plastik berukuran mikro
dan nano pada biota dan sumber daya laut di perairan
Indonesia;
c. bahwa sampah plastik merupakan komponen yang
paling sulit diurai oleh proses alam sehingga
berbahaya bagi ekosistem perairan dan kesehatan
manusia;
d. bahwa dalam rangka menindaklanjuti komitmen
Pemerintah Indonesia untuk menangani sampah
plastik di laut sebesar 70% (tujuh puluh persen)
sampai dengan tahun 2025, perlu disusun langkahlangkah
percepatan yang komprehensif dan terpadu;
e. bahwa untuk penanganan sampah laut diperlukan
penguatan perencanaan, penganggaran, dan
pengorganisasian yang terpadu;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d
dan e perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang
Penanganan Sampah Laut;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4421);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5490);
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5603);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 188,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5347);
9. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2015-2019 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 3);
10. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Kebijakan Kelautan Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 32);
11. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 223);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENANGANAN SAMPAH
LAUT.
Pasal 1
(1) Pencemaran laut adalah masuknya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu air laut yang telah ditetapkan.
(2) Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia
dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
(3) Sampah laut adalah sampah yang berasal dari
daratan, badan air, dan pesisir yang mengalir ke laut
atau sampah yang berasal dari kegiatan di laut.
(4) Sampah plastik adalah sampah yang mengandung
senyawa polimer.
Pasal 2
(1) Dalam rangka penanganan Sampah Laut perlu
ditetapkan strategi, program, dan kegiatan yang
sinergis, terukur, dan terarah untuk mengurangi
jumlah sampah di laut, terutama sampah plastik,
dalam bentuk Rencana Aksi Nasional Penanganan
Sampah Laut Tahun 2018-2025.
(2) Rencana Aksi merupakan dokumen perencanaan yang
memberikan arahan strategis bagi kementerian/
lembaga dan acuan bagi masyarakat dan pelaku
usaha untuk percepatan penanganan sampah laut
untuk periode 8 (delapan) tahun, terhitung sejak
tahun 2018 sampai dengan tahun 2025.
(3) Rencana Aksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui strategi yang meliputi:
a. gerakan nasional peningkatan kesadaran para
pemangku kepentingan;
b. pengelolaan sampah yang bersumber dari darat;
c. penanggulangan sampah di pesisir dan laut;
d. mekanisme pendanaan, penguatan kelembagaan,
pengawasan, dan penegakan hukum; dan
e. penelitian dan pengembangan.
(4) Rencana Aksi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Presiden ini.
Pasal 3
(1) Rencana Aksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) berfungsi sebagai pedoman bagi:
a. menteri dan pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian untuk menetapkan kebijakan
sektoral penanganan sampah laut, yang
dituangkan dalam dokumen rencana strategis
masing-masing kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian sebagai bagian dari dokumen
perencanaan pembangunan; dan
b. pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan
percepatan penanganan sampah laut.
(2) Dalam penyusunan dokumen rencana strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri,
pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian,
gubernur, dan bupati/wali kota mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Pasal 4
Dalam rangka pelaksanaan Rencana Aksi, dibentuk Tim
Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut yang
selanjutnya disebut Tim Koordinasi Nasional, yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden.
Pasal 5
Tim Koordinasi Nasional mempunyai tugas:
a. mengoordinasikan kegiatan kementerian, lembaga
pemerintah nonkementerian, pemerintah daerah,
masyarakat, dan/atau pelaku usaha dalam kegiatan
penanganan sampah laut;
b. merumuskan kebijakan penyelesaian hambatan dan
permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan
kegiatan penanganan sampah laut; dan
c. mengoordinasikan kegiatan pemantauan dan evaluasi
atas pelaksanaan Rencana Aksi.
Pasal 6
Susunan keanggotaan Tim Koordinasi Nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, terdiri atas:
Ketua : Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman;
Ketua Harian : Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan;
Anggota : 1. Menteri Dalam Negeri;
2. Menteri Luar Negeri;
3. Menteri Keuangan;
4. Menteri Perindustrian;
5. Menteri Perhubungan;
6. Menteri Kelautan dan
Perikanan;
7. Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat;
8. Menteri Kesehatan;
9. Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan;
10. Menteri Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi;
11. Menteri Komunikasi dan
Informatika;
12. Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional;
13. Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah;
14. Menteri Pariwisata;
15. Sekretaris Kabinet; dan
16. Kepala Badan Keamanan
Laut.
Sekretaris : Direktur Jenderal Pengelolaan
Sampah, Limbah, dan Bahan
Beracun Berbahaya,
Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.
Wakil Sekretaris : Asisten Deputi Pendayagunaan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Maritim, Kementerian
Koordinator Bidang
Kemaritiman.
Pasal 7
(1) Untuk membantu pelaksanaan tugas Tim Koordinasi
Nasional, dibentuk Tim Pelaksana.
(2) Susunan keanggotaan, tugas, dan tata kerja Tim
Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman selaku Ketua Tim Koordinasi Nasional
atas usulan Ketua Harian.
Pasal 8
(1) Untuk memberikan dukungan pelaksanaan tugas Tim
Koordinasi Nasional, dibentuk Sekretariat Tim
Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut.
(2) Sekretariat Tim Koordinasi Nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan secara
fungsional oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan
Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pasal 9
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman sebagai Ketua
Tim Koordinasi Nasional dan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan sebagai Ketua Harian menyampaikan
laporan pelaksanaan Rencana Aksi kepada Presiden paling
sedikit 1 (satu) tahun sekali atau sewaktu-waktu jika
diperlukan.
Pasal 10
(1) Rencana Aksi diintegrasikan dengan dokumen
perencanaan pembangunan nasional yaitu Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2015-2019 dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional periode berikutnya.
(2) Rencana Aksi di daerah diintegrasikan dengan
dokumen perencanaan pembangunan daerah yaitu
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
(3) Rencana Aksi dapat ditinjau kembali secara berkala
sesuai dengan perkembangan.
(4) Dalam proses peninjauan kembali, sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), program dan kegiatan
Rencana Aksi dapat disesuaikan dengan prioritas
nasional.
(5) Peninjauan kembali Rencana Aksi dilakukan oleh
kementerian/lembaga dan dikoordinasikan oleh
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman bersama
dengan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional.
(6) Hasil peninjauan kembali dapat dijadikan dasar
penyesuaian Rencana Aksi.
Pasal 11
(1) Pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas
Tim Pelaksana dan Sekretariat Tim Koordinasi
Nasional dibebankan kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
(2) Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan dalam
Rencana Aksi bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, dan/atau sumber dana lainnya yang
sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2018
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 September 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/20182018 …..
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (2)
huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Menteri mengatur ketentuan mengenai baku mutu air
limbah;
b. bahwa ketentuan mengenai baku mutu air limbah
industri penyamakan kulit sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun
2014 tentang Baku Mutu Air Limbah tidak sesuai dengan
kondisi di lapangan, perlu dilakukan perubahan;
c. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah;
87
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4161);
3. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
4. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MenLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 5 TAHUN 2014
TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH.
Pasal I
Lampiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5
Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah diubah, sehingga
menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
88
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
d.
WIDODO EKATJAHJANA
89
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018/K.1/8/2018
TENTANG
NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA PELAYANAN PERIZINAN
TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK LINGKUP KEMENTERIAN
LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 88 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik
Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
91
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4412);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4724);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5432);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
92
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 14,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3803);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3816);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembar Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4161);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 tentang Nomor 146, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4453) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5056);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
93
Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4814);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5112) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010
tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 327, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5795);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5116);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5217) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun
2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 330,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5798);
94
17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
333, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5617);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 326, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5794);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6215);
21. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
17);
22. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
713);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN
KRITERIA PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA
TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK LINGKUP
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN.
95
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perizinan Berusaha adalah persetujuan yang diberikan
kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan
usaha dan diberikan dalam bentuk persetujuan yang
dituangkan dalam bentuk surat/keputusan atau
pemenuhan persyaratan (checklist).
2. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau
Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS
adalah Perizinan Berusaha yang diberikan
menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali
kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang
terintegrasi.
3. Pemegang Izin Usaha adalah badan usaha atau
perseorangan yang melakukan kegiatan usaha pada bidang
tertentu.
4. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang
selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga
pemerintahan non-kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman
modal.
5. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik
yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui komputer atau sistem
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi
yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.
96
6. Komitmen adalah pernyataan Pelaku Usaha untuk
memenuhi persyaratan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial
atau Operasional.
7. Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional adalah izin
di bidang lingkungan hidup dan kehutanan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik.
8. Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvopastura yang
selanjutnya disebut IUPK Silvopastura adalah kegiatan
kehutanan yang dikombinasikan secara proporsional
dengan usaha peternakan di dalam kawasan hutan
produksi yang meliputi pelepasliaran dan/atau
pengandangan ternak dalam rangka pengelolaan hutan
produksi lestari untuk mendukung program kedaulatan
pangan.
9. Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvo Fishery pada Hutan
Produksi dan Hutan Lindung (IUPK Silvo Fishery) adalah
Izin Usaha yang diberikan untuk memanfaatkan kawasan
hutan dengan menggabungkan usaha perikanan dengan
penanaman mangrove yang diikuti konsep pengenalan
sistem pengelolaan dengan meminimalkan input dan
mengurangi dampak terhadap lingkungan.
10. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Alam pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat
IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) adalah izin memanfaatkan hutan produksi
yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau
penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran
hasil hutan kayu.
11. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman Industri pada Hutan Tanaman Pada Hutan
Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang
sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
(HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
(HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha
97
untuk membangun hutan tanaman pada hutan produksi
yang dibangun oleh kelompok industri untuk
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dalam
rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
12. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi
Ekosistem pada Hutan Alam pada Hutan Produksi yang
selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah izin usaha yang
diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam
pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting
sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya
melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan
pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman,
pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa,
pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur
hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah,
iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang
asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan
ekosistemnya.
13. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu pada
Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHBK-HP
adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan
hasil hutan bukan kayu dari hutan alam pada hutan
produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan,
perlindungan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran
hasil.
14. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi
yang selanjutnya disingkat IPHHK-HP adalah izin untuk
mengambil hasil hutan berupa kayu pada hutan alam di
hutan produksi melalui kegiatan pemanenan dan
pengangkutan untuk jangka waktu dan volume tertentu.
15. Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan
Produksi dan Hutan Lindung yang selanjutnya disingkat
IPHHBK-HP/HL adalah izin untuk mengambil hasil hutan
bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan produksi
dalam hutan alam maupun tanaman antara lain berupa
rotan, madu, buah, daun, getah, kulit, tanaman obat,
untuk jangka waktu dan volume tertentu.
98
16. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Hasil Rehabilitasi pada Hutan Produksi yang
selanjutnya disingkat IUPHHK HTHR-HP adalah izin usaha
yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
kayu dalam areal HTHR melalui penjualan tegakan.
17. Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan
Lindung yang selanjutnya disebut IUP Rap dan/atau Pan
Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung adalah
izin usaha yang diberikan untuk melakukan pengelolaan
hutan yang menerapkan kegiatan-kegiatan penyimpanan
(stock) karbo, penyerapan karbon dan penurunan emisi
karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung yang
telah dibebani izin/hak atau yang belum dibebani
izin/hak.
18. Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan
Produksi dan Hutan Lindung adalah Izin Usaha yang
diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada
Hutan Produksi dan/atau Hutan Lindung.
19. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan adalah izin yang
diberikan untuk menggunakan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
20. Pelepasan Kawasan Hutan adalah perubahan peruntukan
Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi menjadi
bukan kawasan hutan.
21. Tukar Menukar Kawasan Hutan adalah perubahan
kawasan Hutan Produksi Tetap dan/atau Hutan Produksi
Terbatas menjadi bukan Kawasan Hutan yang diimbangi
dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan
Kawasan Hutan dan/atau Hutan Produksi yang dapat
Dikonversi yang produktif menjadi kawasan Hutan Tetap.
22. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang
selanjutnya disingkat IUIPHHK adalah izin untuk
mengolah kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih
menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi
tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh
99
pejabat yang berwenang.
23. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang
selanjutnya disingkat IUIPHHBK adalah izin untuk
mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi satu atau
beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang
diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang
berwenang.
24. Izin Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera adalah
izin yang diberikan kepada badan usaha atau perorangan
yang bergerak di bidang Persuteraan Alam untuk
melakukan pengadaan dan peredaran telur ulat sutera
baik melalui pengadaan dan peredaran dalam negeri
maupun pemasukan dari luar negeri.
25. Penetapan Pengada dan Pengedar Benih dan/atau Bibit
Terdaftar adalah penetapan yang diberikan oleh pejabat
yang berwenang, yang didasarkan pada kepemilikan
sumber benih, sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia.
26. Sertifikasi Sumber Benih adalah proses pemberian
sertifikat kepada sumber benih yang menginformasikan
keadaan sumber benih yang bermutu untuk menjamin
kebenaran klarifikasi sumber benih.
27. Sertifikasi Mutu Bibit dan Sertifikasi Mutu Benih adalah
surat keterangan mutu bibit dan mutu benih yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
28. Izin Pemasukan dan Pengeluaran Benih Luar Negeri adalah
izin yang diberikan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk kepada badan usaha, badan hukum, instansi
pemerintah untuk dapat melakukan kegiatan pemasukan
dan pengeluaran benih luar negeri.
29. Izin Pengeluaran Benih Ke Luar Negeri adalah izin yang
diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada
badan usaha, badan hukum, instansi pemerintah untuk
dapat melakukan kegiatan pengeluaran benih ke luar
negeri.
30. Izin Lembaga Konservasi adalah izin yang diberikan oleh
Menteri kepada pemohon yang telah memenuhi syarat-
100
syarat sesuai ketentuan perundang-undangan untuk
membuat lembaga konservasi.
31. Izin Pengusahaan Taman Buru adalah izin yang diberikan
untuk melakukan usaha komersial di taman buru.
32. Izin Pemanfaatan Komersial untuk Budidaya Tanaman
Obat adalah izin yang diberikan oleh pejabat yang
berwenang kepada perseorangan atau badan usaha atau
badan hukum, untuk melakukan kegiatan budidaya
tanaman obat guna kepentingan komersial.
33. Izin Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar adalah izin
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang kepada
perseorangan atau badan usaha atau badan hukum untuk
dapat melakukan penangkaran tumbuhan dan satwa liar.
34. Izin Peminjaman Satwa Liar yang Dilindungi Ke Luar
Negeri untuk Kepentingan Pengembangbiakan (Breeding
Loan) adalah Izin yang diberikan oleh Menteri untuk
peminjaman satwa liar dilindungi dari lembaga konservasi
dalam negeri kepada lembaga konservasi luar negeri untuk
mendukung upaya pelestarian dan pengembangbiakan non
komersial serta perbaikan genetik atau penambahan darah
baru (fresh blood) dengan kompensasi.
35. Izin Akses Sumber Daya Genetik dan/atau Pengetahuan
Tradisional-Sumber Daya Genetik Spesies untuk Kegiatan
Komersial adalah Izin yang diterbitkan oleh Menteri kepada
Lembaga Pemerintah, Perguruan Tinggi, Badan Hukum
atau Perseorangan untuk kegiatan memperoleh dan/atau
membawa dan/atau memanfaatkan sumber daya genetic
spesies liat untuk kegiatan komersial.
36. Izin Pertukaran Jenis Tumbuhan atau Satwa Liar yang
Dilindungi dengan Lembaga Konservasi di Luar Negeri
adalah izin yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang
berwenang untuk pertukaran jenis tumbuhan dan satwa
satwa liar dilindungi yang bersumber dan sudah dipelihara
di lembaga konservasi dalam negeri dan lembaga
konservasi luar negeri yang dalam pelaksanaannya
dilakukan antara tumbuhan dengan tumbuhan dan satwa
dengan satwa yang mempunyai nilai konservasi yang
101
seimbang.
37. Izin Perolehan Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar untuk
Pemanfaatan Konservasi adalah izin yang diberikan oleh
Menteri atau Pejabat yang berwenang untuk memperoleh
specimen tumbuhan dan satwa liar untuk pemanfaatan
konservasi kepada lembaga konservasi.
38. Izin Pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri
adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang
untuk mengedarkan spesimen tumbuhan atau satwa liar
yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang
dilindungi sebagai hasil penangkaran atau satwa yang
telah ditetapkan sebagai satwa buru di dalam negeri.
39. Izin Pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri
adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang
untuk mengedarkan spesimen tumbuhan atau satwa liar
yang tidak dilindungi undang-undang atau satwa yang
dilindungi sebagai hasil penangkaran atau satwa yang
telah ditetapkan sebagai satwa buru di luar negeri.
40. Izin Peragaan Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi
adalah izin yang dikeluarkan oleh Menteri atau pejabat
yang berwenang untuk melakukan kegiatan memamerkan
atau mempertontonkan baik dengan atraksi maupun tidak
terhadap specimen tumbuhan dan satwa liar yang
dilindungi di dalam negeri maupun luar negeri.
41. Izin Perolehan Induk Penangkaran Tumbuhan dan Satwa
Liar adalah izin yang diterbitkan pejabat yang berwenang
untuk memperbanyak indukan melalui pengembangbiakan
dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap
mempertahankan kemurnian jenisnya.
42. Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam yang
selanjutnya disingkat IUPSWA adalah izin usaha yang
diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana serta
pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata
alam.
43. Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam yang selanjutnya
disingkat IUPJWA adalah izin usaha yang diberikan untuk
penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan pariwisata
102
alam.
44. Izin Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi Tahap
Eksploitasi dan Pemanfaatan yang selanjutanya disebut
IPJLPB Tahap Ekploitasi dan Pemanfaatan adalah izin
yang diberikan untuk pengusahaan memanfaatkan jasa
lingkungan panas bumi pada kawasan Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam pada tahap
eksploitasi dan pemanfaatan di dalam areal kegiatan
usahanya untuk pemenuhan kebutuhan listrik.
45. Izin Usaha Pemanfaatan Air atau Energi Air untuk Skala
Menengah dan Besar di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya
yang selanjutnya disingkat IUPA atau IUPEA adalah izin
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk dapat
melakukan usaha pemanfaatan air secara komersial,
untuk skala menengah yang memiliki modal
lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar Rupiah) atau untuk skala besar yang
memiliki modal lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar Rupiah).
46. Izin Usaha Pemanfaatan Air atau Energi Air untuk Skala
Mikro dan Kecil di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya yang
selanjutnya disingkat IUPA atau IUPEA adalah izin yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk dapat
melakukan usaha pemanfaatan air secara komersial,
untuk skala mikro dan kecil yang memiliki modal lebih dari
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) sampai dengan
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah).
47. Izin Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi Tahap
Eksplorasi yang selanjutnya disebut IPJLPB Tahap
Eksplorasi adalah izin yang diberikan untuk
memanfaatkan panas bumi pada kawasan Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
pada tahap eksplorasi di dalam areal kegiatan usahanya
untuk pemenuhan kebutuhan listrik.
103
48. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap
orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang
wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat
memperoleh Izin Usaha dan/atau Kegiatan.
49. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat
SPPL adalah pernyataan kessanggupan dari penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas
dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan di
luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKLUPL.
50. Izin Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
yang selanjutnya disebut Izin Limbah B3 untuk Usaha
Jasa adalah izin yang diberikan kepada setiap
orang/badan usaha yang melakukan kegiatan
mengumpulkan Limbah B3, memanfaatkan Limbah B3,
mengolah Limbah B3 dan menimbun Limbah B3.
51. Izin Operasional Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun yang selanjutnya disebut Izin Operasional
Limbah B3 untuk Penghasil adalah izin yang diisikan
persetujuan permohonan untuk melakukan pengelolaan
limbah B3 bagi kegiatan Penyimpanan Limbah B3 yang
diberikan oleh Bupati/Wali Kota dan bagi kegiatan
Pemanfaatan Limbah B3, Pengolahan Limbah B3,
Penimbunan Limbah B3 dan Dumping Limbah B3 yang
diberikan oleh Menteri.
52. Rekomendasi Pengelolaan Limbah B3 untuk Pengangkutan
Limbah B3 adalah surat yang diterbitkan Menteri untuk
menjadi dasar pertimbangan penerbitan izin operasional
dan/atau kegiatan.
53. Persetujuan Pelaksanaan Uji Coba Pemanfaatan Limbah
B3 adalah pernyataan tertulis yang memuat identitas
pemohon, tata cara pelaksanaan uji coba, nama, sumber,
karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang akan
dimanfaatkan, dan kewajiban pemenuhan standar
104
pelaksanaan Pemanfaatan Limbah B3.
54. Persetujuan Pelaksanaan Uji Coba Pengolahan Limbah B3
adalah pernyataan tertulis yang diterbitkan Menteri
memuat identitas pemohon, lokasi uji coba, dokumen
rencana uji coba, peralatan, metode, teknologi, fasilitas,
tata cara pelaksanaan uji coba, nama, sumber,
karakteristik, dan jumlah Limbah B3 yang akan diolah,
dan kewajiban pemenuhan standar pelaksanaan
Pengolahan Limbah B3.
55. Rekomendasi Impor Limbah Non B3 adalah surat yang
diterbitkan Menteri untuk menjadi dasar pertimbangan
penerbitan izin operasional dan/atau kegiatan.
56. Izin Pembuangan Air Limbah adalah izin yang diberikan
kepada setiap usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
pembuangan dan/atau pemanfaatan air limbah ke media
lingkungan hidup.
57. Izin Pemanfaatan Air Limbah Untuk Aplikasi pada Tanah
adalah pemanfaatan air limbah suatu jenis usaha
dan/atau kegiatan, yang pada kondisi tertentu masih
mengandung unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan,
sebagai substitusi pupuk dan penyiraman tanah pada
lahan pembudidayaan tanaman.
58. Izin Pembuangan Air Limbah secara Injeks adalah Izin
Usaha dan/atau kegiatan hulu minyak dan gas serta
panas bumi ke dalam formasi tertentu di dalam perut
bumi.
59. Izin Emisi adalah izin yang diberikan kepada setiap usaha
dan/atau kegiatan untuk melakukan pembuangan emisi
ke udara dari sumber tidak bergerak.
60. Prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan
penunjang utama terselenggarakannya suatu usaha dan
atau kegiatan, antara lain berupa gedung, pabrik, unit
pengelolaan limbah dan lahan.
61.Menguasai adalah penguasaan prasarana berdasarkan
kepemilikan sesuai titel hak termasuk sewa, pinjam
meminjam, atau bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
105
62. Notifikasi adalah pemberitahuan terkait proses
pelaksanaan kegiatan pelaku usaha dalam pemenuhan
persyaratan atau penyelesaian pemenuhan komitmen Izin
Usaha dan Izin Komersial atau Operasional.
63. Hari adalah hari sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah.
64.Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
65. Sekretaris Jenderal adalah Sekretaris Jenderal
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
66. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Lingkup
Kementerian yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
sesuai dengan kewenangannya.
67. Kepala Dinas Provinsi adalah Kepala Dinas yang diserahi
tugas dan tanggung jawab bidang lingkungan hidup dan
kehutanan.
68. Kepala Dinas Kabupaten/Kota adalah Kepala Dinas yang
diserahi tugas dan tanggung jawab bidang lingkungan
hidup dan kehutanan.
69. Kementerian adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Bagian Kedua
Tujuan dan Ruang Lingkup
Pasal 2
Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Lingkup
Kementerian bertujuan untuk:
a. memberikan kemudahan bagi pengusaha dalam
pengurusan perizinan berusaha di Bidang Lingkungan
Hidup dan Kehutanan;
b. memberikan kemudahan bagi pengusaha dalam
melaksanakan usaha di Bidang Lingkungan Hidup dan
Kehutanan; dan
c. memberikan kepastian bagi pengusaha dalam
melaksanakan usaha di Bidang Lingkungan Hidup dan
106
Kehutanan.
Pasal 3
Ruang lingkup Pengaturan Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik Lingkup Kementerian, terdiri atas:
a. tata cara permohonan Izin Usaha dan Izin Komersial atau
Operasional;
b. pemenuhan komitmen;
c. masa berlaku Izin;
d. pelaksanaan pengawasan pemenuhan kewajiban; dan
e. sanksi.
BAB II
TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA DAN IZIN
KOMERSIAL ATAU OPERASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, terdiri
atas:
a. Izin Usaha; dan
b. Izin Komersial atau Operasional.
(2) Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdiri atas:
a. Bidang Pemanfaatan Hutan, terdiri atas:
1. Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvo Pastura
pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (IUPK
Silvopastura);
2. Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Silvo Fishery
pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (IUPK
Silvo Fishery);
3. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Alam (IUPHHK-HA) Pada Hutan Produksi;
107
4. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman Industri pada Hutan Tanaman (IUPHHKHTI)
Pada Hutan Produksi;
5. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Restorasi Ekosistem pada Hutan Alam (IUPHHKRE)
pada Hutan Produksi;
6. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
(IUPHHBK) Pada Hutan Produksi;
7. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Produksi;
8. Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada
Hutan Produksi dan Hutan Lindung;
9. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada
Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (IUPHHK HTHR)
pada Hutan Produksi;
10. Izin Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan
Hutan Lindung; dan
11. Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pada
Hutan Produksi dan Hutan Lindung;
b. Bidang Penggunaan Kawasan Hutan pada Hutan
Produksi, Hutan Lindung, Pelepasan Kawasan Hutan
dan Tukar Menukar Kawasan Hutan, terdiri atas:
1. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;
2. Pelepasan Kawasan Hutan; dan
3. Tukar Menukar Kawasan Hutan;
c. Bidang Industri Kehutanan terdiri atas:
1. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu
(IUIPHHK); dan
2. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan
Kayu (IUIPHHBK);
d. Bidang Perbenihan terdiri atas:
1. Izin Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera;
dan
2. Penetapan Pengada dan Pengedar Benih dan/atau
Bibit Terdaftar;
108
e. Bidang Pemanfaatan Kawasan Konservasi dan
Tumbuhan/Satwa Liar: Izin Lembaga Konservasi;
f. Bidang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, terdiri
atas:
1. Izin Pengusahaan Taman Buru;
2. Izin Pemanfaatan Komersial untuk Budidaya
Tanaman Obat; dan
3. Izin Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar;
g. Bidang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan
Konservasi terdiri atas:
1. Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
(IUPSWA);
2. Izin Usaha Penyedia Jasa Wisata Alam (IUPJWA);
3. Izin Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi
(IPJLPB) Tahap Ekploitasi dan Pemanfaatan;
4. Izin Usaha Pemanfaatan Air (IUPA) Skala Menengah
dan Besar di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya;
5. Izin Usaha Pemanfaatan Energi Air (IUPEA) Skala
Menengah dan Besar di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan
Raya;
6. Izin Usaha Pemanfaatan Air (IUPA) Skala Mikro dan
Kecil di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya; dan
7. Izin Usaha Pemanfaatan Energi Air (IUPEA) Skala
Mikro dan Kecil di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan
Raya;
h. Bidang Lingkungan Hidup terdiri atas:
1. Izin Lingkungan; dan
2. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL);
i. Bidang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Limbah B3) untuk Usaha Jasa yaitu Izin
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Limbah B3) untuk Usaha Jasa;
109
(3) Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. Bidang Perbenihan, terdiri atas:
1. Sertifikasi Sumber Benih;
2. Sertifikasi Mutu Bibit dan Sertifikasi Mutu Benih;
3. Izin Pemasukan dan Pengeluaran Benih dari Luar
Negeri; dan
4. Izin Pengeluaran Benih Tanaman Hutan ke Luar
Negeri;
b. Bidang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, terdiri
atas:
1. Izin Peminjaman Jenis Satwa Liar Dilindungi ke
Luar Negeri untuk Kepentingan Pengembangbiakan
(Breeding Loan);
2. Izin Akses Sumber Daya Genetik (SDG) dan/atau
Pengetahuan Tradisional – Sumber Daya Genetik
Spesies Liar untuk Kegiatan Komersial;
3. Izin Pertukaran Jenis Tumbuhan atau Satwa Liar
Dilindungi dengan Lembaga Konservasi di Luar
Negeri;
4. Izin Perolehan Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar
untuk Lembaga Konservasi;
5. Izin Pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam
Negeri;
6. Izin Pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Luar
Negeri;
7. Izin Peragaan Tumbuhan dan Satwa Liar
Dilindungi; dan
8. Izin Perolehan Induk Penangkaran Tumbuhan dan
Satwa Liar;
c. Bidang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan
Konservasi yaitu Izin Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Panas Bumi (IPJLPB) Tahap Eksplorasi;
d. Bidang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Limbah B3) untuk Penghasil terdiri atas:
1. Izin Operasional Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) untuk
110
Penghasil;
2. Rekomendasi Pengelolaan Limbah B3 untuk
Pengangkutan Limbah B3;
3. Persetujuan Pelaksanaan Uji Coba Pemanfaatan
Limbah B3;
4. Persetujuan Pelaksanaan Uji Coba Pengolahan
Limbah B3; dan
5. Rekomendasi Impor Limbah Non B3;
e. Bidang Pembuangan Air Limbah yaitu Izin
Pembuangan Air Limbah; dan
f. Bidang Emisi yaitu Izin Emisi.
Bagian Kedua
Tata Cara Permohonan
Pasal 5
(1) Permohonan Izin Usaha dan Izin Komersial atau
Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
diajukan oleh:
a. Pelaku Usaha perseorangan; atau
b. Pelaku Usaha nonperseorangan.
(2) Pelaku Usaha perseorangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a merupakan orang perorangan penduduk
Indonesia yang cakap untuk bertindak dan melakukan
perbuatan hukum.
(3) Pelaku Usaha nonperseorangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. perseroan terbatas;
b. perusahaan umum;
c. perusahaan umum daerah;
d. badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara;
e. badan layanan umum;
f. lembaga penyiaran;
g. badan usaha yang didirikan oleh yayasan;
h. koperasi;
i. persekutuan komanditer (commanditaire
vennootschap);
111
j. persekutuan firma (venootschap onder firma); dan
k. persekutuan perdata.
Pasal 6
(1) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
terdiri atas:
a. Pelaku Usaha yang tidak memerlukan Prasarana
untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan; atau
b. Pelaku Usaha yang memerlukan Prasarana untuk
menjalankan usaha dan/atau kegiatan.
(2) Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk
menjalankan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Pelaku Usaha yang telah memiliki atau menguasai
prasarana; atau
b. Pelaku Usaha yang belum memiliki atau menguasai
prasarana.
(3) Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
diterbitkan berdasarkan Komitmen kepada:
a. Pelaku Usaha yang tidak memerlukan prasarana
untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan; dan
b. Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk
menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan telah
memiliki atau menguasai prasarana.
(4) Izin Usaha diterbitkan berdasarkan Komitmen kepada
Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk
menjalankan usaha dan/atau kegiatan tapi belum
memiliki atau menguasai prasarana, setelah Lembaga OSS
menerbitkan:
a. Izin Lokasi;
b. Izin Lokasi Perairan;
c. Izin Lingkungan; dan/atau
d. Izin Mendirikan Bangunan;
berdasarkan Komitmen.
112
Pasal 7
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
merupakan pelaku usaha yang telah memperoleh Nomor
Induk Berusaha (NIB) yang diterbitkan oleh Lembaga OSS.
Pasal 8
(1) Permohonan Izin Usaha dan Izin Komersial atau
Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
diajukan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/ Wali
Kota sesuai dengan kewenangannya melalui Lembaga OSS
dilengkapi dengan persyaratan pernyataan komitmen dan
persyaratan teknis.
(2) Penyampaian permohonan dan persyaratan permohonan
kepada Lembaga OSS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
Pasal 9
Berdasarkan permohonan dan persyaratan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Direktorat Jenderal,
Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangannya mengakses dan mengunduh permohonan dan
persyaratan dari sistem elektronik yang terintegrasi.
Bagian Ketiga
Persyaratan Permohonan
Paragraf 1
Umum
Pasal 10
(1) Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional dilengkapi
persyaratan berupa:
a. Pernyataan Komitmen; dan
b. persyaratan teknis.
(2) Pernyataan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk
memenuhi persyaratan Izin Usaha dan Izin Komersial atau
113
Operasional.
Paragraf 2
Persyaratan Permohonan untuk Mendapatkan Izin Usaha dan
Izin Komersial atau Izin Operasional
Pasal 11
(1) Persyaratan permohonan Izin usaha dan Izin Komersial
atau Operasional baik berupa Pernyataan Komitmen dan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Format Pernyataan Komitmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisah dari Peraturan Menteri
ini.
Bagian Keempat
Penyelesaian Permohonan
Pasal 12
(1) Berdasarkan hasil akses dan unduhan permohonan dan
persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9:
a. Direktorat Jenderal;
b. Dinas Provinsi; atau
c. Dinas Kabupaten/Kota;
sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan
terhadap Pernyataan Komitmen dan persyaratan teknis.
(2) Pelaksanaan pengawasan terhadap persyaratan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. melakukan identifikasi dan pemilahan data
kelengkapan persyaratan permohonan;
b. melakukan pemeriksaan legalitas dokumen;
c. melakukan penelitian atau evalusi terhadap substansi
persyaratan permohonan;
114
d. memberikan arahan penyempurnaan persyaratan
permohonan; dan/atau
e. melakukan telaahan teknis sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa permohonan:
a. telah memenuhi kelengkapan persyaratan dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
atau
b. telah memenuhi kelengkapan persyaratan namun
substansinya tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan dan telah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,
apabila memenuhi:
a. kelengkapan persyaratan komitmen dan persyaratan
teknis; dan
b. ketentuan teknis.
(5) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), dapat dilakukan verifikasi lapangan.
Pasal 13
(1) Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (3), Direktur Jenderal melaporkan
kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal dalam bentuk
Dokumen Elektronik melalui sistem elektronik yang
terintegrasi atau surat secara manual.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Sekretaris Jenderal:
a. dalam jangka waktu 1 (satu) hari menyampaikan
laporan hasil pengawasan kepada Menteri; dan
b. dalam jangka waktu 1 (satu) hari menyampaikan hasil
pengawasan kepada Lembaga OSS dalam bentuk
Dokumen Elektronik melalui sistem elektronik yang
terintegrasi, berupa notifikasi sebagai berikut:
1. persetujuan dalam hal permohonan telah
115
memenuhi persyaratan dan telah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan; atau
2. penolakan dalam hal permohonan telah memenuhi
persyaratan dan tidak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 14
Berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3), Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas
Kabupaten/Kota melalui Gubernur atau Bupati/Wali Kota
sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu 1 (satu)
hari, menyampaikan hasil pengawasan kepada Lembaga OSS
dalam bentum Dokumen Elektronik melalui sistem elektronik
yang terintegrasi berupa Notifikasi sebagai berikut:
a. persetujuan dalam hal permohonan telah memenuhi
persyaratan dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; atau
b. penolakan dalam hal permohonan telah memenuhi
persyaratan namun tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Berdasarkan Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (2) huruf b atau Pasal 14, Lembaga OSS menerbitkan
Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional atau menolak
permohonan.
Pasal 16
Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 diterbitkan berdasarkan komitmen
atau tanpa komitmen sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Pasal 17
Dalam hal Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
yang tidak memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha
116
dan atau kegiatan, dan memerlukan prasarana tetapi belum
memiliki atau menguasai prasarana serta tanpa kewajiban
memenuhi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pemegang Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
dapat langsung melakukan kegiatan usaha.
BAB III
PEMENUHAN KOMITMEN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional yang
diterbitkan berdasarkan komitmen, pemegang izin wajib
menyelesaikan pemenuhan komitmen.
Pasal 19
(1) Pemegang Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
dilarang melakukan kegiatan usaha sebelum
menyelesaikan pemenuhan komitmen.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikecualikan dalam rangka menyelesaikan pemenuhan
komitmen dan kegiatan lainnya yang ditentukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 1
Tata Cara Penyelesaian Pemenuhan Komitmen
Pasal 20
Setelah Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
diterbitkan, Direktur Jenderal lingkup Kementerian, Kepala
Dinas Daerah Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota
sesuai dengan kewenangannya, memerintahkan kepada
Pemegang Izin untuk melaksanakan pemenuhan komitmen
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
117
Paragraf 2
Penyelesaian Pemenuhan Komitmen Pelaksanaan Tata Batas
Pasal 21
(1) Pemegang Izin Usaha setelah menerima perintah
penyelesaian pemenuhan komitmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, menyelesaikan:
a. penataan batas; atau
b. penandaan/pemberian tanda batas.
(2) Pelaksanaan penataan batas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, dilakukan melalui tahapan:
a. pembuatan rencana penataan batas dan peta kerja;
b. pembuatan instruksi kerja penataan batas;
c. pengukuran batas dan pemasangan tanda batas;
d. pemetaan hasil penataan batas;
e. pembuatan dan penandatanganan berita acara dan
peta hasil tata batas; dan
f. penetapan batas areal kerja.
(3) Pelaksanaan penandaan/pemberian tanda batas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
melalui tahapan:
a. pesiapan meliputi kegiatan:
1. pembentukan team kerja;
2. penyiapan peta kerja;
3. penyiapan rencana kerja;
b. pelaksanaan meliputi kegiatan:
1. pengukuran dan pemberian tanda batas;
2. pembuatan Berita Acara Pengukuran dan
Pemberian Tanda Batas;
3. pembuatan laporan; dan
c. penilaian dan pengesahan tanda batas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penataan
batas dan penandaan/pemberian tanda batas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
118
Paragraf 3
Penyelesaian Pemenuhan Komitmen Pembuatan Berita Acara
Hasil Pembuatan Koordinat Geografis Batas Areal yang
Dimohon
Pasal 22
(1) Pemegang Izin Usaha setelah menerima perintah
penyelesaian pemenuhan komitmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, menyelesaikan berita acara
hasil pembuatan koordinat geografis batas areal terhadap
calon areal kerja.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembuatan
berita acara hasil pembuatan koordinat geografis batas
areal terhadap calon areal kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 4
Penyelesaian Pemenuhan Komitmen Pembayaran Iuran Izin
Pasal 23
(1) Pemegang Izin Usaha setelah menerima perintah
penyelesaian pemenuhan komitmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, menyelesaikan pembayaran
Iuran Izin Usaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan,
pemungutan dan penyetoran Iuran Izin Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri tersendiri.
Paragraf 5
Penyelesaian Pemenuhan Komitmen Izin Lingkungan, AMDAL
atau UKL-UPL
Pasal 24
(1) Pemegang Izin Usaha setelah menerima perintah
penyelesaian pemenuhan komitmen sebagaimana
119
dimaksud dalam Pasal 20, menyelesaikan komitmen Izin
Lingkungan, AMDAL atau UKL-UPL.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian pemenuhan
komitmen Izin Lingkungan, AMDAL atau UKL-UPL diatur
dalam Peraturan Menteri tersendiri.
Paragraf 6
Penyelesaian Pemenuhan Komitmen lainnya
Pasal 25
(1) Pemegang Izin Komersial atau Operasional setelah
menerima perintah penyelesaian pemenuhan komitmen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, menyelesaikan
pemenuhan komitmen lainnya meliputi Sertifikat, Standar
dan/atau Lisensi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian
pemenuhan komitmen lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 26
Kewajiban penyelesaian pemenuhan komitmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 25 berlaku
bagi Pemegang Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Kedua
Tata Cara Pengawasan Penyelesaian Pemenuhan Komitmen
Pasal 27
(1) Menteri, Gubernur, Bupati/Wali Kota sesuai dengan
kewenangannya melakukan pengawasan terhadap
Pemegang Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
atas pelaksanaan penyelesaian pemenuhan komitmen.
(2) Pengawasan pelaksanaan pemenuhan komitmen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
120
a. tenggang waktu penyelesaian pemenuhan komitmen;
dan
b. proses penyelesaian pemenuhan komitmen sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Tata Cara Penyampaian Penyelesaian Pemenuhan Komitmen
Pasal 28
(1) Pemegang Izin Usaha dan Pemegang Izin Komersial atau
Operasional menyampaikan laporan penyelesaian
pemenuhan komitmen dengan dilampiri dokumen
komitmen kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Wali Kota
sesuai dengan kewenangannya melalui Lembaga OSS
dengan dokumen elektronik melalui sistem elektronik
terintegrasi.
(2) Berdasarkan laporan penyelesaian pemenuhan komitmen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal,
Kepala Dinas Daerah Provinsi atau Kepala Dinas Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya,
mengakses dan mengunduh serta melakukan pengecekan
dan penelaahan atas dokumen penyelesaian komitmen.
(3) Dalam rangka pengecekan dan penelaahan dokumen
penyelesaian komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Direktur Jenderal, Kepala Dinas Provinsi atau Kepala
Dinas Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya,
dapat melakukan verifikasi lapangan.
Bagian Keempat
Tata Cara Penyampaian Notifikasi pada Sistem OSS
Pasal 29
(1) Berdasarkan hasil pengecekan dan penelaahan atas
dokumen penyelesaian komitmen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2), Direktur Jenderal, Kepala Dinas
Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangannya, menyampaikan hasil pengecekan kepada
121
Lembaga OSS berupa Dokumen Elektronik melalui sistem
elektronik yang terintegrasi, berupa Notifikasi:
a. pernyataan definitif Izin Usaha dan Izin Komersial atau
Operasional apabila telah menyelesaikan seluruh
pemenuhan komitmen sesuai dengan tenggang waktu
yang ditentukan dan proses penyelesaian pemenuhan
komitmen sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; atau
b. pembatalan Izin Usaha dan Izin Komersial atau
Operasional apabila belum menyelesaikan pemenuhan
komitmen atau menyelesaikan komitmen melebihi
tenggang waktu yang telah ditentukan dan atau tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Berdasarkan Notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Lembaga OSS:
a. memberikan pernyataan definitif Izin Usaha dan Izin
Komersial atau Operasional; atau
b. menerbitkan pembatalan Izin Usaha dan Izin Komersial
atau Operasional.
(3) Dalam hal Izin Usaha atau Izin Operasional dibatalkan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pelaku
Usaha dapat mengajukan permohonan ulang dan
Penyelesaian Komitmen yang telah dipenuhi tetap diakui
sepanjang tidak ada perubahan dalam hasil penelaahan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
huruf e.
Pasal 30
Dalam hal Lembaga OSS telah memberikan pernyataan
definitif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf
a, Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional berlaku
efektif dan Pemegang Izin dapat langsung menjalankan
kegiatan usaha.
122
BAB IV
MASA BERLAKU IZIN
Pasal 31
(1) Izin Usaha berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan
usaha dan/atau kegiatannya, kecuali diatur lain dalam
undang-undang.
(2) Izin Komersial atau Operasional berlaku sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur masing-masing izin.
Pasal 32
(1) Pemegang Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
dapat mengembalikan Izin kepada Menteri, Gubernur,
Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangannya sebelum
jangka waktu Izin berakhir.
(2) Pengembalian Izin Usaha dan Izin Komersial atau
Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
menghilangkan kewajiban Pemegang Izin yang melekat
dalam Izin.
BAB V
PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PEMENUHAN
KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Pelaksanaan atas Pemenuhan Kewajiban
Pasal 33
(1) Pemegang Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
setelah mendapat penetapan definitif dari Lembaga OSS,
wajib:
a. menyelesaikan pemenuhan kewajiban izin;
b. pemenuhan standar, sertifikasi, lisensi; dan/atau
c. melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan
Izin.
123
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 34
Pelaksanaan atas pemenuhan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan pengawasan oleh Menteri,
Gubernur, Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangannya.
BAB VI
SANKSI
Pasal 35
(1) Dalam hal hasil pengawasan pelaksanaan atas pemenuhan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ditemukan ketidaksesuaian atau penyimpangan, diambil
tindakan.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan berusaha;
c. pengenaan denda administratif; dan/atau
d. pencabutan Perizinan Berusaha.
Pasal 36
(1) Berdasarkan hasil pengawasan pelaksanaan atas
pemenuhan kewajiban, Menteri, Gubernur, Bupati/Wali
Kota sesuai kewenangannya melakukan peringatan
dan/atau pengenaan denda administratif.
(2) Berdasarkan hasil pengawasan pelaksanaan atas
pemenuhan kewajiban, Menteri, Gubernur, Bupati/ Wali
Kota sesuai dengan kewenangannya menyampaikan
kepada Lembaga OSS berupa dokumen elektronik melalui
sistem elektronik yang terintegrasi.
124
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Lembaga OSS mengambil tindakan penghentian sementara
kegiatan berusaha atau pencabutan Perizinan Berusaha.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata waktu penyelesaian
proses Perizinan Berusaha di bidang teknis sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Perizinan Berusaha yang telah terbit sebelum berlakunya
Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku sampai
berakhirnya Izin;
b. permohonan Perizinan Berusaha yang telah diajukan oleh
Pelaku Usaha sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, dan belum
diterbitkan Izinnya, diproses melalui sistem OSS sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini;
c. Persetujuan Prinsip Izin Usaha yang telah memenuhi
kewajiban atau belum memenuhi kewajiban, yang terbit
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses lebih
lanjut sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
ini.
Pasal 39
Perpanjangan, perluasan areal kerja, atau perubahan
kegiatan Perizinan Berusaha, diterbitkan oleh Menteri,
Gubernur, Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangannya.
125
Pasal 40
Dalam hal Perizinan Berusaha tidak atau belum tercantum
dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)
dan/atau belum dapat diproses melalui Lembaga OSS, maka
Perizinan Berusaha diterbitkan oleh Menteri, Gubernur,
Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangannya.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini semua ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur pelayanan
perizinan berusaha di bidang lingkungan hidup dan
kehutanan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 42
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
126
2018, No.927
-37-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.23/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018
TENTANG
KRITERIA PERUBAHAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN DAN TATA CARA
PERUBAHAN IZIN LINGKUNGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 ayat (8) dan
Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Kriteria Perubahan
Usaha dan/atau Kegiatan dan Tata Cara Perubahan Izin
Lingkungan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
219
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
4. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG KRITERIA PERUBAHAN USAHA
DAN/ATAU KEGIATAN DAN TATA CARA PERUBAHAN IZIN
LINGKUNGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat
untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai
220
dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.
3. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disingkat UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan
terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak
berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.
4. Kerangka Acuan adalah ruang lingkup kajian analisis
dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil
pelingkupan.
5. Analisis Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disebut Andal adalah telaahan secara cermat dan
mendalam tentang dampak penting suatu rencana Usaha
dan/atau kegiatan.
6. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disingkat RKL adalah upaya penanganan
dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan
akibat dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
7. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disingkat RPL adalah upaya pemantauan
komponen lingkungan hidup yang terkena dampak
akibat rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
8. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup adalah
keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan
hidup dari suatu rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang
wajib dilengkapi dengan Amdal.
9. Rekomendasi UKL-UPL adalah surat persetujuan
terhadap suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
UKL-UPL.
10. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas
yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona
lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
221
11. Pemrakarsa adalah setiap orang atau instansi pemerintah
yang bertanggung jawab atas suatu Usaha dan/atau
Kegiatan yang akan dilaksanakan.
12. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang di bidang lingkungan hidup dan
kehutanan.
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan untuk mendukung
tata kelola Izin Lingkungan sesuai dengan standar
pelayanan publik dan perlindungan lingkungan hidup.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan
pedoman perubahan Izin Lingkungan bagi:
a. pemegang Izin Lingkungan yang merencanakan
untuk melakukan perubahan Usaha dan/atau
Kegiatannya;
b. instansi lingkungan hidup dalam melakukan
telahaan dan memberikan arahan proses perubahan
Izin Lingkungan kepada pemegang Izin Lingkungan;
c. Komisi Penilai Amdal, tim teknis Komisi Penilai
Amdal dan/atau instansi lingkungan hidup dalam
melakukan penilaian Amdal atau addendum Andal
dan RKL-RPL;
d. instansi lingkungan hidup dalam melakukan
pemeriksaan UKL-UPL; dan
e. Menteri, gubernur, bupati/walikota dalam
melakukan penerbitan perubahan Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup atau perubahan
Rekomendasi UKL-UPL dan perubahan Izin
Lingkungan.
Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini
meliputi:
a. jenis dan kriteria perubahan Usaha dan/atau Kegiatan;
b. proses penapisan perubahan Izin Lingkungan;
222
c. jenis dan muatan dokumen lingkungan untuk perubahan
Izin Lingkungan;
d. tata laksana perubahan Izin Lingkungan;
e. pembinaan dan evaluasi kinerja perubahaan Izin
Lingkungan; dan
f. pembiayaan.
BAB II
JENIS DAN KRITERIA PERUBAHAN IZIN LINGKUNGAN
Pasal 4
(1) Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.
(2) Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan perubahan apabila Usaha dan/atau
Kegiatan yang telah memperoleh Izin Lingkungan
direncanakan untuk dilakukan perubahan.
(3) Perubahan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. perubahan kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan;
b. perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup;
c. perubahan yang berpengaruh terhadap lingkungan
hidup yang memenuhi kriteria:
1. perubahan dalam penggunaan alat-alat
produksi yang berpengaruh terhadap
lingkungan hidup;
2. penambahan kapasitas produksi;
3. perubahan spesifikasi teknik yang
mempengaruhi lingkungan;
4. perubahan sarana Usaha dan/atau Kegiatan;
5. perluasan lahan dan bangunan Usaha
dan/atau Kegiatan;
6. perubahan waktu atau durasi operasi Usaha
dan/atau Kegiatan;
7. Usaha dan/atau Kegiatan di dalam kawasan
yang belum tercakup di dalam Izin Lingkungan;
223
8. terjadinya perubahan kebijakan pemerintah
yang ditujukan untuk peningkatan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; dan/atau
9. terjadi perubahan lingkungan hidup yang
sangat mendasar akibat peristiwa alam atau
karena akibat lain, sebelum dan pada waktu
Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan
dilaksanakan.
d. terdapat perubahan dampak dan/atau risiko
lingkungan hidup berdasarkan hasil kajian analisis
risiko lingkungan hidup dan/atau audit lingkungan
hidup yang diwajibkan;
e. tidak dilaksanakannya rencana Usaha dan/atau
Kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkannya Izin Lingkungan; dan/atau
f. perubahan Usaha dan/atau Kegiatan lainnya yang
tidak berpengaruh terhadap lingkungan hidup, yang
mencakup:
1. perubahan Usaha dan/atau Kegiatan karena
Usaha dan/atau Kegiatan tersebut dilakukan
pemisahan dan/atau penggabungan baik
sebagian atau seluruhnya;
2. perubahan nama penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan;
3. perubahan nama kegiatan tanpa mengubah
jenis kegiatan;
4. perubahan wilayah administrasi pemerintahan;
dan/atau
5. penciutan/pengurangan kegiatan dan/atau
luas areal Usaha dan/atau Kegiatan.
(4) Perubahan nama penanggung jawab Usaha dan/atau
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f
angka 2, berlaku bagi Usaha dan/atau Kegiatan
perseorangan.
(5) Jenis dan kriteria perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
yang dapat menyebabkan perubahan Izin Lingkungan
224
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
BAB III
PROSES PENAPISAN PERUBAHAN IZIN LINGKUNGAN
Pasal 5
(1) Dalam hal Usaha dan/atau Kegiatan telah memperoleh
Izin Lingkungan direncanakan untuk dilakukan
perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
pemegang Izin Lingkungan mengajukan permohonan
arahan perubahan Izin Lingkungan kepada Menteri,
gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pengajuan permohonan arahan perubahan Izin
Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilengkapi dengan penyajian informasi lingkungan.
(3) Format penyajian informasi lingkungan sebagaimana
dimaksud ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 6
(1) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya melakukan evaluasi terhadap
permohonan arahan perubahan Izin Lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya menugaskan:
a. pejabat instansi lingkungan hidup pusat;
b. kepala instansi lingkungan hidup daerah provinsi,
atau
c. kepala instansi lingkungan hidup daerah
kabupaten/kota.
225
(3) Pelaksanaan evaluasi oleh pejabat lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai
dengan huruf c dapat dilakukan dengan melibatkan:
a. tim teknis Komisi Penilai Amdal; dan/atau
b. tenaga ahli/pakar.
(4) Pejabat lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), sesuai dengan kewenangannya memberikan
arahan tindak lanjut perubahan Izin Lingkungan kepada
pemegang Izin Lingkungan.
(5) Arahan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a. dalam hal perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
termasuk dalam kategori perubahan Usaha
dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf b yang berpengaruh terhadap
lingkungan, huruf c sampai dengan huruf e,
perubahan Izin Lingkungan dilakukan melalui
perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup
atau perubahan Rekomendasi UKL-UPL; atau
b. dalam hal perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
termasuk dalam kategori perubahan Usaha
dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b yang tidak
berpengaruh terhadap lingkungan dan huruf f,
perubahan Izin Lingkungan dilakukan tanpa melalui
perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup
atau perubahan Rekomendasi UKL-UPL.
Pasal 7
(1) Perubahan Izin Lingkungan melalui perubahan
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf a dilakukan
melalui:
a. penyusunan dan penilaian Amdal baru bagi rencana
perubahan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
memiliki Amdal; atau
226
b. penyusunan dan penilaian addendum Andal dan
RKL-RPL bagi rencana perubahan Usaha dan/atau
Kegiatan yang wajib memiliki Amdal.
(2) Penyusunan dan penilaian Amdal baru bagi rencana
perubahan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan apabila perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
memenuhi kriteria:
a. rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan akan
berpotensi menimbulkan jenis dampak penting
hipotetik baru yang belum dilingkup dalam
dokumen Amdal sebelumnya; dan/atau
b. rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan akan
berpotensi mengubah batas wilayah studi.
(3) Penyusunan dan penilaian addendum Andal dan RKLRPL
bagi rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
yang wajib memiliki Amdal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan apabila perubahan Usaha
dan/atau Kegiatan memenuhi kriteria:
a. rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan tidak
berpotensi menimbulkan jenis dampak penting
hipotetik baru atau jenis dampak penting hipotetik
yang timbul akibat perubahan Usaha dan/atau
Kegiatan sudah dilingkup dalam dokumen Amdal
sebelumnya; dan/atau
b. rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan tidak
berpotensi mengubah batas wilayah studi.
Pasal 8
(1) Perubahan Izin Lingkungan melalui perubahan
Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (5) huruf a dilakukan melalui penyusunan
dan pemeriksaan UKL-UPL baru.
(2) Penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
apabila perubahan Usaha dan/atau Kegiatan yang
direncanakan termasuk dalam skala besaran jenis
227
rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
UKL-UPL.
(3) Dalam hal perubahan Usaha dan/atau Kegiatan yang
wajib memiliki UKL-UPL menyebabkan skala/besaran
Usaha dan/atau Kegiatan tersebut termasuk dalam
kriteria wajib memiliki Amdal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai jenis rencana
Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal,
perubahan Izin Lingkungan dilakukan melalui
penyusunan dan penilaian Amdal baru.
Pasal 9
(1) Perubahan Izin Lingkungan tanpa melalui perubahan
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau perubahan
Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (5) huruf b dilakukan tanpa melalui:
a. penyusunan dan penilaian dokumen Amdal baru;
b. penyusunan dan penilaian addendum Andal dan
RKL RPL; atau
c. penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL baru.
(2) Perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyampaian dan pemeriksaan perubahan
kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan dan
perubahan Usaha dan/atau Kegiatan lainnya; atau
b. penyusunan dan penilaian laporan perubahan
pengelolaan dan pemantuan lingkungan hidup.
BAB IV
JENIS DAN MUATAN DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP
UNTUK PERUBAHAN IZIN LINGKUNGAN
Pasal 10
(1) Berdasarkan arahan perubahan Izin Lingkungan yang
dilakukan melalui perubahan Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf a,
228
Pasal 7 dan Pasal 8, pemegang Izin Lingkungan wajib
menyusun:
a. dokumen Amdal baru;
b. dokumen addendum Andal dan RKL-RPL; atau
c. formulir UKL-UPL baru.
(2) Dokumen Amdal baru sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a disusun berdasarkan muatan yang tercantum
di dalam pedoman penyusunan Amdal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penyusunan dokumen lingkungan hidup.
(3) Dokumen addendum Andal dan RKL-RPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. addendum Andal dan RKL-RPL tipe A;
b. addendum Andal dan RKL-RPL tipe B; dan
c. addendum Andal dan RKL-RPL tipe C.
(4) Dokumen addendum Andal dan RKL-RPL tipe A sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a disusun dengan muatan:
a. pendahuluan;
b. deskripsi rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. deskripsi rona lingkungan hidup;
d. evaluasi kegiatan eksisting dan pemilihan DPH yang
sesuai dengan perubahan Usaha dan/atau Kegiatan;
e. prakiraan dan evaluasi dampak lingkungan;
f. RKL-RPL;
g. daftar pustaka; dan
h. lampiran.
(5) Dokumen addendum Andal dan RKL-RPL tipe B sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b disusun dengan muatan:
a. pendahuluan;
b. deskripsi rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. deskripsi rona lingkungan hidup;
d. evaluasi kegiatan eksisting dan identifikasi
komponen lingkungan yang terkena dampak;
e. RKL-RPL;
f. daftar pustaka; dan
g. lampiran.
229
(6) Dokumen addendum Andal dan RKL-RPL tipe C sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c disusun dengan muatan:
a. pendahuluan;
b. deskripsi rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. RKL-RPL;
d. daftar pustaka; dan
e. lampiran
(7) Dokumen UKL-UPL baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c disusun berdasarkan muatan yang
tercantum di dalam pedoman penyusunan UKL-UPL
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
mengenai penyusunan dokumen lingkungan
hidup.
(8) Pedoman penyusunan Amdal baru, addendum Andal dan
RKL-RPL, dan penyusunan UKL-UPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 11
(1) Berdasarkan arahan perubahan Izin Lingkungan yang
dilakukan tanpa melalui perubahan Keputusan
Kelayakan Lingkungan atau Rekomendasi UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf b
dan Pasal 9, pemegang Izin Lingkungan wajib:
a. menyiapkan dokumen-dokumen dan/atau berkasberkas
terkait dengan perubahan kepemilikan Usaha
dan/atau Kegiatan dan/atau perubahan Usaha
dan/atau kegiatan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan-perundang-undangan; atau
b. menyusun laporan perubahan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup.
(2) Laporan perubahan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b disusun berdasarkan muatan yang tercantum di
dalam pedoman penyusunan laporan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
230
peraturan perundang-undangan.
BAB V
TATA LAKSANA PERUBAHAN IZIN LINGKUNGAN
Pasal 12
(1) Perubahan Izin lingkungan melalui perubahan
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dilakukan
melalui:
a. penilaian Amdal Baru; atau
b. penilaian Addendum Andal dan RKL-RPL.
(2) Perubahan Izin Lingkungan melalui perubahan
Rekomendasi UKL-UPL dilakukan melalui pemeriksaan
UKL-UPL Baru.
(3) Perubahan Izin Lingkungan tanpa melalui perubahan
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau perubahan
Rekomendasi UKL-UPL dilakukan melalui:
a. pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen dan/atau
berkas-berkas yang terkait dengan perubahaan
kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan dan
perubahan Usaha dan/atau Kegiatan lainnya; atau
b. penilaian laporan perubahan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup.
Pasal 13
Penilaian Amdal baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan pedoman penilaian
Amdal dan penerbitan Izin Lingkungan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata
laksana penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan
hidup serta penerbitan Izin Lingkungan.
Pasal 14
(1) Penilaian addendum Andal dan RKL-RPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b dilakukan
dengan tahapan:
231
a. penerimaan dan penilaian permohonan perubahaan
Izin Lingkungan, addendum Andal dan RKL-RPL
secara administratif;
b. penilaian addendum Andal dan RKL-RPL secara
teknis;
c. penilaian kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan
hidup berdasarkan addendum Andal dan RKL-RPL;
dan
d. penyampaian rekomendasi hasil penilaian kelayakan
atau ketidaklayakan lingkungan hidup;
(2) Penilaian addendum Andal dan RKL-RPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
kewenangan penilaian Amdal dan penerbitan Izin
Lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai tata laksana penilaian
dan pemeriksaan dokumen lingkungan hidup serta
penerbitan Izin Lingkungan.
(3) Penilaian addendum Andal dan RKL-RPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. tim teknis Komisi Penilai Amdal dan Komisi Penilai
Amdal untuk addendum Andal dan RKL-RPL tipe A;
b. tim teknis Komisi Penilai Amdal untuk addendum
Andal dan RKL-RPL tipe B; atau
c. instansi lingkungan hidup untuk addendum Andal
dan RKL-RPL tipe C.
(4) Jangka waktu penilaian addendum Andal dan RKL-RPL
sampai dengan disampaikannya hasil rekomendasi
penilaian kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lama:
a. 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak
addendum Andal dan RKL-RPL tipe A diterima dan
dinyatakan lengkap secara administrasi;
b. 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak addendum
Andal dan RKL-RPL tipe B diterima dan dinyatakan
lengkap secara administrasi; dan
232
c. 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
addendum Andal dan RKL-RPL tipe C diterima dan
dinyatakan lengkap secara administrasi.
Pasal 15
(1) Berdasarkan hasil penilaian addendum Andal dan RKLRPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya menerbitkan:
a. perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup
dan perubahan Izin Lingkungan, jika perubahan
rencana Usaha dan/atau Kegiatan dinyatakan layak
lingkungan hidup; atau
b. keputusan ketidaklayakan lingkungan, jika
perubahan rencana Usaha dan/atau Kegiatan
dinyatakan tidak layak lingkungan hidup.
(2) Penerbitan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara
bersamaan dengan penerbitan perubahan Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup.
(3) Jangka waktu penerbitan perubahan Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup dan perubahan Izin
Lingkungan Hidup atau ketidaklayakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rekomendasi hasil penilaian kelayakan
lingkungan hidup atau ketidaklayakan lingkungan hidup.
Pasal 16
Pemeriksaan UKL-UPL baru sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan pedoman
pemeriksaan UKL-UPL dan penerbitan Izin Lingkungan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
tata laksana penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan
hidup serta penerbitan Izin Lingkungan.
233
Pasal 17
(1) Pemeriksaan dokumen dan/atau berkas terkait dengan
perubahan Izin Lingkungan karena perubahaan
kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan dan perubahan
Usaha dan/atau Kegiatan lainnya dilakukan melalui
tahapan:
a. penerimaan dan pemeriksaan permohonan
perubahaan Izin Lingkungan secara administratif;
dan
b. pemeriksaan substansi teknis terhadap dokumen
dan/atau berkas yang terkait dengan perubahan Izin
Lingkungan
(2) Pemeriksaan dokumen dan/atau berkas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
kewenangan penilaian Amdal atau pemeriksaan UKL-UPL
dan penerbitan Izin Lingkungan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai tata laksana
penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan hidup
serta penerbitan Izin Lingkungan.
(3) Jangka waktu pemeriksaan subtansi teknis terhadap
dokumen dan/atau berkas yang terkait dengan
perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak permohonan perubahan Izin
Lingkungan dinyatakan lengkap secara administratif.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan substansi teknis
terhadap dokumen dan/atau berkas yang terkait dengan
perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya menerbitkan perubahan Izin
Lingkungan.
(5) Jangka waktu penerbitan perubahan Izin Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rekomendasi hasil pemeriksaan substansi
teknis.
234
Pasal 18
(1) Penilaian laporan perubahan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup dilakukan melalui
tahapan:
a. penerimaan dan pemeriksaan permohonan
perubahaan Izin Lingkungan dan laporan perubahan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
secara administratif; dan
b. penilaian laporan perubahan pemantauan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara teknis;
(2) Penilaian laporan perubahan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kewenangan
penilaian Amdal atau pemeriksaan UKL-UPL dan
penerbitan Izin Lingkungan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai tata laksana
penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan hidup
serta penerbitan Izin Lingkungan.
(3) Penilaian laporan perubahan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup secara teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
permohonan perubahan Izin Lingkungan dan laporan
perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup dinyatakan lengkap secara administratif.
(4) Berdasarkan hasil penilan laporan perubahan
pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup secara
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya menerbitkan perubahan Izin
Lingkungan.
(5) Jangka waktu penerbitan perubahan Izin Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rekomendasi hasil penilaian laporan
perubahan pemantauan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara teknis.
235
Pasal 19
Tata laksana perubahan Izin Lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 dan Pasal 18
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 20
Pelaksanaan perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 baru dapat dilakukan
setelah diterbitkannya perubahan Izin Lingkungan, kecuali
untuk:
a. perubahan Usaha dan/atau Kegiatan yang terkait dengan
perubahan kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan; dan
b. perubahan Usaha dan/atau Kegiatan lainnya.
BAB VI
PEMBINAAN DAN EVALUASI KINERJA
PENATALAKSANAAN PERUBAHAN IZIN LINGKUNGAN
Pasal 21
(1) Instansi lingkungan hidup pusat melakukan pembinaan
penatalaksanaan perubahan Izin Lingkungan hidup
terhadap:
a. instansi lingkungan hidup daerah provinsi; dan
b. instansi lingkungan hidup daerah kabupaten/kota.
(2) Instansi lingkungan hidup daerah provinsi melakukan
pembinaan penatalaksanaan perubahan Izin Lingkungan
kepada instansi lingkungan hidup daerah
kabupaten/kota.
(3) Instansi lingkungan hidup pusat, instansi lingkungan
hidup daerah provinsi, atau instansi lingkungan hidup
daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya
melakukan pembinaan penatalaksanaan perubahan izin
lingkungan kepada:
a. penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan selaku
pemegang izin lingkungan;
b. lembaga penyedia jasa penyusun Amdal; dan/atau
236
c. penyusun dokumen Amdal, addendum Andal dan
RKL-RPL serta UKL-UPL.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) dilakukan dalam bentuk:
a. bimbingan teknis;
b. penyedian informasi yang relevan dan mutakhir
terkait perubahan Izin Lingkungan; dan/atau
c. penyedian panduan teknis yang memuat tatacara
dan penjelasan teknis perubahan Izin Lingkungan.
Pasal 22
(1) Instansi lingkungan hidup pusat melakukan evaluasi
kinerja terhadap penatalaksanaan perubahan Izin
Lingkungan hidup yang dilakukan oleh:
a. instansi lingkungan hidup daerah provinsi; dan
b. instansi lingkungan hidup daerah kabupaten/kota.
(2) Instansi lingkungan hidup daerah provinsi melakukan
evaluasi kinerja terhadap penatalaksanaan perubahan
Izin Lingkungan yang dilakukan oleh instansi lingkungan
hidup daerah kabupaten/kota.
(3) Evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) paling sedikit dilakukan terhadap:
a. pelaksanaan norma, standar, prosedur dan kriteria
terkait dengan penatalaksanaan perubahan Izin
Lingkungan;
b. kinerja Komisi Penilai Amdal provinsi dan
kabupaten/kota terkait penatalaksanaan perubahan
Izin Lingkungan untuk Usaha dan/atau Kegiatan
yang wajib memiliki Amdal;
c. kinerja instansi lingkungan hidup daerah provinsi
dan daerah kabupaten/kota terkait penatalaksanaan
perubahan izin lingkungan untuk usaha dan/atau
kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL; dan
d. kinerja penyusun dokumen Amdal, addendum Andal
dan RKL-RPL serta UKL-UPL.
(4) Evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu.
237
(5) Mekanisme dan tindak lanjut evaluasi kinerja dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Menteri mengenai pembinaan dan evaluasi kinerja Komisi
Penilai Amdal dan pemeriksa UKL-UPL daerah.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 23
(1) Biaya pelaksanaan penilaian Amdal, addendum Andal
dan RKL-RPL, pemeriksaan UKL-UPL, penerbitan
perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup,
perubahan Rekomendasi UKL-UPL, dan perubahaan Izin
Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
sampai dengan Pasal 17 mengikuti ketentuan pendanaan
penilaian Amdal atau pemeriksaan UKL-UPL dan
penerbitan Izin Lingkungan sebagaimana diatur dengan
peraturan perundang-undangan mengenai tata laksana
penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan hidup
serta penerbitan Izin Lingkungan.
(2) Biaya pelaksanaan pembinaan dan evaluasi kinerja
penatalaksanaan perubahan Izin Lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
Pada saat Peraturan Menteri ini, mulai berlaku maka:
a. perubahan Izin Lingkungan yang telah diterbitkan
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan
tetap berlaku.
b. permohonan perubahan izin lingkungan yang telah
berproses sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini,
dinyatakan tetap berlaku dan selanjutnya disesuaikan
238
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
c. Izin Lingkungan bagi badan usaha yang telah diterbitkan
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan terjadi
perubahan nama penanggung jawab, maka dinyatakan tetap
berlaku dan tidak wajib melakukan perubahan Izin
Lingkungan, serta selanjutnya tanggung jawab pelaksanaan
kewajiban Izin Lingkungan menjadi tanggung jawab
penanggung jawab badan usaha sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB IX KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018
TENTANG
PENGECUALIAN KEWAJIBAN MENYUSUN ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG BERLOKASI DI
DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MEMILIKI RENCANA DETAIL TATA
RUANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan tentang Pengecualian Kewajiban
Menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk
Usaha dan/atau Kegiatan yang Berlokasi di Daerah
Kabupaten/Kota yang telah Memiliki Rencana Detail Tata
Ruang;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
314
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 228, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5941);
6. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20
PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota;
8. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
315
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PENGECUALIAN KEWAJIBAN
MENYUSUN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG BERLOKASI DI
DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MEMILIKI
RENCANA DETAIL TATA RUANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pengecualian adalah proses mengecualikan suatu rencana
Usaha dan/atau Kegiatan dari kewajiban menyusun
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup berdasarkan
kriteria tertentu.
2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai
dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
Usaha dan/atau Kegiatan.
3. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat
UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap
Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak berdampak penting
terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha
dan/atau Kegiatan.
4. Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya
disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis,
menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah.
5. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat
RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang
316
wilayah daerah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan
peraturan zonasi kabupaten/kota.
6. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang
menangani sistem kajian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan untuk memperkuat
sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
pada tahap perencanaan dan pelaksanaan RDTR.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan
pedoman Pengecualian kewajiban menyusun Amdal untuk
rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di daerah
kabupaten/kota yang telah memiliki RDTR.
Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. batasan dan kriteria Pengecualian kewajiban menyusun
Amdal;
b. tata laksana Pengecualian kewajiban menyusun Amdal;
c. pembinaan dan evaluasi kinerja; dan
d. pembiayaan.
BAB II
BATASAN DAN KRITERIA PENGECUALIAN
KEWAJIBAN MENYUSUN AMDAL
Pasal 4
(1) Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib menyusun Amdal.
(2) Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan dari kewajiban menyusun Amdal
apabila lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatannya berada
pada daerah kabupaten/kota yang telah memiliki RDTR.
317
(3) Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib menyusun UKL-UPL berdasarkan RDTR.
(4) Penyusunan UKL-UPL sebagaimana yang dimaksud ayat (3),
mengacu pada pedoman penyusunan dokumen lingkungan
hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri.
(5) Pengecualian kewajiban menyusun Amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), hanya berlaku apabila rencana
usaha dan/atau kegiatannya masih dalam skala/besaran
kajian KLHS dan RDTR.
Pasal 5
(1) Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilakukan apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. RDTR telah dilengkapi dengan KLHS yang dibuat dan
dilaksanakan secara komprehensif dan rinci; dan
b. RDTR telah mengintegrasikan hasil KLHS sebagaimana
dimaksud dalam huruf a.
(2) Kriteria KLHS RDTR yang dibuat dan dilaksanakan secara
komprehensif dan rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas:
a. pengkajian pengaruh RDTR terhadap kondisi
lingkungan hidup;
b. perumusan alternatif penyempurnaan RDTR; dan
c. penyusunan rekomendasi perbaikan untuk pengambil
keputusan RDTR yang mengintegrasikan prinsip
pembangunan berkelanjutan.
(3) Kriteria pengkajian pengaruh RDTR terhadap kondisi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a terdiri atas sub kriteria:
a. proses identifikasi dan deskripsi isu pembangunan
berkelanjutan;
b. proses identifikasi dan deskripsi materi muatan RDTR; dan
c. proses analisis pengaruh muatan RDTR terhadap isu
strategis pembangunan berkelanjutan.
(4) Kriteria KLHS RDTR yang dibuat dan dilaksanakan secara
komprehensif dan rinci sebagaimana dimaksud pada ayat
318
(2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB III
TATA LAKSANA PENGECUALIAN KEWAJIBAN
MENYUSUN AMDAL
Pasal 6
(1) Gubernur atau bupati/walikota mengajukan permohonan
secara tertulis Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) kepada
Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan:
a. dokumen RDTR yang telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah;
b. dokumen KLHS RDTR yang telah divalidasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. surat validasi KLHS RDTR yang ditandatangani oleh
Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Menteri melakukan evaluasi terhadap permohonan
Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal berdasarkan
kriteria KLHS RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(4) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Menteri menugaskan Direktur Jenderal.
(5) Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
membentuk tim evaluasi.
(6) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Menteri menetapkan keputusan menyetujui atau
menolak Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal.
(7) Jangka waktu pelaksanaan evaluasi dan penetapan
keputusan menyetujui atau menolak pengecualian
kewajiban penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (5) dilakukan paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja sejak permohonan dinyatakan lengkap.
319
(8) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) Menteri sesuai dengan kewenangannya:
a. menerbitkan surat keputusan persetujuan
Pengecualian Wajib Amdal; atau
b. menugaskan Direktur Jenderal menerbitkan surat
penolakan Pengecualian wajib Amdal, apabila
dinyatakan tidak disetujui.
BAB IV
PEMBINAAN DAN EVALUASI
Pasal 7
(1) Menteri melakukan pembinaan pelaksanaan Pengecualian
kewajiban menyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 kepada:
a. instansi lingkungan hidup daerah provinsi; dan
b. instansi lingkungan hidup daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri menugaskan unit kerja Eselon I yang
menangani sistem kajian dampak lingkungan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk, terdiri atas:
a. bimbingan teknis;
b. penyediaan panduan teknis; dan/atau
c. penyediaan informasi.
Pasal 8
(1) Menteri melakukan evaluasi kinerja terhadap pelaksanaan
Pengecualian kewajiban menyusun Amdal yang dilakukan
oleh gubernur atau bupati/wali kota.
(2) Dalam melakukan evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri menugaskan unit kerja Eselon I yang
menangani sistem kajian dampak lingkungan.
(3) Evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit dilakukan terhadap:
320
a. pelaksanaan Pengecualian kewajiban penyusunan
Amdal sesuai dengan keputusan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5);
b. kinerja instansi lingkungan hidup provinsi atau
instansi lingkungan hidup daerah kabupaten/kota
terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan UKL-UPL
yang disusun berdasarkan RDTR; dan
c. kinerja penyusun UKL-UPL yang melakukan
penyusunan UKL-UPL berdasarkan RDTR.
(4) Evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu.
(5) Dalam hal berdasarkan evaluasi kinerja ditemukan
pelanggaran terhadap pelaksanaan Pengecualian kewajiban
menyusun Amdal, Menteri dapat mencabut keputusan
persetujuan kewajiban penyusunan Amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5).
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 9
(1) Biaya pelaksanaan evaluasi dokumen RDTR dan KLHS
RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
dibebankan kepada pemohon sesuai dengan standar biaya
umum (SBU) yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Biaya pelaksanaan evaluasi dokumen RDTR dan KLHS
RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup
komponen biaya untuk:
a. honorarium evaluator dokumen RDTR dan KLHS
RDTR;
b. penggandaan dokumen RDTR dan KLHS RDTR pada
tahap persiapan rapat evaluasi dokumen RDTR dan
KLHS RDTR; dan
c. pelaksanaan rapat evaluasi dokumen RDTR dan KLHS
RDTR, meliputi:
1. biaya penyelenggaraan rapat;
321
2. biaya transportasi lokal peserta rapat;
3. biaya transportasi peserta rapat dari luar kota
lokasi dilaksanakannya rapat;
4. biaya akomodasi peserta rapat dari luar kota
lokasi dilaksanakannya rapat;
5. uang harian peserta rapat; dan
6. penggandaan dokumen RDTR dan KLHS RDTR
yang telah disetujui pada tahap pasca rapat evaluasi
dokumen RDTR dan KLHS RDTR.
(3) Biaya pelaksanaan pembinaan dan evaluasi kinerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
BAB VI KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 10
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
322
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.25/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018
TENTANG
PEDOMAN PENETAPAN JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG
WAJIB MEMILIKI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA
PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SURAT PERNYATAAN
KESANGGUPAN PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (5) dan
Pasal 69 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018
tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan tentang Pedoman Penetapan Jenis
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup dan Surat Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
338
Indonesia Nomor 5059);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6215);
5. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
339
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN PENETAPAN JENIS
RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB
MEMILIKI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN
UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SURAT
PERNYATAAN KESANGGUPAN PENGELOLAAN DAN
PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disebut Amdal adalah kajian mengenai
dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.
2. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disingkat UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan
terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak
berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.
3. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disingkat SPPL adalah pernyataan kesanggupan dari
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha
dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan yang
wajib Amdal atau UKL-UPL.
4. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas
yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona
340
lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
5. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
Pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
kehutanan.
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan untuk mendukung
tata kelola perizinan berusaha terintegrasi secara
elektronik sesuai dengan standard pelayanan publik dan
perlindungan lingkungan hidup.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan
pedoman bagi gubernur dan bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya untuk menetapkan:
a. Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki
UKL-UPL; dan
b. Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki
SPPL.
Pasal 3
(1) Jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan berdasarkan
dokumen lingkungan hidup, meliputi:
a. rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
memiliki Amdal;
b. rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
memiliki UKL-UPL; dan
c. rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
memiliki SPPL.
(2) Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditetapkan oleh Menteri.
(3) Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
UKL-UPL dan SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan huruf c ditetapkan oleh gubernur atau
bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
341
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mengatur tata cara penetapan rencana
Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL dan
SPPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).
Pasal 5
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini
meliputi:
a. proses penapisan jenis usaha dan/atau kegiatan yang
wajib UKL-UPL dan SPPL; dan
b. penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib
UKL-UPL dan SPPL.
BAB II
PROSES PENAPISAN JENIS USAHA DAN/ATAU KEGIATAN
YANG WAJIB UKL-UPL DAN SPPL
Pasal 6
(1) Gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya melakukan penapisan jenis rencana
Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL
dan SPPL.
(2) Penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh instansi lingkungan hidup daerah
provinsi atau instansi lingkungan hidup daerah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan.
(3) Penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk seluruh jenis Usaha dan/atau Kegiatan
dari berbagai sektor.
Pasal 7
(1) Penapisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. memastikan rencana Usaha dan/atau Kegiatan dari
berbagai sektor tidak termasuk dalam jenis rencana
Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
Amdal;
342
b. memastikan potensi dampak dari rencana Usaha
dan/atau Kegiatan dari berbagai sektor telah
tersedia teknologi untuk menanggulangi dampak
tersebut; dan
c. memeriksa peraturan yang ditetapkan oleh
kementerian atau lembaga pemerintah non
kementerian tentang jenis Usaha dan/atau Kegiatan
wajib UKL-UPL.
(2) Jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak wajib
memiliki Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a memiliki kriteria sebagai berikut:
a. tidak termasuk jenis rencana Usaha dan/atau
Kegiatan wajib memiliki Amdal yang ditetapkan oleh
Menteri; dan/atau
b. jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak
berlokasi di dalam dan/atau berbatasan langsung
dengan kawasan lindung yang telah ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal tidak tersedia teknologi penananganan
dampak dari suatu rencana Usaha dan/atau Kegiatan,
rencana Usaha dan/atau Kegiatan tersebut termasuk
dalam kriteria wajib memiliki Amdal.
(4) Dalam hal kementerian atau lembaga pemerintah non
kementerian belum menetapkan jenis Usaha dan/atau
Kegiatan wajib UKL-UPL dan SPPL atau telah
menetapkan jenis Usaha dan/atau Kegiatan wajib UKLUPL
dan SPPL, tetapi tidak dilengkapi dengan
skala/besaran atau skala/besarannya telah ditentukan
tetapi tidak ditentukan batas bawahnya, penapisan dapat
dilakukan dengan melibatkan satuan kerja perangkat
daerah, kementerian atau lembaga pemerintah non
kementerian terkait dan/atau pakar terkait.
(5) Penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan dengan tahapan:
a. melakukan analisis terkait dengan komponenkomponen
rencana Usaha dan/atau Kegiatan dalam
kaitannya dengan dampak lingkungan hidup yang
343
ditimbulkannya serta upaya pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan, yang
terdiri atas:
1. jenis kegiatan;
2. skala/besaran/ukuran;
3. kapasitas produksi;
4. luas lahan yang dimanfaatkan;
5. limbah dan/atau cemaran dan/atau dampak
lingkungan;
6. teknologi yang tersedia dan/atau digunakan;
7. jumlah komponen lingkungan yang terkena
dampak;
8. besaran investasi
9. terkonsentrasi atau tidaknya kegiatan;
10. jumlah tenaga kerja; dan
11. aspek sosial kegiatan;
b. Apabila salah satu komponen-komponen rencana
Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, memberikan dampak lingkungan
hidup terhadap lingkungan hidup dan memerlukan
UKL-UPL, jenis Usaha dan/atau Kegiatan tersebut
dapat ditetapkan wajib memiliki UKL-UPL; dan
c. Apabila seluruh komponen rencana Usaha dan/atau
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, tidak
memberikan dampak lingkungan hidup terhadap
lingkungan hidup dan tidak memerlukan UKL-UPL,
jenis Usaha dan/atau Kegiatan tersebut dapat
ditetapkan wajib memiliki SPPL.
BAB III
PENETAPAN JENIS USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG
WAJIB UKL-UPL DAN SPPL
Pasal 8
(1) Berdasarkan penapisan yang telah dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7,
gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
344
kewenangannya menetapan jenis rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL dan SPPL.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui penerbitan keputusan gubernur atau
bupati/wali kota.
BAB IV KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 9
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENILAIAN SERTA PEMERIKSAAN DOKUMEN
LINGKUNGAN HIDUP DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 51 ayat (3),
Pasal 55 ayat (7), Pasal 56 ayat (2), Pasal 61 dan Pasal 66 ayat
(7) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang Pedoman Penyusunan dan Penilaian serta
Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup dalam Pelaksanaan
Pelayanan Perizinan Berusaha secara Elektronik;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6215);
5. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
6. PeraturanMenteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN
PENILAIAN SERTA PEMERIKSAAN DOKUMEN LINGKUNGAN
HIDUP DALAM PELAKSANAAN PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHA TERPADU SECARA ELEKTRONIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat
untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disebut Amdal adalah kajian mengenai
dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.
3. Formulir Kerangka Acuan adalah isian ruang lingkup
kajian analisis dampak lingkungan hidup yang
merupakan hasil pelingkupan.
4. Analisis Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disebut Andal adalah telaahan secara cermat dan
mendalam tentang dampak penting suatu rencana Usaha
dan/atau kegiatan.
5. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disingkat RKL adalah upaya penanganan
dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan
akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
6. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disingkat RPL adalah upaya pemantauan
komponen lingkungan hidup yang terkena dampak
akibat rencana usaha dan/atau kegiatan.
7. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disingkat UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak
berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang
348
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.
8. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disingkat SPPL adalah pernyataan kesanggupan dari
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha
dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan yang
wajib Amdal atau UKL-UPL.
9. Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup adalah
keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan
hidup dari suatu rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang
wajib dilengkapi dengan Amdal.
10. Rekomendasi UKL-UPL adalah surat persetujuan
terhadap suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
UKL-UPL.
11. Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas
yang dapat menimbulkan perubahan terhadap rona
lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
12. Pelaku Usaha adalah perseorangan atau non
perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
pada bidang tertentu.
13. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau
Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS
adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh
Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan
lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku
Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
14. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang
selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga
pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman
modal.
15. Komisi Penilai Amdal yang selanjutnya disingkat KPA
adalah komisi yang bertugas menilai dokumen Amdal.
349
16. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
Pemerintahan di bidang di bidang lingkungan hidup dan
kehutanan.
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan untuk mendukung
tata kelola Perizinan Berusaha terintegrasi secara
elektronik sesuai dengan standar pelayanan publik dan
perlindungan lingkungan hidup.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan
pedoman bagi berbagai pihak yang terkait dengan
pelaksanaan Perizinan Berusaha terintegrasi secara
elektronik dalam melakukan pemenuhan komitmen Izin
Lingkungan dan perubahan Izin Lingkungan melalui
proses:
a. pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan dan
penilaian serta pemeriksaan dokumen lingkungan
hidup;
b. penyusunan, penilaian dan pemeriksaan dokumen
lingkungan hidup serta penetapan keputusan
kelayakan lingkungan hidup dan persetujuan
rekomendasi UKL-UPL; dan
c. penyusunan, penilaian dan pemeriksaan dokumen
lingkungan hidup terkait dengan perubahan
perubahan Izin Lingkungan.
Sehingga dokumen lingkungan hidup tersebut memiliki
kualitas yang baik dan dapat digunakan sebagai
instrumen perlindungan lingkungan hidup yang efektif
dan efisien dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan
usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 3
Peraturan Menteri ini berlaku untuk Usaha dan/atau
Kegiatan yang termasuk di dalam sistem OSS sebagaimana
tercantum di dalam lampiran peraturan perundang-undangan
yang mengatur pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik.
350
Pasal 4
(1) Lembaga OSS menerbitkan Izin Lingkungan berdasarkan
komitmen.
(2) Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup kewajiban untuk:
a. melengkapi Amdal bagi rencana usaha dan/atau
kegiatan yang wajib memiliki Amdal;
b. melengkapi UKL-UPL bagi rencana usaha dan/atau
kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL; dan
c. tidak melakukan kegiatan sebelum komitmen untuk
melengkapi Amdal atau UKL-UPL telah dipenuhi.
(3) Lembaga OSS menerbitkan perubahan Izin Lingkungan
berdasarkan komitmen bagi Pelaku Usaha yang telah
memiliki Izin Lingkungan dan berencana untuk
melakukan perubahan Usaha dan/atau Kegiatan.
(4) Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
mencakup kewajiban untuk:
a. melengkapi Amdal baru atau Adendum Andal dan
RKL-RPL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan
wajib memiliki Amdal;
b. melengkapi Amdal baru bagi bagi rencana Usaha
dan/atau Kegiatan wajib memiliki UKL-UPLyang
rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
termasuk dalam kriteria wajib Amdal;
c. melengkapi UKL-UPL baru bagi bagi rencana Usaha
dan/atau Kegiatan wajib memiliki UKL-UPL; dan
d. tidak melakukan kegiatan sebelum komitmen untuk
melengkapi amdal baru, adendum Andal dan RKLRPL,
dan UKL-UPL baru.
(5) Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(4) memuat pernyataan bahwa:
a. lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan tidak
tumpang tindih dengan lokasi Usaha dan/atau
Kegiatan eksisting yang sudah memiliki Perizinan
Berusaha atau lokasi Usaha dan/atau Kegiatan yang
sedang dalam proses untuk memperoleh perizinan
berusaha; dan
351
b. semua persyaratan yang diajukan dalam
permohonan Izin Lingkungan tidak mengandung
cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta
ketidakbenaran dan/atau pemalsuan dokumen, data
dan/atau informasi.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat memenuhi
komitmen Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) atau komitmen perubahan Izin Lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan komitmen
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Izin Lingkungan
atau perubahan Izin Lingkungan yang telah diterbitkan
oleh Lembaga OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan batal.
(7) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak
dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara
perdata.
Pasal 5
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
a. penyusunan dan penilaian dokumen Amdal serta
penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
ketidaklayakan lingkungan hidup;
b. penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL serta penetapan
persetujuan rekomendasi UKL-UPL;
c. pengisian, verifikasi dan pendaftaran SPPL;
d. penyusunan, penilaian dan pemeriksaan dokumen
lingkungan hidup untuk perubahan keputusan
kelayakan lingkungan hidup, perubahan rekomendasi
UKL-UPL dan perubahan Izin Lingkungan;
e. pembinan dan evaluasi kinerja penatalaksaanan Amdal,
adendum Andal dan RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL;
f. sistem informasi dokumen lingkungan hidup dan Izin
Lingkungan; dan
g. pendanaan.
352
BAB II
PENYUSUNAN DAN PENILAIAN DOKUMEN AMDAL SERTA
PENETAPAN KEPUTUSAN KELAYAKAN LINGKUNGAN HIDUP
ATAU KETIDAKLAYAKAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1) Pelaku Usaha yang wajib memiliki Amdal wajib
memenuhi komitmen Izin Lingkungan yang telah
diterbitkan oleh Lembaga OSS dengan melengkapi
dokumen Amdal.
(2) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun:
a. pada tahap perencanaan Usaha dan/atau Kegiatan;
b. dalam satu dokumen Amdal dalam hal kegiatan
yang direncanakan berlokasi di dalam satu kesatuan
tapak proyek; dan/atau
c. dalam beberapa dokumen Amdal dalam hal kegiatan
yang direncanakan berlokasi di dalam tapak proyek
yang terpisah satu sama lain.
(3) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengintegrasikan meliputi:
a. persyaratan dan kewajiban perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang relevan antara
lain pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun (LB3), pembuangan air limbah ke laut,
pembuangan air limbah ke sumber air dan atau
pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah,
pengendalian pencemaran udara; dan
b. hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(4) Untuk dapat melengkapi dokumen Amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tata waktu yang
telah ditentukan, Pelaku Usaha wajib memiliki data dan
353
informasi lengkap yang diperlukan untuk penyusunan
dokumen Amdal sebelum mengajukan permohonan izin
usaha berdasarkan komitmen ke Lembaga OSS.
(5) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
mencakup:
a. arahan hasil penapisan dari instansi lingkungan
hidup sesuai dengan kewenangannya;
b. deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. rona lingkungan hidup awal di dalam dan di sekitar
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan
dilakukan; dan
d. hasil konsultasi publik dalam hal konsultasi publik
telah dilakukan sebelum Pelaku Usaha mengajukan
permohonan izin usaha ke lembaga OSS.
Pasal 7
(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dilengkapi melalui tahapan:
a. pelaksanaan pengumuman rencana Usaha dan/atau
Kegiatan serta konsultasi publik;
b. pengisian dan pengajuan Formulir KA;
c. pemeriksaan dan persetujuan Formulir KA;
d. penyusunan dan pengajuan Andal dan RKL-RPL;
dan
e. penilaian Andal dan RKL-RPL dan penetapan
keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
ketidaklayakan lingkungan hidup.
(2) Jangka waktu pelaksanaan pengumuman rencana Usaha
dan/atau Kegiatan, konsultasi publik, pengisian Formulir
KA serta pemeriksaan Formulir KA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c
dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
Lembaga OSS menerbitkan Izin Lingkungan berdasarkan
komitmen.
(3) Penyusunan Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d harus mulai dilakukan paling lama
354
30 (tiga puluh) hari kerja sejak Lembaga OSS
menerbitkan Izin Lingkungan berdasarkan komitmen.
(4) Jangka waktu penyusunan Andal dan RKL-RPL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan
berdasarkan komitmen Pelaku Usaha yang tercantum
dalam Formulir KA dan persetujuan Formulir KA.
(5) Jangka waktu penyusunan Andal dan RKL-RPL
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling
lama 180 (seratus delapan puluh) hari kerja.
(6) Jangka waktu penilaian Andal dan RKL-RPL,
penyampaian rekomendasi hasil penilaian dan penilaian
akhir serta penetapan keputusan kelayakan lingkungan
hidup atau ketidaklayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak dokumen
Andal dan RKL-RPL diajukan kepada KPA dan
dinyatakan lengkap secara administrasi.
(7) Instansi lingkungan hidup melakukan pengawasan
terhadap pemenuhan komitmen Pelaku Usaha untuk
melengkapi dokumen Amdal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(8) Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat memenuhi
komitmen untuk melengkapi dokumen Amdal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi
lingkungan hidup menyampaikan notifikasi kegagalan
pemenuhan komitmen kepada Lembaga OSS.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Pengumuman dan Konsultasi Publik
Pasal 8
(1) Pelaksanaan pengumuman rencana Usaha dan/atau
Kegiatan dan konsultasi publik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Pelaku
Usaha untuk mengikutsertakan masyarakat yang terkena
dampak dalam penyusunan dokumen Amdal.
355
(2) Masyarakat terkena dampak yang diikutsertakan dalam
penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berada di dalam batas wilayah studi Amdal yang
mencakup:
a. masyarakat yang akan akan mendapat manfaat atau
dampak positif dari adanya rencana usaha dan/atau
kegiatan; dan
b. masyarakat yang akan akan mengalami kerugian
atau mendapatkan dampak negatif dari adanya
rencana usaha dan/atau kegiatan.
(3) Pelaku Usaha selain mengikutsertakan masyarakat yang
terkena dampak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat pula melibatkan pemerhati lingkungan hidup.
(4) Pemerhati lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berada di luar batas wilayah studi Amdal
dan memempunyai perhatian terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan beserta dampak lingkungan hidup
yang akan ditimbulkannya.
Pasal 9
(1) Pengumuman rencana Usaha dan/atau Kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dilakukan
oleh Pelaku Usaha.
(2) Pengumanan rencana Usaha dan/atau Kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum
pengisian Formulir KA.
(3) Dalam melakukan pengumuman rencana Usaha
dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pelaku Usaha wajib menyampaikan informasi secara
benar dan tepat mengenai:
a. nama dan alamat Pelaku Usaha;
b. jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. skala/besaran dari rencana Usaha dan/atau
Kegiatan; dan
d. lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
356
e. dampak potensial terhadap lingkungan yang akan
timbul dan konsep umum pengendalian dampak
lingkungannya;
f. tanggal pengumuman mulai dipasang dan batas
waktu penyampaian saran, pendapat dan tanggapan
dari masyarakat; dan
g. nama dan alamat Pelaku Usaha dan instansi
lingkungan hidup yang menerima saran, pendapat
dan tanggapan dari masyarakat.
(4) Informasi dalam pengumuman rencana Usaha dan/atau
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, jelas dan mudah dimengerti oleh
seluruh lapisan masyarakat.
(5) Disamping mengunakan bahasa Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Informasi dalam pengumuman
rencana Usaha dan/atau Kegiatan dapat disampaikan
dengan menggunakan bahasa daerah atau lokal yang
sesuai dengan lokasi dimana pengumuman tersebut akan
dilakukan.
(6) Pengumuman rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang
memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib disampaikan melalui:
a. laman OSS;
b. media massa; dan/atau
c. pengumuman pada lokasi Usaha dan/atau Kegiatan.
(7) Selain media yang wajib digunakan untuk melakukan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Pelaku Usaha dapat menggunakan media lain untuk
melakukan pengumuman, berupa:
a. media cetak seperti brosur, pamflet atau spanduk;
b. media elektronik melalui televisi, website, jejaring
sosial, sms dan/atau radio;
357
c. papan pengumuman di instansi lingkungan hidup
dan instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan di tingkat pusat, daerah provinsi dan/atau
daerah kabupaten/kota; dan
d. media lain yang dapat digunakan.
Pasal 10
(1) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dalam
jangka waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan berhak
mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap
rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
(2) Saran, pendapat, dan tanggapan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis atau melalui Lembaga OSS kepada Pelaku Usaha
dan Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya.
(3) Dalam menyampaikan saran, pendapat, dan tanggapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat wajib
mencantum identitas pribadi yang jelas sesuai dengan
dokumen kependudukan yang dimilikinya.
(4) Saran, pendapat dan tanggapan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. informasi deskritif tentang kondisi lingkungan yang
berada di dalam dan di sekitar lokasi/tapak rencana
Usaha dan/atau Kegiatan;
b. nilai-nilai lokal yang akan terkena dampak Usaha
dan/atau Kegiatan yang akan dilakukan; dan/atau
c. aspirasi masyarakat dan concern terkait dengan
rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
(5) Saran, pendapat dan tanggapan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
dengan menggunakan bahasa Indonesia dan/atau
bahasa daerah (lokal) yang sesuai dengan lokasi rencana
Usaha dan/atau Kegiatan.
358
(6) Berdasarkan saran, pendapat dan tanggapan masyarakat
yang telah diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pelaku Usaha dan Menteri, gubernur atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya mendokumentasikan
dan mengolah saran, pendapat dan tanggapan
masyarakat.
(7) Saran, pendapat dan tanggapan masyarakat yang telah
diolah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib
digunakan oleh Pelaku Usaha dalam pengisian Formulir
KA.
Pasal 11
(1) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha.
(2) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan melibatkan masyarakat terkena
dampak.
(3) Disamping masyarakat terkena dampak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), konsultasi publik dapat pula
melibatkan masyarakat pemerhati lingkungan.
(4) Masyarakat yang dilibatkan dalam konsultasi publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
kelompok masyarakat rentan (vulnerable group),
masyarakat adat (indegenous people), kelompok laki-laki
dan perempuan dengan memperhatikan kesetaran
gender.
Pasal 12
(1) Konsultasi publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dapat dilakukan:
a. sebelum Pelaku Usaha mendapatkan Izin
Lingkungan berdasarkan komitmen dari Lembaga
OSS; dan/atau
b. setelah Pelaku Usaha mendapatkan Izin Lingkungan
berdasarkan komitmen dari Lembaga OSS.
359
(2) Konsultasi publik yang dilakukan setelah Pelaku Usaha
mendapatkan Izin Lingkungan berdasarkan komitmen
dari Lembaga OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat dilakukan sebelum, bersamaan dan/atau
setelah pengumuman rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
Pasal 13
(1) Sebelum pelaksanaan konsultasi publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Pelaku Usaha:
a. berkoordinasi dengan instansi terkait dan tokoh
masyarakat yang akan dilibatkan dalam proses
konsultasi publik; dan
b. mengundang masyarakat yang akan dilibatkan
dalam konsultasi publik.
(2) Dalam undangan konsultasi publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pelaku Usaha
menyampaikan informasi mengenai:
a. tujuan konsultasi publik;
b. waktu dan tempat pelaksanaan konsultasi publik;
c. bentuk, cara dan metode konsultasi publik yang
akan dilakukan;
d. dimana masyarakat dapat memperoleh informasi
tambahan; dan
e. lingkup saran, pendapat dan tanggapan dari
masyarakat.
(3) Bentuk, cara dan metode konsultasi publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c mencakup:
a. lokakarya;
b. seminar;
c. focus group discussion;
d. temu warga;
e. forum dengar pendapat;
f. dialog interaktif; dan/atau
g. bentuk, cara dan metode lain yang dapat digunakan
untuk berkomunikasi secara 2 (dua) arah.
360
(4) Pelaku Usaha dapat memilih salah satu atau kombinasi
dari berbagai bentuk, cara dan metode konsultasi publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang secara efektif
dan efisien dapat menjaring saran, pendapat dan
tanggapan masyarakat.
Pasal 14
(1) Dalam pelaksanaan konsultasi publik sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 11, Pelaku Usaha menyampaikan
informasi minimal mengenai:
a. nama dan alamat Pelaku Usaha;
b. jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. skala/besaran dari rencana Usaha dan/atau
Kegiatan;
d. lokasi rencana Usaha dan/atau Kegiatan dilengkapi
dengan informasi perihal batas administratif terkecil
dari lokasi tapak proyek dan peta tapak proyek;
e. dampak potensial yang akan timbul dari identifikasi
awal Pelaku Usaha seperti potensi timbulnya limbah
cair, potensi emisi dari cerobong, potensi keresahan
masyarakat, dan lain-lain dan konsep umum
pengendalian dampaknya; dan
f. komponen lingkungan yang akan terkena dampak
dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan.
(2) Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Pelaku
Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat
berhak menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
(3) Pelaku Usaha wajib mendokumentasikan dan mengolah
saran, pendapat dan tanggapan masyarakat yang
disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Saran, pendapat dan tanggapan masyarakat yang telah
diolah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
digunakan oleh pemrakarsa sebagai masukan dalam
pengisian Formulir KA.
361
Pasal 15
(1) Masyarakat terkena dampak memilih dan menetapkan
sendiri wakilnya yang akan duduk sebagai anggota KPA
pada saat pelaksanaan konsultasi publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11.
(2) Jumlah wakil masyarakat terkena dampak yang dipilih
dan ditetapkan untuk duduk sebagai anggota KPA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara
proporsional dan mewakili aspirasi masyarakat yang
diwakilinya dalam persoalan lingkungan hidup;
(3) Hasil penetapan wakil masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk surat
persetujuan/surat kuasa yang ditandatangani oleh
masyarakat yang terkena dampak yang terlibat dalam
pelaksanaan konsultasi publik.
(4) Pelaku Usahamengomunikasikan hasil penetapan wakil
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada
sekretariat KPA sesuai dengan kewenangannya;
(5) Wakil masyarakat terkena dampak yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib:
a. melakukan komunikasi dan konsultasi rutin dengan
masyarakat terkena dampak yang diwakilinya; dan
b. menyampaikan aspirasi masyarakat terkena dampak
yang diwakilinya dalam rapat KPA.
Bagian Kedua
Pengisian dan Pengajuan Formulir KA
Pasal 16
(1) Pengisian Formulir KA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf b dilakukan melalui:
a. pengisian formulir pelingkupan; dan
b. pengisian formulir metode studi Amdal.
362
(2) Pengisian Formulir KA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan pedoman pengisian Formulir
KA tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Formulir KA spesifik dari setiap jenis kegiatan di masingmasing
sektor ditetapkan oleh Menteri berdasarkan
pedoman pengisian Formulir KA sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) setelah mendapat pertimbangan dari
menteri atau pimpinan lembaga pembina sektor bidang
Usaha dan/atau Kegiatan terkait.
Pasal 17
Pelaku Usaha mengajukan Formulir KA yang sudah diisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada:
a. KPA Pusat melalui sekretariat KPA Pusat untuk rencana
Usaha dan/atau Kegiatan wajib memiliki Amdal yang
menjadi kewenangan Menteri;
b. KPA Provinsi melalui sekretariat KPA provinsi untuk
rencana Usaha dan/atau Kegiatan wajib memiliki Amdal
yang menjadi kewenangan gubernur; atau
c. KPA Kabupaten/Kota melalui sekretariat KPA
kabupaten/kota untuk rencana Usaha dan/atau
Kegiatan wajib memiliki Amdal yang menjadi kewenangan
bupati/wali kota;
Pasal 18
Jangka waktu pelaksanaan pengumuman, konsultasi publik
dan pengisian Formulir KA yang dilakukan oleh Pelaku Usaha
serta pengajuan pemeriksaan Formulir KA kepada instansi
lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 sampai dengan Pasal 17
dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah
Lembaga OSS menerbitkan Izin Lingkungan berdasarkan
komitmen.
363
Bagian Ketiga
Pemeriksaan dan Persetujuan Formulir KA
Pasal 19
(1) KPA Pusat, KPA Provinsi atau KPA Kabupaten/Kota
sesuai kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 menugaskan tim teknis untuk melakukan
pemeriksaan Formulir KA.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan tim teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menyatakanFormulir KA dapat
disepakati, ketua tim teknis memberikan persetujuan
Formulir KA.
(3) Pemberian persetujuan Formulir KA sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk berita
acara kesepakatan Formulir KA.
(4) Berita acara kesepakatan Formulir KA sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat:
a. kesepakatan pelingkupan;
b. kesepakatan metode studi Amdal; dan
c. kesepakatan komitmen waktu penyelesaian studi
dan penyusunan Andal dan RKL-RPL.
(5) Jangka waktu pemeriksaan dan pemberian persetujuan
Formulir KA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak Formulir KA yang diajukan Pelaku Usaha
diterima oleh sekretariat KPA.
(6) Tata laksana pemeriksaan Formulir KA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (5) secara lebih
rinci tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri in.
Bagian Keempat
Penyusunan Andal dan RKL-RPL
Pasal 20
(1) Pelaku Usaha menyusun Andal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d berdasarkan Formulir KA
364
yang telah disepakati sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19.
(2) Penyusunan Andal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara menyusun:
a. pendahuluan;
b. deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatan beserta
alternatifnya;
c. deskripsi rinci rona lingkungan hidup awal
(environmental setting);
d. hasil pelibatan masyarakat;
e. hasil penentuan dampak penting hipotetik (DPH)
yang dikaji, batas wilayah studi dan batas waktu
kajian;
f. hasil prakiraan dampak penting;
g. hasil evaluasi secara holistik terhadap dampak
lingkungan;
h. daftar pustaka; dan
i. lampiran.
(3) Penyusunan Andal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sesuai dengan pedoman penyusunan Andal
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 21
(1) Pelaku Usaha menyusun RKL-RPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d berdasarkan
Formulir KA yang telah disepakati sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Andal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20.
(2) Penyusunan RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan cara menyusun:
a. pendahuluan;
b. rencana pengelolaan lingkungan hidup;
c. rencana pemantauan lingkungan hidup;
365
d. persyaratan dan kewajiban terkait dengan aspek
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang relevan antara lain pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun, pengolahan dan
pembuangan air limbah, pemanfaatan air limbah
untuk aplikasi ke tanah, pengendalian pencemaran
udara;
e. pernyataan komitmen pemrakarsa untuk
melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam
RKL-RPL;
f. daftar pustaka; dan
g. lampiran.
(3) Penyusunan RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan pedoman penyusunan RKLRPL
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 22
Andal dan RKL-RPL yang telah disusun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21 diajukan kepada:
a. Menteri melalui KPA Pusat, untuk kerangka acuan yang
dinilai oleh KPA Pusat;
b. gubernur melalui KPA provinsi, untuk kerangka acuan
yang dinilai oleh KPA provinsi; atau
c. bupati/wali kota melalui KPA kabupaten/kota, untuk
kerangka acuan yang dinilai oleh KPA kabupaten/kota.
Bagian Kelima
Penilaian Andal dan RKL-RPL serta Penetapan Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup Atau Ketidaklayakan
Lingkungan Hidup
Pasal 23
(1) Berdasarkan Andal dan RKL-RPL yang diajukan oleh
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
KPA Pusat, KPA provinsi atau KPA kabupaten/kota
366
sesuai dengan kewenangannya melakukan penilaian
Andal dan RKL-RPL.
(2) Penilaian Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan:
a. penilaian secara administratif oleh sekretariat KPA;
dan
b. penilaian secara teknis oleh tim teknis dan KPA.
(3) Penilaian Andal dan RKL-RPL secara administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan
terhadap pemenuhan persyaratan administratif
penyusunan Andal dan RKL-RPL mencakup:
a. kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
dengan rencana tata ruang;
b. keabsahan tanda bukti registrasi lembaga penyedia
jasa penyusunan (LPJP) Amdal, apabila penyusunan
Andal dan RKL-RPL dilakukan oleh LPJP Amdal;
c. keabsahan tanda bukti sertifikasi kompetensi
penyusunan Amdal; dan
d. kesesuaian muatan Andal dan RKL-RPL dengan
muatan yang tercantum di dalam pedoman
penyusunan Andal dan RKL-RPL.
(4) Penilaian Andal dan RKL-RPL secara teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
a. uji tahap proyek;
b. uji kualitas dokumen Andal dan RKL-RPL; dan
c. telahaan terhadap kriteria kelayakan atau
ketidaklayakan lingkungan hidup dari rencana
usaha dan/atau kegiatan.
(5) Penilaian Andal dan RKL-RPL secara teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara mandiri dan
melalui:
a. rapat tim teknis; dan
b. rapat KPA.
367
(6) Rapat tim teknis dan rapat KPA sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dapat dilakukan terpisah atau dengan cara
digabungkan.
Pasal 24
(1) Berdasarkan hasil penilaian Andal dan RKL-RPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, KPA
menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Andal dan
RKL-RPL kepada Menteri, gubernur atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. rekomendasi kelayakan lingkungan; atau
b. rekomendasi ketidaklayakan lingkungan.
(3) Dalam hal rapat KPA menyatakan bahwa Andal dan RKLRPL
perlu diperbaiki, KPA mengembalikan Andal dan
RKL-RPL kepada Pelaku Usaha untuk diperbaiki.
Pasal 25
(1) Pelaku Usaha melakukan perbaikan Andal dan RKL-RPL
berdasarkan hasil penilaian Andal dan RKL-RPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3).
(2) Pelaku Usaha menyampaikan kembali perbaikan Andal
dan RKL-RPL sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22.
(3) Berdasarkan Andal dan RKL-RPL yang telah diperbaiki
dan disampaikan kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), KPA melakukan penilaian akhir
terhadap Andal dan RKL-RPL.
(4) KPA menyampaikan hasil penilaian akhir berupa
rekomendasi hasil penilaian akhir kepada Menteri,
gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
368
Pasal 26
(1) Jangka waktu penilaian Andal dan RKL-RPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 25 ayat
(3) dilakukan paling lama 50 (lima puluh) hari kerja sejak
dokumen Andal dinyatakan lengkap secara administrasi.
(2) Jangka waktu penilaian Andal dan RKL-RPL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk jangka
waktu perbaikan Andal dan RKL-RPL oleh Pelaku Usaha
dan penilaian akhir Andal dan RKL-RPL oleh KPA.
(3) Jangka waktu waktu penyampaikan rekomendasi hasil
penilai atau hasil penilaian akhir Andal dan RKL-RPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan
Pasal 25 ayat (4) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah setelah dilakukannya penilaian Andal dan RKLRPL.
Pasal 27
(1) Berdasarkan rekomendasi hasil penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau rekomendasi hasil
penilaian akhir dari KPA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (4), Menteri, gubernur, atau bupati/wali
kota menetapkan:
a. keputusan kelayakan lingkungan hidup, jika
rencana usaha dan/atau kegiatan dinyatakan layak
lingkungan hidup; atau
b. keputusan ketidaklayakan lingkungan hidup, jika
jika rencana usaha dan/atau kegiatan dinyatakan
tidak layak lingkungan hidup.
(2) Keputusan kelayakan lingkungan hidup yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan:
a. pemenuhan komitmen Izin Lingkungan;
b. bagian yang tidak terpisahkan dari Izin Lingkungan
yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS; dan
369
c. persyaratan dan kewajiban rinci terkait dengan
aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dari Izin Lingkungan yang telah diterbitkan
oleh Lembaga OSS.
(3) Keputusan kelayakan lingkungan hidup atau keputusan
ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a. kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
dengan rencana tata ruang dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur terkait dengan
pemanfaatan ruang;
b. kesesuaian rencana usaha dan/atau kegiatan
dengan kebijakan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup serta sumber daya
alam yang diatur dalam peraturan perundangundangan;
c. rencana usaha dan/atau kegiatan tidak menganggu
kepentingan kepentingan pertahanan keamanan;
d. prakiraan secara cermat mengenai besaran dan sifat
penting dampak dari aspek biogeofisik kimia, sosial,
ekonomi, budaya, tata ruang, dan kesehatan
masyarakat pada tahap pra konstruksi, konstruks
operasi, dan pasca operasi usaha dan/atau
kegiatan;
e. hasil evaluasi secara holistik terhadap seluruh
dampak penting sebagai sebuah kesatuan yang
saling terkait dan saling mempengaruhi sehingga
diketahui perimbangan dampak penting yang
bersifat positif dengan yang bersifat negatif;
f. kemampuan pemrakarsa dan/atau pihak terkait
yang bertanggung jawab dalam menanggulangi
dampak penting negatif yang akan ditimbulkan dari
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan dengan
pendekatan teknologi, sosial, dan kelembagaan;
370
g. rencana usaha dan/atau kegiatan tidak mengganggu
nilai-nilai sosial atau pandangan masyarakat (emic
view);
h. rencana usaha dan/atau kegiatan tidak akan
mempengaruhi dan/atau mengganggu entitas
ekologis yang merupakan:
1. entitas dan/atau spesies kunci (key species);
2. memiliki nilai penting secara ekologis (ecological
importance);
3. memiliki nilai penting secara ekonomi (economic
importance); dan/atau
4. memiliki nilai penting secara ilmiah (scientific
importance);
i. rencana usaha dan/atau kegiatan tidak
menimbulkan gangguan terhadap usaha dan/atau
kegiatan yang telah berada di sekitar rencana lokasi
usaha dan/atau kegiatan; dan/atau
j. tidak dilampauinya daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dari lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan, dalam hal terdapat perhitungan
daya dukung dan daya tampung lingkungan
dimaksud.
(4) Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling sedikit memuat:
a. dasar ditetapkannya keputusan kelayakan
lingkungan hidup, berupa rekomendasi hasil
penilaian Andal dan RKL-RPL dari KPA;
b. identitas Pelaku Usaha sesuai dengan identitas
Pelaku Usaha yang tertulis dalam Izin Lingkungan
yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS, meliputi:
1. nama usaha dan/atau kegiatan;
2. jenis usaha dan/atau kegiatan;
3. nama jabatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan;
4. alamat kantor; dan
5. lokasi kegiatan;
371
c. deskripsi dan lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan yang akan dilakukan, baik kegiatan utama
maupun kegiatan pendukung;
d. persyaratan Pelaku Usaha, terdiri atas:
1. persyaratan sebagaimana tercantum dalam
RKL-RPL;
2. persyaratan rinci atau memperoleh persyaratan
rinci terkait dengan aspek perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang diperlukan
atau relevan antara lain terkait dengan
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun (LB3), pengolahan dan pembuangan air
limbah ke sungai dan laut, pemanfaatan air
limbah untuk aplikasi ke tanah, pengendalian
pencemaran udara; dan
3. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan kepentingan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
e. kewajiban Pelaku Usaha, terdiri atas:
1. memenuhi persyaratan, standar, dan baku
mutu lingkungan dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan sesuai dengan RKL-RPL
dan peraturan perundang-undangan;
2. menyampaikan laporan pelaksanaan
persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam
keputusan kelayakan lingkungan hidup selama
6 (enam) bulan sekali;
3. mengajukan permohonan perubahan Izin
Lingkungan apabila direncanakan untuk
melakukan perubahan Usaha dan/atau
Kegiatannya; dan
4. kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan kepentingan
372
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
f. hal lain, meliputi:
1. pernyataan yang menyatakan bahwa Pelaku
Usaha dapat dikenakan sanksi administratif
apabila ditemukan pelanggaran tercantum
dalam Pasal 71 Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;
2. pernyataan yang menyatakan bahwa Izin
Lingkungan ini dapat dibatalkan apabila di
kemudian hari ditemukan pelanggaran
tercantum dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-
Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3. pernyataan yang menyatakan bahwa Pelaku
Usaha wajib memberikan akses kepada pejabat
pengawas lingkungan hidup untuk melakukan
pengawasan sesuai dengan kewenangan
tercantum dalam Pasal 74 Undang-Undang 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
4. masa berlaku keputusan kelayakan lingkungan
hidup, yang menjelaskan bahwa keputusan
kelayakan lingkungan hidup ini berlaku selama
Usaha dan/atau Kegiatan berlangsung
sepanjang tidak ada perubahan atas Usaha
dan/atau Kegiatan dimaksud; dan
g. tanggal penetapan keputusan kelayakan lingkungan
hidup.
(5) Keputusan ketidaklayakan kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling
sedikit memuat:
a. lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. ringkasan dampak yang diperkirakan timbul;
c. rencana pengelolaan dan pemantauan dampak yang
akan dilakukan oleh Pelaku Usaha dan pihak lain;
d. pernyataan penetapan ketidaklayakan lingkungan;
373
e. dasar pertimbangan ketidaklayakan lingkungan;
f. pernyataan kegagalan pemenuhan komitmen Izin
Lingkungan dan penyataan bahwa Izin Lingkungan
yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS batal; dan
g. tanggal penetapan keputusan ketidaklayakan
lingkungan hidup.
Pasal 28
Jangka waktu penetapan keputusan kelayakan lingkungan
hidup atau ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilakukan paling lama 5
(lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya rekomendasi
hasil penilaian atau penilaian akhir dari KPA melalui ketua
KPA.
Pasal 29
Tata laksana penilaian Andal dan RKL-RPL, penyampaian
rekomendasi hasil penilaian atau penilaian akhir dan
penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 28 secara lebih rinci
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri in.
Bagian Keenam
Kelembagaan dan Kewenangan KPA
Pasal 30
(1) KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 22
dibentuk oleh Menteri, gubernur atau bupati/wali kota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Kelembagaan dan kewenangan KPA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur lisensi KPA dan
pembentukan susunan keanggotaan dan tugas KPA
beserta sekretariat dan tim teknis serta kewenangan
penilaian Amdal.
374
BAB III
PENYUSUNAN DAN PEMERIKSAAN UKL-UPL SERTA
PENETAPAN PERSETUJUAN REKOMENDASI UKL-UPL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 31
(1) Pelaku Usaha yang wajib memiliki UKL-UPL wajib
memenuhi Komitmen Izin Lingkungan yang telah
diterbitkan oleh Lembaga OSS dengan melengkapi UKLUPL.
(2) UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun:
a. pada tahap perencanaan Usaha dan/atau Kegiatan;
b. dalam satu UKL-UPL, dalam hal kegiatan-kegiatan
yang direncanakan berlokasi di dalam satu kesatuan
tapak proyek; dan/atau
c. dalam beberapa UKL-UPL, dalam hal kegiatankegiatan
yang direncanakan berlokasi di dalam
tapak proyek yang terpisah-pisah satu sama lain.
(3) UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengintegrasikan mencakup:
a. persyaratan dan kewajiban perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang relevan antara
lain Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (LB3), Pembuangan Air Limbah ke Laut,
Pembuangan Air Limbah ke Sumber Air,
Pemanfaatan Air Limbah untuk Aplikasi ke Tanah,
dan Pengendalian Pencemaran Udara; dan
b. hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(6) Untuk dapat melengkapi UKL-UPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tata waktu yang
telah ditentukan, Pelaku Usaha wajib memiliki data dan
informasi lengkap yang diperlukan untuk penyusunan
375
UKL-UPL sebelum mengajukan permohonan Izin Usaha
berdasarkan komitmen ke Lembaga OSS.
(7) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
mencakup:
a. arahan hasil penapisan dari instansi lingkungan
hidup sesuai dengan kewenangannya;
b. deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatan; dan
c. kondisi lingkungan di dalam dan di sekitar lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan
dilakukan.
Pasal 32
(1) UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
dilengkapi melalui tahapan:
a. pengisian dan pengajuan formulir UKL-UPL; dan
b. pemeriksaan UKL-UPL dan penetapan persetujuan
rekomendasi UKL-UPL.
(2) Jangka waktu pengisian dan pengajuan UKL-UPL
dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah
lembaga OSS menerbitkan Izin Lingkungan berdasarkan
komitmen.
(3) Jangka waktu pemeriksaan UKL-UPL dan penetapan
persetujuan rekomendasi UKL-UPL dilakukan paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak UKL-UPL disampaikan oleh
Pelaku Usaha kepada Menteri, gubernur atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya dan dinyatakan
lengkap.
(4) Dalam hal terjadi perbaikan UKL-UPL, jangka waktu
Pelaku Usaha melakukan perbaikan UKL-UPL dan
menyampaikan perbaikan UKL-UPL kepada Menteri,
gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya melalui sistem OSS dilakukan paling
lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya hasil
perbaikan UKL-UPL.
(5) Instansi lingkungan hidup melakukan pengawasan
terhadap pemenuhan komitmen Pelaku Usaha untuk
376
melengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(6) Dalam hal Pelaku Usaha tidak dapat memenuhi
komitmen untuk melengkapi UKL-UPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Instansi lingkungan hidup
menyampaikan notifikasi kegagalan pemenuhan
komitmen kepada Lembaga OSS.
Bagian Kedua
Pengisian dan Pengajuan Formulir UKL-UPL
Pasal 33
(1) Pengisian formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara
mengisi:
a. formulir identitas Pelaku Usaha;
b. formulir deskripsi rinci rencana usaha dan/atau
kegiatan;
c. matrik dampak lingkungan yang akan terjadi;
d. program pengelolaan serta pemantauan lingkungan;
e. formulir pernyataan komitmen pemrakarsa untuk
melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam
formulir UKL-UPL; dan
f. daftar Pustaka; dan
g. lampiran.
(2) Pengisian formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan pedoman pengisian
formulir UKL-UPL tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(3) Formulir UKL-UPL spesifik dari setiap jenis kegiatan di
masing-masing sektor ditetapkan oleh Menteri
berdasarkan pedoman pengisian formulir UKL-UPL
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat
pertimbangan dari menteri atau pimpinan lembaga
pembina sektor bidang usaha dan/atau kegiatan terkait.
377
Pasal 34
Pelaku Usaha mengajukan formulir UKL-UPL yang telah diisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 kepada:
a. Menteri, untuk usaha dan/atau yang berlokasi:
1. lebih dari 1 (satu) wilayah daerah provinsi;
2. di wilayah Negara Republik Indonesia yang sedang
dalam sengketa dengan negara lain;
3. di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas;
dan/atau
4. di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan negara lain;
b. gubernur, untuk usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi:
1. lebih dari 1 (satu) wilayah daerah kabupaten/kota
dalam 1 (satu) daerah provinsi;
2. di lintas daerah kabupaten/kota; dan/atau
3. di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan; atau
c. bupati/wali kota, apabila usaha dan/atau kegiatan
berlokasi pada 1 (satu) wilayah daerah kabupaten/kota.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan UKL-UPL dan Penetapan Persetujuan
Rekomendasi UKL-UPL
Pasal 35
(1) Formulir UKL-UPL yang telah diajukan oleh Pelaku
Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 diperiksa
oleh Menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Pelaksanaan kewenangan pemeriksaan UKL-UPL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. pejabat yang ditujuk oleh Menteri, untuk Usaha
dan/atau Kegiatan wajib UKL-UPL yang merupakan
kewenangan Menteri;
378
b. kepala instansi lingkungan hidup daerah provinsi,
untuk Usaha dan/atau Kegiatan wajib UKL-UPL
yang merupakan kewenangan gubernur; atau
c. kepala instansi lingkungan hidup daerah
kabupaten/kota, untuk Usaha dan/atau Kegiatan
wajib UKL-UPL yang merupakan kewenangan
bupati/wali kota.
(3) Pemeriksaan UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan tahapan:
a. pemeriksaan secara administratif; dan
b. pemeriksaan subtansi teknis UKL-UPL.
(4) Pemeriksaan UKL-UPL secara administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a mencakup pemeriksaan:
a. kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
dengan rencana tata ruang; dan
b. kesesuian isian formulir UKL-UPL dengan pedoman
pengisian formulir UKL-UPL.
(5) Pemeriksaan subtansi teknis UKL-UPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan terhadap
pemenuhan kriteria persetujuan UKL-UPL.
(6) Pemeriksaan subtansi teknis UKL-UPL dimaksud pada
ayat (5) dilakukan secara mandiri dan melalui rapat
koordinasi pemeriksaan UKL-UPL.
(7) Pemeriksaan substansi teknis UKL-UPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dilakukan oleh instansi
lingkungan hidup dengan melibatkan:
a. instansi yang membidangi rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang bersangkutan;
b. instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintah
di bidang penataan ruang; dan
c. pelaku usaha.
Pasal 36
(1) Dalam hal hasil pemeriksaan UKL-UPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 tidak terdapat perbaikan UKLUPL,
Menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai
379
dengan kewenangannya menetapkan persetujuan
rekomendasi UKL-UPL.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan UKL-UPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 terdapat perbaikan UKL-UPL,
Menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya menyampaikan hasil pemeriksaan
kepada Pelaku Usaha melalui sistem OSS.
(3) Pelaku usaha wajib melakukan perbaikan UKL-UPL dan
menyampaikan kembali kepada Menteri, gubernur atau
bupati/wali kota sesuai kewenangannya melalui sistem
OSS paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
hasil pemeriksaan UKL-UPL.
(4) Berdasarkan perbaikan UKL-UPL yang disampaikan oleh
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan persetujuan rekomendasi
UKL-UPL.
(5) Pelaksanaan kewenangan penetapan persetujuan
rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (4) dilakukan oleh:
a. pejabat yang di tunjuk oleh Menteri, untuk usaha
dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL yang merupakan
kewenangan Menteri;
b. kepala instansi lingkungan hidup daerah provinsi,
untuk usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL
yang merupakan kewenangan gubernur; atau
c. kepala instansi lingkungan hidup daerah
kabupaten/kota, untuk usaha dan/atau kegiatan
wajib UKL-UPL yang merupakan kewenangan
bupati/wali kota.
Pasal 37
Persetujuan rekomendasi UKL-UPL yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 merupakan:
a. pemenuhan komitmen Izin Lingkungan;
b. bagian yang tidak terpisahkan dari Izin Lingkungan yang
telah diterbitkan oleh Lembaga OSS; dan
380
c. persyaratan dan kewajiban rinci terkait dengan aspek
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dari Izin
Lingkungan yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS.
Pasal 38
(1) Pemeriksaan UKL-UPL dan penetapan persetujuan
rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 dan Pasal 36 paling sedikit wajib
mempertimbangkan kriteria:
a. kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
dengan rencana tata ruang dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur terkait dengan
pemanfaatan ruang;
b. kesesuaian rencana usaha dan/atau kegiatan
dengan kebijakan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup serta sumber daya
alam yang diatur dalam peraturan perundangundangan;
c. rencana usaha dan/atau kegiatan tidak mengganggu
kepentingan kepentingan pertahanan keamanan;
d. kemampuan pemrakarsa dan/atau pihak terkait
yang bertanggung jawab dalam menanggulanggi
dampak penting negatif yang akan ditimbulkan dari
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan dengan
pendekatan teknologi, sosial, dan kelembagaan;
e. rencana usaha dan/atau kegiatan tidak mengganggu
nilai sosial atau pandangan masyarakat (emic view);
f. rencana usaha dan/atau kegiatan tidak akan
mempengaruhi dan/atau mengganggu entitas
ekologis yang merupakan:
1. entitas dan/atau spesies kunci (key species);
2. memiliki nilai penting secara ekologis (ecological
importance);
3. memiliki nilai penting secara ekonomi (economic
importance); dan/atau
4. memiliki nilai penting secara ilmiah (scientific
importance);
381
g. rencana usaha dan/atau kegiatan tidak
menimbulkan gangguan terhadap usaha dan/atau
kegiatan yang telah berada di sekitar rencana lokasi
usaha dan/atau kegiatan; dan/atau
h. tidak dilampauinya daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dari lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan, dalam hal terdapat perhitungan
daya dukung dan daya tampung lingkungan
dimaksud.
(2) Persetujuan rekomendasi UKL-UPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37, paling sedikit memuat:
a. dasar ditetapkannya persetujuan rekomendasi UKLUPL
lingkungan hidup, berupa berupa rekomendasi
hasil pemeriksaan UKL-UPL;
b. identitas Pelaku Usaha sesuai dengan identitas
Pelaku Usaha yang tertulis dalam Izin Lingkungan
yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS, meliputi:
1. nama usaha dan/atau kegiatan;
2. jenis usaha dan/atau kegiatan;
3. nama jabatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan
4. alamat kantor; dan
5. lokasi kegiatan;
c. deskripsi dan lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan yang akan dilakukan, baik kegiatan utama
maupun kegiatan pendukung;
d. persyaratan Pelaku Usaha, terdiri atas:
1. persyaratan sebagaimana tercantum dalam
UKL-UPL;
2. persyaratan rinci atau memperoleh persyaratan
rinci terkait dengan aspek perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang diperlukan
atau relevan antara lain terkait dengan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (LB3), Pengolahan dan Pembuangan
Air Limbah ke Sungai dan Laut, Pemanfaatan
382
Air Limbah Untuk Aplikasi ke Tanah,
Pengendalian Pencemaran Udara; dan
3. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan kepentingan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
e. kewajiban Pelaku Usaha, terdiri atas:
1. memenuhi persyaratan, standar, dan baku
mutu lingkungan dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan sesuai dengan UKL-UPL
dan peraturan perundang-undangan;
2. menyampaikan laporan pelaksanaan
persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam
rekomendasi persetujuan UKL-UPL selama 6
(enam) bulan sekali;
3. mengajukan permohonan perubahan Izin
Lingkungan apabila direncanakan untuk
melakukan perubahan Usaha dan/atau
Kegiatannya; dan
4. kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
f. hal lain, meliputi:
1. pernyataan yang menyatakan bahwa Pelaku
Usaha dapat dikenakan sanksi administratif
apabila ditemukan pelanggaran tercantum
dalam Pasal 71 Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;
2. pernyataan yang menyatakan bahwa Izin
Lingkungan ini dapat dibatalkan apabila di
kemudian hari ditemukan pelanggaran
tercantum dalam Pasal 37 ayat (2) Undang-
Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
383
3. pernyataan yang menyatakan bahwa Pelaku
Usaha wajib memberikan akses kepada pejabat
pengawas lingkungan hidup untuk melakukan
pengawasan sesuai dengan kewenangan
tercantum dalam Pasal 74 Undang-Undang 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
4. masa berlaku rekomendasi persetujuan UKLUPL,
yang menjelaskan bahwa rekomendasi
persetujuan UKL-UPL ini berlaku selama usaha
dan/atau kegiatan berlangsung sepanjang tidak
ada perubahan atas usaha dan/atau kegiatan
dimaksud; dan
g. tanggal penetapan persetujuan rekomendasi UKLUPL.
BAB IV
PENGISIAN DAN VERIFIKASI SERTA PENDAFTARAN SPPL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 39
(1) Terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang merupakan
usaha mikro dan kecil dan Usaha dan/atau Kegiatan
yang tidak wajib memiliki Amdal dan UKL-UPL, Pelaku
Usaha wajib memiliki SPPL.
(2) SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki
melalui tahapan sebagai berikut:
a. pengisian dan pengajuanSPPL; dan
b. verifikasi dan pendaftaran SPPL.
384
Bagian Kedua
Pengisian dan pengajuan SPPL
Pasal 40
(1) Pengisian SPPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
huruf a dilakukan dengan cara mengisi:
a. identitas Pelaku Usaha;
b. informasi singkat terkait dengan Usaha dan/atau
Kegiatan;
c. keterangan singkat mengenai dampak lingkungan
yang akan terjadi dan pengelolaan serta pemantauan
lingkungan hidup yang akan dilakukan;
d. pernyataan kesanggupan untuk melakukan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup; dan
e. tanda tangan Pelaku Usaha di atas kertas
bermaterai cukup.
(2) Pengisian SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menggunakan format SPPL tercantum
dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 41
(1) Pelaku Usaha menyampaikan SPPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 kepada:
a. Instansi lingkungan hidup pusat, untuk usaha
dan/atau yang berlokasi:
1. lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi;
2. di wilayah Negara Republik Indonesia yang
sedang dalam sengketa dengan negara lain;
3. di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas;
dan/atau
4. di lintas batas Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan negara lain;
b. Instansi lingkungan hidup provinsi, untuk usaha
dan/atau kegiatan yang berlokasi:
385
1. lebih dari 1 (satu) wilayah daerah
kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi;
2. di lintas daerah kabupaten/kota; dan/atau
3. di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil
dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke
arah perairan kepulauan; atau
c. Instansi lingkungan hidup daerah kabupaten/kota,
untuk usaha dan/atau kegiatan berlokasi pada 1
(satu) wilayah daerah kabupaten/kota.
(2) Terhadap SPPL yang telah disampaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), instansi lingkungan hidup
sesuai dengan kewenangannya:
a. memberikan tanda terima permohonan verifikasi
dan pendaftaran SPPL yang menyatakan bahwa
SPPL yang diajukan telah lengkap dan benar, jika
Usaha dan/atau Kegiatan merupakan Usaha
dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki SPPL; atau
b. menolak SPPL jika usaha dan/atau kegiatan
merupakan usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki
Amdal atau UKL-UPL.
Bagian Ketiga
Verifikasi dan Pendaftaran SPPL
Pasal 42
(1) Berdasarkan SPPL yang dinyatakan lengkap dan benar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a,
instansi lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya
melakukan verifikasi SPPL.
(2) Berdasarkan hasil verifikasi SPPL sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), instansi lingkungan hidup sesuai dengan
kewenangannya memberikan tanda bukti pendaftaran
SPPL.
(3) Tanda bukti pendaftaran SPPL sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencantumkan nomor pendaftaran dan
tanggal penerimaan SPPL;
386
(4) Verifikasi SPPL dan pemberian tanda bukti pendaftaran
SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan oleh pejabat atau staf teknis instansi
lingkungan hidup yang memiliki pengetahuan, keahlian
dan pengalaman dalam melakukan penilaian dan/atau
pemeriksaan dokumen lingkungan hidup;
(5) Jangka waktu verifikasi dan pemberian tanda bukti
pendaftaran SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja
sejak SPPL yang diterima dinyatakan lengkap dan benar
oleh instansi lingkungan hidup.
BAB V
PENYUSUNAN, PENILAIAN DAN PEMERIKSAAN DOKUMEN
LINGKUNGAN HIDUP SERTA PERUBAHAN KEPUTUSAN
KELAYAKAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PERUBAHAN
REKOMENDASI UKL-UPL UNTUK
PERUBAHAN IZIN LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Jenis dan Kriteria Perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
Pasal 43
(1) Pelaku Usaha wajib mengajukan permohonan perubahan
Izin Lingkungan, apabila Usaha dan/atau Kegiatan yang
telah memperoleh Izin Lingkungan direncanakan untuk
dilakukan perubahan.
(2) Perubahan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perubahan kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan;
b. perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup;
c. perubahan yang berpengaruh terhadap lingkungan
hidup yang memenuhi kriteria:
1. perubahan dalam penggunaan alat-alat
produksi yang berpengaruh terhadap
lingkungan hidup;
387
2. penambahan kapasitas produksi;
3. perubahan spesifikasi teknik yang
mempengaruhi lingkungan;
4. perubahan sarana Usaha dan/atau Kegiatan;
5. perluasan lahan dan bangunan Usaha
dan/atau Kegiatan;
6. perubahan waktu atau durasi operasi Usaha
dan/atau Kegiatan;
7. Usaha dan/atau Kegiatan di dalam kawasan
yang belum tercakup di dalam Izin Lingkungan;
8. terjadinya perubahan kebijakan pemerintah
yang ditujukan dalam rangka peningkatan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; dan/atau
9. terjadi perubahan lingkungan hidup yang
sangat mendasar akibat peristiwa alam atau
karena akibat lain, sebelum dan pada waktu
Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan
dilaksanakan;
d. terdapat perubahan dampak dan/atau risiko
lingkungan hidup berdasarkan hasil kajian analisis
risiko lingkungan hidup dan/atau audit lingkungan
hidup yang diwajibkan;
e. tidak dilaksanakannya rencana Usaha dan/atau
Kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkannya Izin Lingkungan; dan/atau
f. perubahan Usaha dan/atau Kegiatan lainnya yang
tidak berpengaruh terhadap lingkungan hidup, yang
mencakup:
1. perubahan Usaha dan/atau Kegiatan karena
Usaha dan/atau Kegiatan tersebut dilakukan
pemisahan dan/atau penggabungan baik
sebagian atau seluruhnya;
2. perubahan nama penanggung jawab Usaha
dan/atau Kegiatan;
3. perubahan nama kegiatan tanpa mengubah
jenis kegiatan;
388
4. perubahan wilayah administrasi pemerintahan;
dan/atau
5. penciutan/pengurangan kegiatan dan/atau
luas areal Usaha dan/atau Kegiatan.
(3) Perubahan nama penanggung jawab Usaha dan/atau
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f
angka 2, berlaku bagi Usaha dan/atau Kegiatan
perseorangan.
(4) Jenis dan kriteria perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
yang dapat menyebabkan perubahan Izin Lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Kedua
Proses Penapisan Perubahan Izin Lingkungan
Pasal 44
(1) Dalam hal Usaha dan/atau Kegiatan telah memperoleh
Izin Lingkungan direncanakan untuk dilakukan
perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43,
Pelaku Usaha mengajukan permohonan arahan
perubahan Izin Lingkungan kepada Menteri, gubernur
atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
sebelum mengajukan permohonan perubahan Izin
Lingkungan kepada lembaga OSS.
(2) Pengajuan permohonan arahan perubahan Izin
Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilengkapi dengan penyajian informasi lingkungan.
(3) Format penyajian informasi lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran V
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 45
(1) Menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya melakukan evaluasi terhadap
389
permohonan arahan perubahan Izin Lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
(2) Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangannya menugaskan:
a. pejabat instansi lingkungan hidup pusat;
b. kepala instansi lingkungan hidup daerah provinsi,
atau
c. kepala instansi lingkungan hidup daerah
kabupaten/kota.
(3) Pelaksanaan evaluasi oleh pejabat lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai
dengan huruf c dapat dilakukan dengan melibatkan:
a. tim teknis; dan/atau
b. tenaga ahli/pakar.
(4) Pejabat lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), sesuai dengan kewenangannya memberikan
arahan tindak lanjut perubahan Izin Lingkungan kepada
pemegang Izin Lingkungan.
(5) Arahan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a. dalam hal perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
termasuk dalam kategori perubahan Usaha
dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (3) huruf b yang berpengaruh terhadap
lingkungan, huruf c sampai dengan huruf e,
perubahan Izin Lingkungan dilakukan melalui
perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup
atau perubahan Rekomendasi UKL-UPL; atau
b. dalam hal perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
termasuk dalam kategori perubahan Usaha
dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (3) huruf a dan huruf b yang tidak
berpengaruh terhadap lingkungan dan huruf f,
perubahan Izin Lingkungan dilakukan tanpa melalui
perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup
atau perubahan Rekomendasi UKL-UPL.
390
Pasal 46
(1) Perubahan Izin Lingkungan melalui perubahan
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) huruf a dilakukan
melalui:
a. penyusunan dan penilaian Amdal baru bagi rencana
perubahan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
memiliki Amdal; atau
b. penyusunan dan penilaian addendum Andal dan
RKL-RPL bagi rencana perubahan Usaha dan/atau
Kegiatan yang wajib memiliki Amdal.
(2) Penyusunan dan penilaian Amdal baru bagi rencana
perubahan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan apabila perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
memenuhi kriteria:
a. rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan akan
berpotensi menimbulkan jenis dampak penting
hipotetik (DPH) baru yang belum dilingkup dalam
dokumen Amdal sebelumnya; dan/atau
b. rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan akan
berpotensi mengubah batas wilayah studi.
(3) Penyusunan dan penilaian addendum Andal dan RKLRPL
bagi rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan
yang wajib memiliki Amdal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan apabila perubahan Usaha
dan/atau Kegiatan memenuhi kriteria:
a. rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan tidak
berpotensi menimbulkan jenis dampak penting
hipotetik (DPH) baru atau jenis dampak penting
hipotetik yang timbul akibat perubahan Usaha
dan/atau Kegiatan sudah dilingkup dalam dokumen
Amdal sebelumnya; dan/atau
b. rencana perubahan Usaha dan/atau Kegiatan tidak
berpotensi mengubah batas wilayah studi.
391
Pasal 47
(1) Perubahan Izin Lingkungan melalui perubahan
Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (5) huruf a dilakukan melalui penyusunan
dan pemeriksaan UKL-UPL baru.
(2) Penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
apabila perubahan Usaha dan/atau Kegiatan yang
direncanakan termasuk dalam skala besaran jenis
rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
UKL-UPL.
(3) Dalam hal perubahan Usaha dan/atau Kegiatan yang
wajib memiliki UKL-UPL menyebabkan skala/besaran
Usaha dan/atau Kegiatan tersebut termasuk dalam
kriteria wajib memiliki Amdal sebagaimana diatur dengan
peraturan perundang-undangan mengenai jenis rencana
Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal,
perubahan Izin Lingkungan dilakukan melalui
penyusunan dan penilaian Amdal baru.
Pasal 48
(1) Perubahan Izin Lingkungan tanpa melalui perubahan
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau perubahan
Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (5) huruf b dilakukan tanpa melalui:
a. penyusunan dan penilaian dokumen Amdal baru;
b. penyusunan dan penilaian addendum Andal dan RKL
RPL; atau
c. penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL baru.
(2) Perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyampaian dan pemeriksaan perubahan
kepemilikan Usaha dan/atau Kegiatan dan
perubahan Usaha dan/atau Kegiatan lainnya; atau
b. penyusunan dan penilaian laporan perubahan
pengelolaan dan pemantuan lingkungan hidup.
392
Bagian Ketiga
Perubahan Izin Lingkungan Melalui Perubahan Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup atau Perubahan Persetujuan
Rekomendasi UKL-UPL
Pasal 49
(1) Berdasarkan arahan perubahan Izin Lingkungan yang
dilakukan melalui perubahan Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) huruf a,
Pasal 46 dan Pasal 47, Pelaku Usaha mengajukan
permohonan perubahan Izin Lingkungan kepada
Lembaga OSS.
(2) Lembaga OSS menerbitkan perubahan Izin Lingkungan
kepada Pelaku Usaha berdasarkan komitmen.
(3) Pelaku Usaha wajib memenuhi komitment perubahan
Izin Lingkungan yang telah diterbitkan oleh lembaga OSS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui:
a. penyusunan dan penilaian dokumen Amdal baru;
b. penyusunan dan penilaian dokumen addendum
Andal dan RKL-RPL; atau
c. penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL baru.
(4) Pelaksanaan perubahan Usaha dan/atau Kegiatan baru
dapat dilakukan, setelah pelaku Usaha telah melakukan
pemenuhan komitmen perubahan Izin Lingkungan.
Pasal 50
Penyusunan dan penilaian Amdal baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf a dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 30.
Pasal 51
(1) Dokumen addendum Andal dan RKL-RPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf b terdiri atas:
a. addendum Andal dan RKL-RPL tipe A;
b. addendum Andal dan RKL-RPL tipe B; dan
c. addendum Andal dan RKL-RPL tipe C.
393
(2) Dokumen addendum Andal dan RKL-RPL tipe A
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun
dengan muatan:
a. pendahuluan;
b. deskripsi rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. deskripsi rona lingkungan hidup;
d. evaluasi kegiatan eksisting dan pemilihan DPH yang
sesuai dengan perubahan Usaha dan/atau Kegiatan;
e. prakiraan dan evaluasi dampak lingkungan;
f. RKL-RPL;
g. daftar pustaka; dan
h. lampiran.
(3) Dokumen addendum Andal dan RKL-RPL tipe B
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun
dengan muatan:
a. pendahuluan;
b. deskripsi rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. deskripsi rona lingkungan hidup;
d. evaluasi kegiatan eksisting dan identifikasi
komponen lingkungan yang terkena dampak;
e. RKL-RPL;
f. daftar pustaka; dan
g. lampiran.
(4) Dokumen addendum Andal dan RKL-RPL tipe C
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun
dengan muatan:
a. pendahuluan;
b. deskripsi rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
c. RKL-RPL;
d. daftar pustaka; dan
e. lampiran.
Pasal 52
(1) Penilaian addendum Andal dan RKL-RPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 dilakukan dengan tahapan:
a. penerimaan dan penilaian permohonan addendum
Andal dan RKL-RPL secara administratif;
394
b. penilaian addendum Andal dan RKL-RPL secara
teknis;
c. penilaian kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan
hidup berdasarkan addendum Andal dan RKL-RPL;
dan
d. penyampaian rekomendasi hasil penilaian kelayakan
atau ketidaklayakan lingkungan hidup.
(2) Penilaian addendum Andal dan RKL-RPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
kewenangan penilaian Amdal sebagaimana diatur dengan
peraturan perundang-undangan mengenai tata laksana
penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan hidup
serta penerbitan Izin Lingkungan.
(3) Penilaian addendum Andal dan RKL-RPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. tim teknis dan KPA untuk addendum Andal dan
RKL-RPL tipe A;
b. tim teknis untuk addendum Andal dan RKL-RPL tipe
B; atau
c. instansi lingkungan hidup untuk addendum Andal
dan RKL-RPL tipe C.
(4) Jangka waktu penilaian addendum Andal dan RKL-RPL
sampai dengan disampaikannya hasil rekomendasi
penilaian kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lama:
a. 55 (lima puluh lima) hari kerja terhitung sejak
addendum Andal dan RKL-RPL tipe A diterima dan
dinyatakan lengkap secara administrasi;
b. 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak addendum
Andal dan RKL-RPL tipe B diterima dan dinyatakan
lengkap secara administrasi; dan
c. 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
addendum Andal dan RKL-RPL tipe C diterima dan
dinyatakan lengkap secara administrasi.
395
Pasal 53
(1) Berdasarkan hasil penilaian addendum Andal dan RKLRPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1),
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya menerbitkan:
a. perubahan keputusan kelayakan lingkungan hidup,
jika perubahan rencana Usaha dan/atau Kegiatan
dinyatakan layak lingkungan hidup; atau
b. keputusan ketidaklayakan lingkungan, jika
perubahan rencana Usaha dan/atau Kegiatan
dinyatakan tidak layak lingkungan hidup.
(2) Jangka waktu penerbitan perubahan Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup atau ketidaklayakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rekomendasi hasil penilaian kelayakan
lingkungan hidup atau ketidaklayakan lingkungan hidup.
Pasal 54
Tata laksana perubahan Izin Lingkungan melalui penyusunan
dan penilaian adendum Andal dan RKL-RPL secara lebih rinci
tercantum di dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 55
Penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf c dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 31 sampai dengan Pasal 39.
Bagian Keempat
Perubahan Izin Lingkungan Tanpa Melalui Perubahan
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dan Perubahan
Rekomendasi UKL-UPL
Pasal 56
(1) Berdasarkan arahan perubahan Izin Lingkungan yang
dilakukan tanpa melalui perubahan Keputusan
396
Kelayakan Lingkungan atau Rekomendasi UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) huruf b
dan Pasal 49, Pelaku Usaha wajib:
a. menyiapkan dokumen dan/atau berkas-berkas
terkait dengan perubahan kepemilikan Usaha
dan/atau Kegiatan;
b. memiliki dokumen dan/atau berkas-berkas terkait
dengan perubahan Usaha dan/atau kegiatan lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangundangan;
dan/atau
c. memiliki laporan perubahan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui
oleh instansi lingkungan hidup.
(2) Dokumen-dokumen dan/atau berkas-berkas yang terkait
dengan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan ke Lembaga OSS
bersamaan dengan pengajuan permohonan perubahan
Izin Lingkungan.
(3) Berdasarkan pengajuan permohonan perubahan Izin
Limgkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Lembaga OSS menerbitkan perubahan Izin Lingkungan.
BAB VI
PEMBINAAN DAN EVALUASI KINERJA
PENATALAKSANAAN AMDAL, ADENDUM ANDAL
DAN RKL-RPL, UKL-UPL DAN SPPL
Pasal 57
(1) Instansi lingkungan hidup pusat melakukan pembinaan
penatalaksanaan Amdal, Adendum Andal dan RKL-RPL,
UKL-UPL dan SPPL terhadap:
a. instansi lingkungan hidup daerah provinsi; dan
b. instansi lingkungan hidup daerah kabupaten/kota.
(2) Instansi lingkungan hidup daerah provinsi melakukan
pembinaan penatalaksanaan Amdal, Adendum Andal dan
RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL kepada instansi lingkungan
hidup daerah kabupaten/kota.
397
(3) Instansi lingkungan hidup pusat, instansi lingkungan
hidup daerah provinsi, atau instansi lingkungan hidup
daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya
melakukan pembinaan penatalaksanaan Amdal,
Adendum Andal dan RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL
kepada:
a. pelaku usaha;
b. lembaga penyedia jasa penyusun Amdal; dan/atau
c. penyusun dokumen Amdal, Adendum Andal dan
RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) dilakukan dalam bentuk:
a. bimbingan teknis;
b. penyedian informasi yang relevan dan mutakhir
terkait Amdal, adendum Andal dan RKL-RPL, UKLUPL
dan SPPL; dan/atau
c. penyedian panduan teknis yang memuat tatacara
dan penjelasan teknis Amdal, adendum Andal dan
RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL.
Pasal 58
(1) Instansi lingkungan hidup pusat melakukan evaluasi
kinerja terhadap penatalaksanaan Amdal, Adendum
Andal dan RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL yang dilakukan
oleh:
a. instansi lingkungan hidup daerah provinsi; dan
b. instansi lingkungan hidup daerah kabupaten/kota.
(2) Instansi lingkungan hidup daerah provinsi melakukan
evaluasi kinerja terhadap penatalaksanaan Amdal,
Adendum Andal dan RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL yang
dilakukan oleh instansi lingkungan hidup daerah
kabupaten/kota.
(3) Evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) paling sedikit dilakukan terhadap:
a. pelaksanaan norma, standar, prosedur dan kriteria
terkait dengan penatalaksanaan Amdal, Adendum
Andal dan RKL-RPL, UKL-UPL dan SPPL;
398
b. kinerja Komisi Penilai Amdal daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota terkait penatalaksanaan
Amdal dan Adendum Andal dan RKL-RPL untuk
Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
Amdal;
c. kinerja instansi lingkungan hidup daerah provinsi
dan daerah kabupaten/kota terkait penatalaksanaan
UKL-UPL dan SPPL untuk usaha dan/atau kegiatan
yang wajib memiliki UKL-UPL dan SPPL; dan
d. kinerja penyusun dokumen Amdal, UKL-UPL dan
SPPL.
(4) Evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu.
(5) Mekanisme dan tindak lanjut evaluasi kinerja dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Menteri mengenai pembinaan dan evaluasi kinerja Komisi
Penilai Amdal dan pemeriksa UKL-UPL daerah.
BAB VII
SISTEM INFORMASI DOKUMEN LINGKUNGAN DAN
IZIN LINGKUNGAN
Pasal 59
(1) Proses permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan,
penyusunan dokumen Amdal, adendum Andal dan RKLRPL
serta UKL-UPL dilakukan melalui sistem OSS.
(2) Menteri membangun dan mengembangkan sistem
informasi dokumen lingkungan dan Izin Lingkungan
untuk mendukung pelaksanaan sistem OSS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Menteri, gubernur atau bupati/wali kota mengoperasikan
dan memelihara sistem informasi dokumen lingkungan
dan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Sistem informasi dokumen lingkungan dan Izin
Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) terintegrasi dengan:
399
a. sistem informasi Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan;
b. sistem OSS; dan
c. sistem pelayanan terpadu di pusat dan daerah.
(5) Sistem informasi dokumen lingkungan dan Izin
Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan dalam pelaksanaan proses penyusunan dan
penilaian dokumen Amdal, adendum Andal dan RKL-RPL
serta pemeriksaan UKL-UPL di Pusat dan daerah.
(6) Sistem informasi dokumen lingkungan dan Izin
Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencakup:
a. sistem pelayanan publik sekretariat KPA dan
dokumen lingkungan hidup;
b. sistem penilaian dokumen lingkungan hidup; dan
c. sistem pelaporan Izin Lingkungan.
Pasal 60
Sistem pelayanan publik sekretariat KPA dan dokumen
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(6) huruf a berisi data dan informasi terkait dengan:
a. administrasi proses penilaian Amdal, adendum Andal dan
RKL-RPL dan pemeriksaan UKL UPL;
b. metodologi dan pedoman teknis dokumen lingkungan;
c. para pihak yang terkait dengan proses Amdal, adendum
Andal dan RKL-RPL dan pemeriksaan UKL UPL, antara
lain KPA, lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen
Amdal (LPJP), penyusun Amdal perorangan dan lembaga
sertifikasi profesi (LSP) penyusunan Amdal; dan
d. peta interaktif sistem informasi dokumen lingkungan.
Pasal 61
(1) Sistem penilaian dokumen lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (6) huruf b
berisi:
a. data dan informasi non spasial; dan
b. data dan informasi spasial
400
yang digunakan dalam proses penilaian AMDAL,
adendum Andal dan RKL-RPL serta pemeriksaan UKL
UPL.
(2) Data dan informasi non spasial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. identitas pelaku usaha;
b. deskripsi rencana kegiatan beserta tahapan
kegiatannya yang meliputi tahap pra konstruksi,
konstruksi, operasi dan pasca operasi;
c. data komponen lingkungan rona awal;
d. data peran serta masyarakat;
e. metode studi Amdal;
f. proses pelingkupan;
g. proses dan hasil perhitungan besaran prakiraan
dampak dan sifat penting dampak;
h. proses dan hasil evaluasi dampak secara holistik;
i. rencana pengelolaan lingkungan hidup; dan
j. rencana pemantauan lingkungan hidup.
(3) Data dan informasi spasial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi:
a. peta tapak proyek;
b. peta batas wilayah studi;
c. peta pengelolaan dan pemantauan lingkungan; dan
d. peta lain yang relevan.
(4) Data dan informasi spasial sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) merupakan data dan informasi dalam format
shapefile dengan Sistem Koordinat Geografis
(geoprojected).
Pasal 62
(1) Sistem pelaporan Izin Lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (6) huruf c mencakup:
a. pelaporan pelaksanaan izin lingkungan;
b. pelaporan pelaksanaan penilaian Amdal;
c. pelaporan pelaksanaan pemeriksaan UKL UPL; dan
d. pelaporan pelaksanaan penyusunan Amdal.
401
(2) Sistem pelaporan pelaksanaan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi data
dan informasi laporan pelaksanaan komitmen RKL RPL
dan UKL-UPL, yang sekurang-kurangnya mencakup
pelaksanaan:
a. pengelolaan dan pemantauan kualitas air;
b. pengelolaan dan pemantauan kualitas udara;
c. Pengelolaan limbah B3;
d. pengelolaan dan pemantauankerusakan lingkungan;
dan
e. komitmen lain yang tercantum dalam RKL RPL dan
UKL-UPL.
(3) Sistem pelaporan pelaksanaan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat data dan
informasi terkait dengan:
a. analisa kecenderungan dampak lingkungan;
b. analisis tingkat kritis dampak lingkungan; dan
c. analisis tingkat ketaatan dampak lingkungan.
(4) Sistem pelaporan pelaksanaan penilaian Amdal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berisi data
dan informasi kinerja KPA daerah, mencakup:
a. identitas anggota KPA;
b. identitas anggota tim teknis;
c. jumlah dokumen Amdal yang dinilai;
d. jumlah keputusan kelayakan lingkungan hidup dan
ketidaklayakan lingkungan hidup yang diterbitkan;
e. kualitas dokumen Amdal yang dinilai; dan
f. status pemenuhan persyaratan lisensi KPA.
(5) Sistem pelaporan pelaksanaan pemeriksaan UKL-UPL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berisi data
dan informasi kinerja pemeriksa UKL-UPL daerah antara
lain terkait dengan:
a. tata cara pelaksanaan pemeriksaan;
b. jumlah UKL-UPL yang diperiksa;
c. identitas tim pemeriksa UKL UPL; dan
d. jumlah rekomendasi persetujuan UKL-UPL yang
diterbitkan.
402
(6) Sistem pelaporan pelaksanaan penyusunan AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berisi data
dan informasi antara lain terkait dengan:
a. identitas penyusun dokumen amdal bersertifikat
kompetensi;
b. identitas lembaga penyedia jasa penyusunan (LPJP)
Amdal teregistrasi;
c. identitas Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Amdal;
d. nomor dan masa berlaku sertifikat kompetensi;
e. jumlah dan identitas dokumen Amdal yang disusun
dalam periode tertentu;
f. keanggotaan penyusunan Amdal perorangan
bersertifikat kompetensi terhadap LPJP tertentu; dan
g. kualitas dokumen amdal yang disusun.
BAB VIII
PENDANAAN
Pasal 63
(1) Dana kegiatan:
a. penilaian Amdal, Adendum Andal dan RKL-RP yang
dilakukan oleh KPA, tim teknis dan sekretariat KPA;
b. pemeriksaan UKL-UPL yang dilakukan oleh instansi
lingkungan hidup pusat, instansi lingkungan hidup
daerah provinsi, atau instansi lingkungan hidup
daerah kabupaten/kota;
c. pembinaan dan evaluasi kinerja penatalaksanaan
Amdal, adendum Andal dan RKL-RPL, UKL-UPL dan
SPPL yang dilakukan oleh Instansi Lingkungan
Hidup Pusat, Instansi Lingkungan Hidup daerah
Provinsi, atau Instansi Lingkungan Hidup daerah
Kabupaten/Kota;
d. pembangunan, pengembangan, pengoperasian dan
pemeliharaan sistem informasi dokumen lingkungan
dan izin lingkungan yang dilakukan oleh instansi
lingkungan hidup pusat, instansi lingkungan hidup
403
daerah provinsi, atau instansi lingkungan hidup
daerah kabupaten/kota;
dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dana kegiatan untuk penilaian Amdal, Adendum Andal
dan RKL-RPL dan UKL-UPL yang dialokasikan dari APBN
atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mencakup:
a. biaya administrasi persuratan meliputi:
1. penggandaan surat undangan;
2. pengiriman dokumen Amdal atau formulir
UKLUPL;
3. pengiriman surat undangan; dan
4. pengiriman surat keputusan;
b. biaya pengecekan kebenaran atau kesesuaian atas
hasil perbaikan dokumen Amdal oleh sekretariat dan
tim teknis dan formulir UKL-UPL oleh instansi
lingkungan hidup;
c. administrasi penerbitan keputusan kelayakan atau
ketidaklayakan; dan
d. administrasi penerbitan rekomendasi UKL-UPL.
(3) Dana kegiatan untuk penilaian Amdal, Adendum Andal
dan RKL-RPL, dan UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dibebankan kepada Pelaku Usaha sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Jasa penilaian dokumen Amdal, Adendum Andal dan
RKL-RPL, dan pemeriksaan UKL-UPL yang dilakukan
oleh KPA dan tim teknis dibebankan kepada Pelaku
Usaha sesuai dengan standar biaya umum (SBU)
nasional atau daerah yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 64
(1) Jasa penilaian untuk dokumen Amdal dan Adendum
Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal
404
30 ayat (4), mencakup komponen biaya untuk penilaian
Amdal, Adendum Andal dan RKL-RPL dan penetapan
keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
ketidaklayakan lingkungan hidup yang meliputi:
a. honorarium:
1. KPA, yang meliputi ketua, sekretaris, dan
anggota;
2. tim teknis; dan
3. anggota sekretariat;
b. penggandaan dokumen Amdal atau adendum Andal
dan RKL-RPL dalam kegiatan;
c. persiapan rapat tim teknis dan rapat KPA;
d. pelaksanaan rapat tim teknis dan Rapat KPA, yang
meliputi:
1. biaya penyelenggaraan rapat;
2. biaya transportasi lokal peserta rapat tim teknis
dan rapat KPA serta anggota sekretariat;
3. biaya transportasi peserta rapat tim teknis dan
rapat KPA serta anggota sekretariat KPA dari
luar kota ke lokasi dilaksanakannya rapat;
4. biaya akomodasi peserta rapat tim teknis dan
rapat KPA serta sekretariat KPA dari luar kota
ke lokasi dilaksanakannya rapat; dan
5. uang harian peserta rapat tim teknis dan rapat
KPA;
e. penggandaan dokumen Amdal atau Adendum Andal
dan RKL-RPL final pada tahap pasca rapat tim
teknis dan rapat KPA.
(2) Dana jasa pemeriksaan formulir UKL-UPL dan penetapan
persetujuan Rekomendasi UKL-UPL, mencakup
komponen biaya untuk pemeriksaan formulir UKL-UPL
dan penetapan persetujuan Rekomendasi UKL-UPL yang
meliputi:
a. honorarium pemeriksa UKL-UPL;
b. penggandaan formulir UKL-UPL pada tahap
persiapan rapat koordinasi pemeriksaan UKL-UPL:
405
c. pelaksanaan rapat koordinasi pemeriksaan UKLUPL,
jika diperlukan koordinasi antara lain:
1. biaya penyelenggaraan rapat;
2. biaya transportasi lokal peserta rapat;
3. biaya transportasi peserta rapat dari luar kota
4. lokasi dilaksanakannya rapat;
5. biaya akomodasi peserta rapat dari luar kota
lokasi dilaksanakannya rapat; dan
6. uang harian peserta rapat;
d. penggandaan formulir UKL-UPL yang telah disetujui
pada tahap pasca pemeriksaan formulir UKL-UPL.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
(1) Pada saat Peraturan Menteri ini maka:
a. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan
Dokumen Lingkungan Hidup;
b. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan
Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak
Lingkungan dan Izin Lingkungan;
c. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
8 Tahun 2013 tentang Tata Laksana Penilaian dan
Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta
Penerbitan Izin Lingkungan
dinyatakan tetap berlaku.
(2) Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku untuk usaha dan/atau kegiatan yang tidak
termasuk ke dalam sistem OSS dan tidak tercantum di
dalam lampiran peraturan perundang-undangan yang
mengatur pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik.
406
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SITI NURBAYA</p
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 201818
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2018
TENTANG
STANDAR INDUSTRI HIJAU UNTUK
INDUSTRI SEMEN PORTLAND
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 79 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian,
perlu menetapkan Standar Industri Hijau;
b. bahwa proses produksi industri Semen Portland
menggunakan bahan baku yang tidak terbarukan dan
sumber daya energi yang besar, perlu mengatur
persyaratan teknis dan manajemen untuk mewujudkan
Industri Hijau;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Perindustrian tentang Standar Industri
Hijau untuk Industri Semen Portland;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5492);
530
2. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perindustrian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 54);
3. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 51/MIND/
PER/6/2015 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Industri Hijau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 854);
4. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 107/MIND/
PER/11/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Perindustrian (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1806);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN TENTANG STANDAR
INDUSTRI HIJAU UNTUK INDUSTRI SEMEN PORTLAND.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang
mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber
daya industri sehingga menghasilkan barang yang
mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi,
termasuk jasa industri.
2. Semen Portland adalah bahan hidrolis yang dihasilkan
dengan cara menggiling clinker semen terutama yang
terdiri atas kalsium silika yang bersifat hidrolis dan
digiling bersama-sama dengan bahan tambahan berupa
satu atau lebih bentuk kristal senyawa kalsium sulfat
dan dapat ditambah dengan bahan tambahan lain.
3. Perusahaan Industri Semen Portland adalah perusahaan
yang memproduksi Semen Portland dan memiliki Izin
Usaha Industri dengan nomor Klasifikasi Baku Lapangan
Usaha Indonesia 23941.
4. Industri Hijau adalah industri yang dalam proses
produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan
efektivitas penggunaan sumber daya secara
berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan
531
pembangunan industri dengan kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat.
5. Standar Industri Hijau, yang selanjutnya disebut SIH
adalah standar untuk mewujudkan Industri Hijau yang
ditetapkan oleh Menteri.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perindustrian.
Pasal 2
(1) SIH untuk Industri Semen Portland, terdiri atas:
a. persyaratan teknis; dan
b. persyaratan manajemen.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. bahan baku;
b. energi;
c. air;
d. proses produksi;
e. produk;
f. limbah; dan
g. emisi gas rumah kaca.
(3) Persyaratan manajemen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kebijakan dan organisasi;
b. perencanaan strategis;
c. pelaksanaan dan pemantauan;
d. tinjauan manajemen;
e. tanggung jawab sosial perusahaan; dan
f. ketenagakerjaan.
Pasal 3
(1) Perusahaan Industri yang telah memenuhi SIH untuk
Industri Semen Portland dapat mengajukan Sertifikasi
Industri Hijau.
532
(2) Tata cara Sertifikasi Industri Hijau sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
SIH untuk Industri Semen Portland tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
SIH untuk Industri Semen Portland dapat dikaji ulang sesuai
dengan kebutuhan.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri Perindustrian ini mulai berlaku:
a. Sertifikat Industri Hijau yang telah diterbitkan
berdasarkan SIH sebelum Peraturan Menteri ini berlaku,
dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan masa
berlaku Sertifikat Industri Hijau dimaksud berakhir.
b. Audit surveilans terhadap Perusahaan Industri yang
telah memiliki Sertifikat Industri Hijau dilakukan sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Menteri Perindustrian ini mulai berlaku,
Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 512/M-IND/Kep/
12/2015 tentang Penetapan Standar Industri Hijau untuk
Industri Semen Portland, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 8
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
533
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2018
MENTERI PERINDUSTRIAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AIRLANGGA HARTARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
534
PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2018
TENTANG
STANDAR INDUSTRI HIJAU UNTUK
INDUSTRI PUPUK UREA, PUPUK SP-36, DAN PUPUK AMONIUM SULFAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 79 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian,
perlu menetapkan Standar Industri Hijau;
b. bahwa proses produksi industri pupuk menggunakan
bahan berbahaya dan beracun dan sumber daya energi
yang besar, perlu mengatur persyaratan teknis dan
manajemen untuk mewujudkan industri hijau;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Perindustrian tentang Standar Industri
Hijau untuk Industri Pupuk Urea, Pupuk SP-36, dan
Pupuk Amonium Sulfat;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5492);
574
2. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perindustrian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 54);
3. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 51/M-IND/
PER/6/2015 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Industri Hijau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 854);
4. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 107/M-IND/
PER/11/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Perindustrian (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1806);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN TENTANG STANDAR
INDUSTRI HIJAU UNTUK INDUSTRI PUPUK UREA, PUPUK
SP-36, DAN PUPUK AMONIUM SULFAT.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang
mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber
daya industri sehingga menghasilkan barang yang
mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi,
termasuk jasa industri.
2. Pupuk adalah suatu bahan organik atau anorganik,
mengandung satu atau lebih jenis unsur hara, yang
ditambahkan ke dalam tanah atau disemprotkan pada
tanaman dengan maksud untuk menambah unsur hara
yang diperlukannya dan meningkatkan produksi.
3. Pupuk Urea adalah pupuk buatan yang merupakan
pupuk tunggal, mengandung unsur hara utama nitrogen,
berbentuk butiran (prill) atau gelintiran (granular) dengan
rumus kimia CO(NH2)2.
4. Pupuk SP-36 adalah pupuk fosfat buatan berbentuk
butiran (granular) yang dibuat dari batuan fosfat dengan
campuran asam fosfat dengan asam sulfat yang
575
–
komponen utamanya mengandung unsur hara fosfor
berupa mono kalsium fosfat.
5. Pupuk Amonium Sulfat yang selanjutnya disebut pupuk
ZA adalah pupuk buatan berbentuk kristal dengan
rumus kimia (NH4)2SO4 yang mengandung unsur hara
nitrogen dan belerang.
6. Perusahaan Industri Pupuk Urea, Pupuk SP-36, dan
Pupuk ZA adalah perusahaan yang memproduksi Pupuk
Urea, Pupuk SP-36, dan Pupuk ZA dan memiliki Izin
Usaha Industri dengan nomor Klasifikasi Baku Lapangan
Usaha Indonesia 20122.
7. Industri Hijau adalah industri yang dalam proses
produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan
efektivitas penggunaan sumber daya secara
berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan
pembangunan industri dengan kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat.
8. Standar Industri Hijau yang selanjutnya disebut SIH
adalah standar untuk mewujudkan Industri Hijau yang
ditetapkan oleh Menteri.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perindustrian.
Pasal 2
(1) SIH untuk Industri Pupuk Urea, Pupuk SP-36, dan
Pupuk ZA terdiri atas:
a. persyaratan teknis; dan
b. persyaratan manajemen.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. bahan baku;
b. bahan penolong;
c. energi;
d. air;
e. proses produksi;
f. produk;
576
g. kemasan;
h. limbah; dan
i. emisi gas rumah kaca.
(3) Persyaratan manajemen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kebijakan dan organisasi;
b. perencanaan strategis;
c. pelaksanaan dan pemantauan;
d. tinjauan manajemen;
e. tanggung jawab sosial perusahaan; dan
f. ketenagakerjaan.
Pasal 3
(1) Perusahaan Industri yang telah memenuhi SIH untuk
Industri Pupuk Urea, Pupuk SP-36, dan Pupuk ZA dapat
mengajukan Sertifikasi Industri Hijau.
(2) Tata cara Sertifikasi Industri Hijau sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
SIH untuk Industri Pupuk Urea, Pupuk SP-36, dan Pupuk ZA
tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
SIH untuk Industri Pupuk Urea, Pupuk SP-36, dan Pupuk ZA
dapat dikaji ulang sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri Perindustrian ini mulai berlaku:
a. Sertifikat Industri Hijau yang telah diterbitkan
berdasarkan SIH sebelum Peraturan Menteri ini berlaku,
dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan masa
berlaku Sertifikat Industri Hijau dimaksud berakhir.
577
b. Audit surveilans terhadap Perusahaan Industri yang
telah memiliki Sertifikat Industri Hijau dilakukan sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Menteri Perindustrian ini mulai berlaku,
Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 148/MIND/
Kep/3/2016 tentang Penetapan Standar Industri Hijau
untuk Industri Pupuk Buatan Tunggal Hara Makro Primer,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
578
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2018
MENTERI PERINDUSTRIAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AIRLANGGA HARTARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2018
TENTANG
STANDAR INDUSTRI HIJAU UNTUK
INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU BUBUK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 79
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, perlu menetapkan Standar Industri Hijau;
b. bahwa proses produksi industri pengolahan susu bubuk
menggunakan sumber daya air yang besar, perlu
mengatur persyaratan teknis dan manajemen untuk
mewujudkan Industri Hijau;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Perindustrian tentang Standar Industri
Hijau untuk Industri Pengolahan Susu Bubuk;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5492);
2. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2015 tentang
Kementerian Perindustrian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 54);
621
2018, No.1493 –2–
3. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 51/M-IND/
PER/6/2015 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Industri Hijau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 854);
4. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 107/MIND/
PER/11/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Perindustrian (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1806);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN TENTANG STANDAR
INDUSTRI HIJAU UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU
BUBUK.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang
mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber
daya industri sehingga menghasilkan barang yang
mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi,
termasuk jasa industri.
2. Susu Bubuk adalah produk susu yang diperoleh dengan
cara mengurangi sebagian besar air melalui proses
pengeringan susu segar dan/atau susu rekombinasi,
atau pencampuran kering (dry blend), dengan atau tanpa
penambahan vitamin, mineral, unsur gizi lainnya, dan
bahan tambahan pangan yang diizinkan.
3. Perusahaan Industri Pengolahan Susu Bubuk adalah
perusahaan yang mengolah susu bubuk dan memiliki
Izin Usaha Industri dengan nomor Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia 10520.
4. Industri Hijau adalah industri yang dalam proses
produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan
efektivitas penggunaan sumber daya secara
berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan
pembangunan industri dengan kelestarian fungsi
622
2018, No.1493
-3-
lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat.
5. Standar Industri Hijau, yang selanjutnya disebut SIH
adalah standar untuk mewujudkan Industri Hijau yang
ditetapkan oleh Menteri.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dibidang perindustrian.
Pasal 2
(1) SIH untuk Industri Pengolahan Susu Bubuk, terdiri atas:
a. persyaratan teknis; dan
b. persyaratan manajemen.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. bahan baku;
b. bahan tambahan;
c. energi;
d. air;
e. proses produksi;
f. produk;
g. kemasan;
h. limbah; dan
i. emisi gas rumah kaca.
(3) Persyaratan manajemen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kebijakan dan organisasi;
b. perencanaan strategis;
c. pelaksanaan dan pemantauan;
d. tinjauan manajemen;
e. tanggung jawab sosial perusahaan; dan
f. ketenagakerjaan.
Pasal 3
(1) Perusahaan Industri yang telah memenuhi SIH untuk
Industri Pengolahan Susu Bubuk dapat mengajukan
Sertifikasi Industri Hijau.
623
2018, No.1493 –4–
(2) Tata cara Sertifikasi Industri Hijau sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
SIH untuk Industri Pengolahan Susu Bubuk tercantum dalam
lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
SIH untuk Industri Pengolahan Susu Bubuk dapat dikaji
ulang sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Menteri Perindustrian ini mulai berlaku:
a. Sertifikat Industri Hijau yang telah diterbitkan
berdasarkan SIH sebelum Peraturan Menteri ini berlaku,
dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan masa
berlaku Sertifikat Industri Hijau dimaksud berakhir.
b. Audit surveilans terhadap Perusahaan Industri yang
telah memiliki Sertifikat Industri Hijau dilakukan sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 7
Pada saat Peraturan Menteri Perindustrian ini mulai berlaku,
Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 146/M-IND/
Kep/3/2016 tentang Penetapan Standar Industri Hijau untuk
Industri Pengolahan Susu Bubuk dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
624
2018, No.1493
-5-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Oktober 2018
MENTERI PERINDUSTRIAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AIRLANGGA HARTARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.93/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018
TENTANG
PEMANTAUAN KUALITAS AIR LIMBAH SECARA TERUS MENERUS DAN
DALAM JARINGAN BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 68 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban
memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat,
terbuka dan tepat waktu serta mentaati ketentuan
mengenai baku mutu lingkungan hidup dan/atau baku
kerusakan lingkungan hidup;
b. bahwa untuk memperoleh informasi yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara
benar, akurat, terbuka dan tepat waktu serta ketaatan
mengenai baku mutu lingkungan hidup dan/atau baku
kerusakan lingkungan hidup, perlu dilakukan
pemantauan kualitas air limbah secara terus menerus
dan dalam jaringan bagi usaha dan/atau kegiatan;
666
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tentang Pemantauan Kualitas Air Limbah secara Terus
Menerus dan Dalam Jaringan bagi Usaha dan/atau
Kegiatan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembar Negara Republik
Indonesia Nomor 4161);
3. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
4. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 18 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PEMANTAUAN KUALITAS AIR
LIMBAH SECARA TERUS MENERUS DAN DALAM JARINGAN
BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Air Limbah adalah sisa dari suatu usaha dan/atau
kegiatan yang berwujud cair.
667
2. Sistem Pemantauan Kualitas Air Limbah secara Terus
Menerus dan Dalam Jaringan selanjutnya disebut
Sparing adalah sistem yang dipergunakan untuk
memantau, mencatat dan melaporkan kegiatan
pengukuran kadar suatu parameter dan/atau debit air
limbah secara otomatik, terus menerus dan dalam
jaringan.
3. Alat Pemantauan Air Limbah Terus Menerus dan Dalam
Jaringan selanjutnya disebut Alat Sparing adalah alat
yang dipergunakan untuk mengukur kadar suatu
parameter kualitas air limbah dan debit air limbah
melalui pengukuran dan pelaporan debit air limbah
secara otomatik, terus menerus dan dalam jaringan.
4. Baku Mutu Air Limbah adalah ukuran batas atau kadar
unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan
dibuang atau dilepas ke dalam media air dari suatu
usaha dan/atau kegiatan.
5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Pasal 2
(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam
melakukan pemantauan kualitas air limbah dan
pelaporan pelaksanaan pemantauan kualitas air limbah
wajib memasang dan mengoperasikan Sparing.
(2) Usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan memasang
dan mengoperasikan Sparing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. industri rayon;
b. industri pulp dan kertas;
c. industri kertas;
d. industri petrokimia hulu;
e. industri oleokimia dasar;
f. industri kelapa sawit;
g. industri kilang minyak;
668
h. eksplorasi dan produksi minyak dan gas;
i. pertambangan emas dan tembaga;
j. pertambangan batubara;
k. industri tekstil dengan debit lebih besar atau sama
dengan dari 1.000 (seribu) m3/hari;
l. pertambangan nikel;
m. industri pupuk; dan
n. kawasan industri.
Pasal 3
(1) Sparing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
meliputi:
a. Alat Sparing;
b. data logger yang mencatat, menyimpan dan
mengirim ke pusat data; dan
c. pusat data yang menerima dan mengolah data hasil
pemantauan kualitas air limbah.
(2) Mekanisme kerja Sparing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisah dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
Tahapan Sparing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) meliputi:
a. pemasangan Alat Sparing;
b. pengoperasian Sparing;
c. perhitungan beban pencemaran air; dan
d. pelaporan data pemantauan kualitas air limbah.
Pasal 5
(1) Pemasangan Alat Sparing sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a harus memenuhi ketentuan:
a. dipasang pada lokasi yang ditetapkan sebagai titik
penaatan;
b. digunakan untuk memantau parameter kualitas air
limbah tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
669
Menteri ini; dan
c. menggunakan spesifikasi teknis Alat Sparing paling
sedikit tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(2) Dalam hal titik penaatan lebih dari 1 (satu), Alat Sparing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipasang
pada titik penaatan yang memiliki beban terbesar
dan/atau menentukan salah satu titik dalam hal beban
sama besar.
Pasal 6
(1) Titik penaatan yang dipasang Alat Sparing wajib
dilengkapi dengan:
a. nama titik penaatan; dan
b. titik koordinat.
(2) Nama dan titik koordinat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan sebagai pengkodean dalam Sparing.
Pasal 7
Data hasil pengoperasian Sparing sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf b dianggap sahih apabila Sparing:
a. telah lulus uji konektivitas dengan pusat data yang
berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan;
b. dibangun sesuai dengan spesifikasi dan kelengkapan
yang disyaratkan dalam petunjuk operasional;
c. dioperasikan sesuai dengan instruksi kerja sebagaimana
tertulis dalam petunjuk operasional alat;
d. dioperasikan sesuai dengan jaminan mutu yang tertulis
dalam petunjuk operasional alat;
e. berfungsi dengan baik;
f. dilakukan pemantauan setiap 1 (satu) jam; dan
g. dihitung berdasarkan data rata-rata harian paling sedikit
85% (delapan puluh lima persen) atau 20 (dua puluh)
data hasil pembacaan yang sah.
670
Pasal 8
(1) Data hasil pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 wajib memenuhi baku mutu air limbah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi kondisi tidak normal, hasil
pemantauan kualitas air limbah dapat melebihi baku
mutu air limbah paling banyak 5% (lima persen) dari data
rata-rata harian pemantauan selama 1 (satu) bulan
berturut-turut.
(3) Kondisi tidak normal sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi:
a. penghentian sementara dan penyalaan kembali
operasi produksi;
b. kalibrasi peralatan; dan/atau
c. kondisi lain yang menyebabkan sparing tidak dapat
digunakan secara optimal.
(4) Dalam hal terdapat kadar suatu parameter di atas kadar
yang telah ditetapkan, penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan wajib melakukan perbaikan terhadap
sistem pengolahan air limbah.
(5) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
mendokumentasikan dan melaporkan kondisi tidak
normal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam
jangka waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
setelah terjadinya kondisi tidak normal kepada
bupati/wali kota setempat.
Pasal 9
(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
melakukan perawatan dan uji kelaikan Alat Sparing
secara periodik.
(2) Kalibrasi dari Alat Sparing dilakukan setiap bulan sekali
atau disesuaikan dengan persyaratan yang terdapat
dalam petunjuk operasional alat, serta dinyatakan telah
memenuhi persyaratan.
671
(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan melakukan
pencatatan dan pendokumentasian kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
(1) Selain kewajiban pengoperasian Sparing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pemantauan
kualitas air limbah secara manual terhadap:
a. parameter yang tidak dilakukan pemantauan
kualitas air limbah terus menerus;
b. titik penaatan yang tidak dipasang alat sparing; dan
c. parameter yang diwajibkan dalam pemantauan
kualitas air limbah terus menerus dalam hal Alat
Sparing mengalami kerusakan dan tidak dapat
digunakan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 3 (tiga) bulan.
(2) Pemantauan kualitas air limbah secara manual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b
dilakukan 1 (satu) bulan sekali.
(3) Pemantauan kualitas air limbah secara manual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan 1
(satu) minggu sekali.
(4) Pemantauan kualitas air limbah dengan cara manual
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh
laboratorium terakreditasi dan/atau teregistrasi di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pasal 11
(1) Hasil pemantauan kualitas air limbah secara terus
menerus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal
8, serta hasil pemantauan kualitas air limbah secara
manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib
dilakukan penghitungan beban pencemaran air.
(2) Tata cara perhitungan beban pencemaran sebagaimana
dimaksud ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
672
Pasal 12
(1) Laporan pemantauan kualitas air limbah secara terus
menerus meliputi:
a. angka kualitas air limbah setiap setiap 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) jam untuk parameter yang dipantau
secara terus menerus;
b. Angka beban pencemaran air setiap 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) jam untuk parameter yang dipantau
secara terus menerus;
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Menteri, gubernur, bupati/wali kota
melalui pusat data Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
(3) Rekapitulasi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaporkan setiap 1 (satu) bulan sekali melalui sistem
pelaporan dalam jaringan.
(4) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 13
Laporan pemantauan kualitas air limbah secara manual
dilakukan berdasarkan persyaratan dalam izin lingkungan
dan izin pembuangan air limbah.
Pasal 14
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memasang
Sparing paling lama 2 (dua) tahun setelah Peraturan Menteri
ini ditetapkan.
Pasal 15
(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, gubernur
dan bupati/wali kota wajib menyiapkan pusat data
pemantauan air limbah secara terus menerus.
(2) Pusat data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
673
a. desktop PC (Personal Computer) atau peralatan
setara yang mampu mengolah dan menyimpan data;
b. jaringan yang terhubung internet; dan c.
sumber daya manusia yang kompeten.
Pasal 16
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 September 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1236
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: P.95/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018
TENTANG
PERIZINAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
TERINTEGRASI DENGAN IZIN LINGKUNGAN MELALUI PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung percepatan dan peningkatan
penanaman modal dan berusaha, perlu menerapkan
pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara
elektronik pada sektor lingkungan hidup dan kehutanan,
khususnya bidang pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun;
b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum pelayanan
perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik di
bidang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun, perlu disusun standar operasional prosedur
dalam melakukan pemenuhan persyaratan teknis dan
pemenuhan komitmen oleh usaha dan/atau kegiatan;
c. bahwa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.22/MENLHK/SETJEN/
KUM.1/7/2018 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan
Kriteria Pelayanan Perizinan Terintegrasi Secara
684
Elektronik Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, perlu dijabarkan lebih lanjut mengenai
evaluasi persyaratan teknis dan pemenuhan komitmen
bidang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun oleh usaha dan/atau kegiatan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun Terintegrasi dengan Izin
Lingkungan melalui Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi secara Elektronik;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 333, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5617);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6215);
4. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang
Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Pelayanan
Perizinan Terintegrasi Secara Elektronik Lingkup
685
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 927);
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penilaian Serta Pemeriksaan
Dokumen Lingkungan Hidup Dalam Pelaksanaan
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 930);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PERIZINAN PENGELOLAAN LIMBAH
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN TERINTEGRASI
DENGAN IZIN LINGKUNGAN MELALUI PELAYANAN
PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA
ELEKTRONIK.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya
disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain
yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup,
dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lain.
2. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
3. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya
disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung B3.
4. Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi
pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau
penimbunan.
686
5. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau
Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS
adalah Perizinan Berusaha yang diberikan
menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali
kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang
terintegrasi.
6. Komitmen adalah pernyataan Pelaku Usaha untuk
memenuhi persyaratan Izin Usaha dan/atau Izin
Operasional.
7. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
wajib Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Upaya Pemanfaatan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) dalam
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan.
8. Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa adalah izin
yang diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan
usaha jasa mengumpulkan Limbah B3, memanfaatkan
Limbah B3, mengolah Limbah B3 dan/atau menimbun
Limbah B3.
9. Izin Operasional Pengelolaan Limbah B3 untuk Penghasil
Limbah B3 adalah izin yang diberikan kepada Pelaku
Usaha yang karena usaha dan/ atau kegiatannya
menghasilkan Limbah B3 dan melakukan pengelolaan
Limbah B3 berupa kegiatan penyimpanan Limbah B3,
pemanfaatan Limbah B3, pengolahan Limbah B3,
penimbunan Limbah B3 dan/atau dumping
(pembuangan) Limbah B3.
10. Pelaku Usaha adalah perseorangan atau non
perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
pada bidang tertentu.
11. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB
adalah identitas Pelaku Usaha yang diterbitkan oleh
Lembaga OSS setelah Pelaku Usaha melakukan
687
Pendaftaran.
12. Notifikasi adalah pemberitahuan terkait proses
pelaksanaan kegiatan pelaku usaha dalam pemenuhan
persyaratan atau penyelesaian pemenuhan komitmen Izin
Usaha dan Izin Komersial atau Operasional.
13. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang
selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga
pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman
modal.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
15. Direktur Jenderal adalah eselon I yang bertanggung jawab
di bidang Pengelolaan Limbah B3.
Pasal 2
(1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan
Limbah B3, pengumpulan Limbah B3, pengangkutan
Limbah B3, pemanfaatan Limbah B3, pengolahan Limbah
B3, penimbunan Limbah B3, dumping (pembuangan)
Limbah B3, dan impor Limbah nonB3 wajib memiliki:
a. Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa;
b. Izin Operasional Pengelolaan Limbah B3 untuk
Penghasil Limbah B3;
c. Rekomendasi pengelolaan Limbah B3 untuk
pengangkutan Limbah B3; dan/atau
d. Rekomendasi impor Limbah nonB3.
(2) Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan
untuk kegiatan:
a. pengumpulan Limbah B3;
b. pemanfaatan Limbah B3;
c. pengolahan Limbah B3; dan
d. penimbunan Limbah B3.
688
(3) Izin Operasional Pengelolaan Limbah B3 untuk Penghasil
Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
diberikan untuk kegiatan:
a. penyimpanan Limbah B3;
b. pemanfaatan Limbah B3;
c. pengolahan Limbah B3;
d. penimbunan Limbah B3; dan
e. dumping (pembuangan) Limbah B3.
Pasal 3
(1) Pelaku Usaha mengajukan permohonan perizinan dan
rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota
sesuai kewenangannya melalui Lembaga OSS.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Lembaga OSS menerbitkan dokumen:
a. NIB; dan
b. Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa
dan/atau Izin Operasional Pengelolaan Limbah B3
untuk Penghasil Limbah B3 dengan komitmen.
Pasal 4
(1) Pelaku Usaha yang telah memiliki NIB dan izin
Pengelolaan Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) mengajukan permohonan pemenuhan
komitmen kepada:
a. Menteri, untuk kegiatan:
1. pengumpulan Limbah B3 skala nasional;
2. pemanfaatan Limbah B3;
3. pengolahan Limbah B3;
4. penimbunan Limbah B3;
5. dumping (pembuangan) Limbah B3;
6. pengangkutan Limbah B3; dan
7. impor Limbah nonB3.
b. gubernur, untuk kegiatan Pengumpulan Limbah B3
skala provinsi; atau
689
c. bupati/wali kota, untuk kegiatan:
1. pengumpulan Limbah B3 skala
kabupaten/kota; dan
2. penyimpanan Limbah B3.
(2) Permohonan pemenuhan komitmen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
a. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2); dan
b. pernyataan pemenuhan komitmen.
(3) Pernyataan pemenuhan komitmen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilengkapi dengan
dokumen teknis yang berisi informasi mengenai
kewajiban pemenuhan persyaratan teknis meliputi:
a. keterangan tentang lokasi;
b. jenis Limbah B3 yang akan dikelola;
c. sumber, karakteristik, dan kode Limbah B3 yang
akan dikelola;
d. tata letak dan desain kontruksi lokasi dan/atau
bangunan Pengelolaan Limbah B3;
e. uji kualitas lingkungan;
f. uraian Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkan dari
proses Pengelolaan Limbah B3;
g. diagram alir proses Pengelolaan Limbah B3 yang
dilengkapi dengan keterangan dalam bentuk narasi;
h. jenis dan spesifikasi peralatan Pengelolaan Limbah
B3;
i. fasilitas pengendalian pencemaran apabila
menghasilkan polutan pencemar lingkungan;
j. perlengkapan sistem tanggap darurat;
k. tata letak saluran drainase untuk penyimpanan
Limbah B3 fasa cair;
l. asuransi pencemaran lingkungan hidup;
m. laboratorium analisis dan/atau alat analisis Limbah
B3;
n. laporan realisasi kegiatan Pengelolaan Limbah
B3; dan
690
o. izin Pengelolaan Limbah B3 yang dimiliki.
(4) Bagi Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan:
a. Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa dan
Izin Operasional Pengelolaan Limbah B3 untuk
Penghasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(3) dikecualikan terhadap kewajiban pemenuhan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf m dan huruf n; dan/atau
b. perpanjangan Izin Operasional Pengelolaan Limbah
B3 untuk Penghasil Limbah B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dikecualikan
terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf k dan
huruf l.
(5) Dalam hal Pelaku Usaha akan melakukan pemanfaatan
Limbah B3 sebagai:
a. substitusi bahan baku yang tidak memiliki standar
nasional Indonesia; dan
b. substitusi sumber energi,
wajib dilakukan uji coba Pemanfaatan Limbah B3 sebagai
bagian pemenuhan komitmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf k.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha akan melakukan pengolahan
Limbah B3 dengan cara:
a. termal; dan
b. cara lain sesuai perkembangan teknologi yang tidak
memiliki standar nasional Indonesia,
wajib dilakukan uji coba Pengolahan Limbah B3 sebagai
bagian pemenuhan komitmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf k.
(7) Dokumen permohonan pemenuhan komitmen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam
bentuk salinan cetak disertai dengan dokumen asli.
(8) Pernyataan pemenuhan komitmen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
691
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(1) Direktur Jenderal, kepala instansi lingkungan hidup
provinsi, dan kepala instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya
melakukan pengawasan terhadap pemenuhan komitmen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Pengawasan terhadap pemenuhan komitmen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tahapan:
a. validasi dokumen;
b. verifikasi; dan
c. penerbitan notifikasi.
Pasal 6
(1) Pengawasan terhadap pemenuhan komitmen Pengelolaan
Limbah B3 dilakukan dengan cara:
a. bersamaan dengan pengawasan pemenuhan
komitmen Izin Lingkungan; atau
b. tersendiri sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan pada tahapan validasi dokumen.
(3) Pengawasan terhadap pemenuhan komitmen Pengelolaan
Limbah B3 yang dilakukan bersamaan dengan
pengawasan pemenuhan komitmen Izin Lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
jika kewenangan penerbitan perizinan Pengelolaan
Limbah B3 dan Izin Lingkungan berada pada pejabat
penerbit izin yang sama.
(4) Pengawasan pemenuhan komitmen Pengelolaan Limbah
B3 dilakukan secara tersendiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, dilakukan dalam hal kewenangan
penerbitan perizinan Pengelolaan Limbah B3 dan Izin
692
Lingkungan berada pada lebih dari 1 (satu) pejabat
penerbit izin.
Pasal 7
(1) Validasi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) huruf a dilakukan untuk memastikan
kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Dalam hal validasi menyatakan permohonan:
a. lengkap dan benar, Direktur Jenderal, kepala
instansi lingkungan hidup provinsi, dan kepala
instansi lingkungan hidup kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya menerbitkan tanda bukti
validasi; atau
b. tidak lengkap atau tidak benar, Direktur Jenderal,
kepala instansi lingkungan hidup provinsi, dan
kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota
sesuai dengan kewenangannya menerbitkan tanda
bukti ketidaklengkapan dokumen.
(3) Terhadap permohonan yang dinyatakan tidak lengkap
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pelaku
Usaha dapat mengajukan permohonan kembali kepada
Direktur Jenderal, kepala instansi lingkungan hidup
provinsi, dan kepala instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Tanda bukti validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a disusun dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 8
(1) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan tanda bukti
validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf a, harus memenuhi komitmen sesuai dengan target
penyelesaian pemenuhan komitmen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b.
693
(2) Penyelesaian pemenuhan komitmen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun dalam bentuk laporan
yang disampaikan kepada Direktur Jenderal, kepala
instansi lingkungan hidup provinsi, atau instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Laporan penyelesaian pemenuhan komitmen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 9
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3),
Direktur Jenderal, kepala instansi lingkungan hidup
provinsi, dan kepala instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya
melakukan verifikasi pemenuhan komitmen.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk memastikan kesesuaian antara laporan
pemenuhan komitmen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) dengan kebenaran di lapangan.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
terhadap:
a. keterangan tentang lokasi;
b. jenis Limbah B3 yang akan dikelola;
c. sumber, karakteristik, dan kode Limbah B3 yang
akan dikelola;
d. tata letak dan desain kontruksi lokasi dan/atau
bangunan Pengelolaan Limbah B3;
e. uji kualitas lingkungan;
f. uraian Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkan dari
proses Pengelolaan Limbah B3;
g. diagram alir lengkap dan narasi proses Pengelolaan
Limbah B3;
694
h. jenis dan spesifikasi peralatan Pengelolaan Limbah
B3;
i. fasilitas pengendalian pencemaran apabila
menghasilkan polutan pencemar lingkungan;
j. perlengkapan sistem tanggap darurat;
k. tata letak saluran drainase untuk penyimpanan
Limbah B3 fasa cair; dan
l. laboratorium analisis dan/atau alat analisis Limbah
B3.
(4) Hasil verifikasi disusun dalam bentuk berita acara yang
berisi informasi:
a. komitmen terpenuhi; atau
b. komitmen tidak terpenuhi.
(5) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disusun dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 10
(1) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (4), Direktur Jenderal, kepala instansi
lingkungan hidup provinsi, dan kepala instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya menerbitkan:
a. surat rekomendasi telah terpenuhinya
komitmen; atau
b. surat rekomendasi belum terpenuhinya komitmen
disertai alasan.
(2) Surat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya paling lama 5 (lima)
hari kerja sejak verifikasi lapangan selesai dilaksanakan.
Pasal 11
(1) Berdasarkan surat rekomendasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1), Menteri, gubernur, dan
695
bupati/wali kota menerbitkan:
a. surat pernyataan telah terpenuhinya komitmen; atau
b. surat pernyataan belum terpenuhinya komitmen.
(2) Surat pernyataan telah terpenuhinya komitmen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berisi
informasi mengenai:
a. kesesuaian fasilitas Pengelolaan Limbah B3;
b. kapasitas fasilitas Pengelolaan Limbah B3;
c. prosedur, metode dan teknologi Pengelolaan Limbah
B3;
d. jenis izin dan/atau rekomendasi Pengelolaan Limbah
B3;
e. kewajiban dan larangan pemegang Izin;
f. masa berlaku izin; dan
g. standar/baku mutu lingkungan yang wajib dipenuhi.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan bersamaan dengan penerbitan:
a. Notifikasi persetujuan; atau
b. Notifikasi penolakan, disertai dengan alasan
penolakan.
Pasal 12
(1) Surat pernyataan dan Notifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 disampaikan oleh Menteri, gubernur, dan
bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya kepada:
a. Pelaku Usaha, untuk surat pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); dan
b. Lembaga OSS, untuk Notifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) secara daring pada
laman http://oss.go.id.
(2) Surat pernyataan dan Notifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun dengan menggunakan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
696
Pasal 13
Penerbitan dan penyampaian surat pernyataan dan Notifikasi
sebagaimana dimaksud Pasal 11 dan Pasal 12 dilakukan
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak surat rekomendasi telah
terpenuhinya komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf a diterima.
Pasal 14
(1) Berdasarkan Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3), Lembaga OSS menerbitkan:
a. pernyataan definitif Izin Pengelolaan Limbah B3
untuk Usaha Jasa dan/atau Izin Operasional
Pengelolaan Limbah B3 untuk Penghasil Limbah B3;
atau
b. pembatalan permohonan Izin Pengelolaan Limbah B3
untuk Usaha Jasa dan/atau Izin Operasional
Pengelolaan Limbah B3 untuk Penghasil Limbah B3.
(2) Pelaku Usaha yang mendapatkan pembatalan
permohonan Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha
Jasa dan/atau Izin Operasional Pengelolaan Limbah B3
untuk Penghasil Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, dapat mengajukan permohonan kembali.
Pasal 15
Dalam hal Pelaku Usaha akan melakukan perubahan
pengelolaan Limbah B3 yang kegiatannya belum terlingkup di
dalam Izin Lingkungannya, harus melakukan perubahan Izin
Lingkungan yang dimiliki sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 16
Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Pengelolaan
Limbah B3 untuk Usaha Jasadan/atau Izin Operasional
Pengelolaan Limbah B3 untuk Penghasil Limbah B3 wajib
menaati kewajiban dan larangan yang tercantum dalam surat
pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
huruf e.
697
Pasal 17
(1) Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota melakukan
pengawasan ketaatan Pelaku Usaha terhadap penaatan
kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Izin
Operasional Pengelolaan Limbah B3 untuk Penghasil
Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
berlaku selama:
a. 1 (satu) tahun untuk kegiatan dumping
(pembuangan) Limbah B3;
b. 5 (lima) tahun untuk kegiatan:
1. penyimpanan Limbah B3;
2. pengumpulan Limbah B3;
3. pemanfaatan Limbah B3; dan
4. pengolahan Limbah B3;
dan
c. 10 (sepuluh) tahun untuk kegiatan penimbunan
Limbah B3.
(2) Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa dan Izin
Operasional Pengelolaan Limbah B3 untuk Penghasil
Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang.
(3) Permohonan perpanjangan diajukan paling lama 60
(enam puluh) hari sebelum masa Izin Pengelolaan Limbah
B3 untuk Usaha Jasa dan Izin Operasional Pengelolaan
Limbah B3 untuk Penghasil Limbah B3 berakhir.
698
Pasal 19
(1) Pelaku Usaha wajib mengajukan permohonan perubahan
Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa dan Izin
Operasional Pengelolaan Limbah B3 untuk Penghasil
Limbah B3 melalui Lembaga OSS, dalam hal terjadi
perubahan pada:
a. nama dan karakteristik Limbah B3;
b. desain teknologi, metode, proses, kapasitas Limbah
B3; dan/atau
c. bahan baku atau bahan penolong berupa Limbah B3.
(2) Permohonan perubahan Izin Pengelolaan Limbah B3
untuk Usaha Jasa dan Izin Operasional Pengelolaan
Limbah B3 untuk Penghasil Limbah B3 dilengkapi dengan
data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Perubahan Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa
dan Izin Operasional Pengelolaan Limbah B3 untuk
Penghasil Limbah B3 tidak mengubah masa berlaku izin.
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, permohonan
Perizinan di bidang Pengelolaan Limbah B3 yang telah
diajukan oleh Pelaku Usaha sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, dan belum
diterbitkan Izinnya, diproses melalui sistem OSS sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 21
Permohonan Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk Usaha Jasa
dan Izin Operasional Pengelolaan Limbah B3 untuk Penghasil
Limbah B3 yang telah selesai dilakukan verifikasi terhadap
persyaratan teknis sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi, diproses melalui sistem OSS tanpa perlu
dilakukan verifikasi kembali.
699
Pasal 22
(1) Permohonan perizinan di bidang Pengelolaan Limbah B3
pada sektor yang dikecualikan dari pelaksanaan reformasi
peraturan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 86 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi, dilakukan di luar sistem OSS mengikuti
ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang
pengelolaan Limbah B3.
(2) Permohonan perizinan di luar sistem OSS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sepanjang tidak ada
perubahan kebijakan tentang:
a. sektor yang dikecualikan dari pelaksanaan reformasi
peraturan perizinan berusaha berdasarkan hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018
tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi; atau
b. jenis perizinan berusaha yang dilaksanakan melalui
OSS sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi.
Pasal 23
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 333, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5617) yang mengatur pelayanan perizinan
berusaha di bidang Pengelolaan Limbah B3, dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 24
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
700
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 November 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1699
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM
ttd.
KRISNA RYA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.99/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN NOMOR P.53/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2016 TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM ADIPURA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan kabupaten/kota
yang bersih, teduh dan berkelanjutan, perlu
dilaksanakan program Adipura di kabupaten/kota;
b. bahwa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.53/Menlhk/Setjen/
Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Adipura sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan penilaian kinerja Pemerintah Daerah
sehingga perlu dilakukan perubahan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan tentang perubahan atas Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.53/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Adipura;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3888), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 86);
2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran
Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan
Kebakaran Hutan dan/atau Lahan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002
tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 188,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5347);
12. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha
dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 408);
13. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan
Reduce, Reuse, dan Recycle melalui Bank Sampah
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 804);
14. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.53/Menlhk/Setjen/
Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Adipura (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 1049);
15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.18/Menlhk-II/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 713);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR
P.53/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2016 TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM ADIPURA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.53/Menlhk/Setjen/
Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Adipura (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 1049), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Pemantauan di bidang pengendalian pencemaran udara
dilaksanakan melalui kegiatan pengukuran dan
pengujian selama 10 (sepuluh) hari pada 3 (tiga) lokasi di
setiap kota.
2. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 51 diubah,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51
(1) Dalam hal hasil penggabungan penilaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
menunjukan:
a. nilai total < 73 (kurang dari tujuh puluh tiga),
untuk semua kategori kabupaten/kota;
dan/atau
b. nilai TPA < 71 (kurang dari tujuh puluh satu),
kabupaten/kota tidak dapat diusulkan untuk
mendapatkan penghargaan Adipura.
(2) Penentuan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b dapat diubah dengan
memperhatikan peningkatan kinerja lingkungan
pemerintah daerah dalam periode 3 (tiga) tahun
pelaksanaan Program Adipura.
(3) Penentuan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh Menteri.
3. Ketentuan ayat (2) Pasal 57 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 57
(1) Menteri menetapkan peraih penghargaan Adipura
dan jenis penghargaan Adipura berdasarkan hasil
pemeringkatan akhir.
(2) Jenis penghargaan Adipura sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari:
a. Adipura Kencana;
b. Adipura;
c. Sertifikat Adipura; dan
d. Plakat Adipura.
4. Judul paragraf 2 Adipura Paripurna diubah, sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Paragraf 2
Adipura Kencana
5. Ketentuan ayat (1) Pasal 58 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 58
(1) Adipura Kencana diberikan kepada kabupaten/kota
yang memenuhi syarat sebagai wilayah
berkelanjutan.
(2) Syarat kabupaten/kota berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. telah mendapat anugerah Adipura 3 (tiga) kali
berturut-turut dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun terakhir atau telah mendapat anugerah
Adipura Kencana pada periode terakhir;
b. menempati peringkat 5 (lima) besar untuk kota
metropolitan dan kota besar, dan menempati
peringkat 10 (sepuluh) besar untuk kota
sedang dan kota kecil;
c. nilai seluruh lokasi capaian kinerja ≥ 71 (lebih
dari atau sama dengan tujuh puluh satu);
d. mampu mengolah sampah paling sedikit 15%
(lima belas persen) dari total timbulan sampah;
e. tidak mengoperasikan tempat pemrosesan
akhir dengan sistem pembuangan terbuka;
f. memiliki fasilitas pemanfaatan energi dari
sampah;
g. memiliki izin lingkungan untuk tempat
pemrosesan akhir sampah sesuai Peraturan
Perundang-undangan di bidang izin
lingkungan;
h. memenuhi luasan ruang terbuka hijau sebesar
30% (tiga puluh persen) dari luasan wilayah;
i. memiliki taman keanekaragaman hayati;
j. memiliki instalasi pengolahan air limbah
domestik komunal;
k. memiliki jalur sepeda;
l. memiliki moda transportasi massal;
m. memiliki program kegiatan tanpa kendaraan
bermotor;
n. memiliki program kampung iklim;
o. menggunakan sel surya untuk sumber energi
pada penerangan jalan umum, penerangan
taman, dan/atau lampu pengatur lalu lintas;
p. melakukan inventarisasi gas rumah kaca; dan
q. menerapkan kebijakan pengurangan
penggunaan kantong plastik.
6. Paragraf 3 Adipura Kirana dihapus.
7. Ketentuan Pasal 59 dihapus.
8. Paragraf 4 Adipura Buana diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Paragraf 3
Adipura
9. Ketentuan Pasal 60 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
Adipura diberikan kepada kabupaten/kota yang
memenuhi syarat sebagai kabupaten/kota yang memiliki
kinerja pengelolaan lingkungan yang baik,
menggabungkan unsur sosial, ekonomi, dan lingkungan
untuk membentuk wilayah layak huni yang tercermin
dari masyarakat kabupaten/kota yang peduli
lingkungan.
10. Paragraf 5 Bhakti Adipura dihapus.
11. Ketentuan Pasal 61 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 62 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 62
Syarat kinerja pengelolaan lingkungan yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 meliputi:
a. nilai Adipura memenuhi nilai batas bawah yang
ditetapkan oleh Menteri;
b. telah menyusun kebijakan dan strategi daerah
pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah
sejenis sampah rumah tangga, berdasarkan
ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.10/MENLHK/SETJEN/
PLB.0/4/2018 tentang Pedoman Penyusunan
Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga;
c. tidak mengoperasikan tempat pemrosesan akhir
dengan sistem pembuangan terbuka;
d. tidak terjadi pembakaran hutan dan lahan; dan
e. tidak terjadi kasus akibat pertambangan.
13. Ketentuan ayat (3) huruf a Pasal 64 diubah, sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64
(1) Plakat Adipura diberikan kepada kabupaten/kota
yang memenuhi syarat sebagai kabupaten/kota
yang memiliki lokasi dengan nilai terbaik.
(2) Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pasar;
b. terminal;
c. taman kota;
d. hutan kota; dan
e. tempat pemrosesan akhir.
(3) Syarat kabupaten/kota yang memiliki lokasi dengan
nilai terbaik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bukan peraih anugerah Adipura Kencana pada
periode berjalan; dan
b. memiliki nilai lokasi paling tinggi untuk setiap
kategori fungsional kota.
14. Paragraf 1 Adipura Paripurna diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Paragraf 1
Adipura Kencana
15. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 65 diubah,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65
(1) Dewan Pertimbangan Adipura bersama Tim Teknis
melakukan evaluasi terhadap kabupaten/kota yang
memenuhi syarat mendapatkan Adipura Kencana
melalui mekanisme presentasi dan wawancara
dengan bupati/wali kota.
(2) Kabupaten/kota yang melakukan presentasi dan
wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
setelah melalui evaluasi Adipura.
(3) Syarat untuk mendapatkan penghargaan Adipura
Kencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. telah mendapatkan anugerah Adipura 3 (tiga)
kali berturut-turut dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun terakhir atau telah mendapat anugerah
Adipura Kencana pada periode terakhir;
b. menempati peringkat 5 (lima) besar untuk kota
metropolitan dan besar, dan menempati
peringkat 10 (sepuluh) besar untuk kota
sedang dan kota kecil;
c. nilai seluruh lokasi capaian kinerja ≥ 71 (lebih
dari atau sama dengan tujuh puluh satu);
d. mampu mengolah sampah paling sedikit 15%
(lima belas persen) total timbulan sampah; dan
e. tidak mengoperasikan tempat pemrosesan
akhir sampah dengan sistem pembuangan
terbuka.
16. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 66 diubah,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 66
(1) Terhadap kabupaten/kota yang dinominasikan
untuk menerima penghargaan Adipura Paripurna
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 wajib
mengisi formulir isian Adipura Kencana yang
dilengkapi dengan dokumen:
a. lembar pernyataan yang ditandatangani oleh
bupati/wali kota; dan
b. lampiran data pendukung dalam bentuk
salinan cetak dan/atau salinan digital.
(2) Bupati/wali kota menyerahkan formulir isian dan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Menteri melalui Sekretariat Adipura
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah formulir isian
Adipura Kencana diterima.
(3) Formulir isian Adipura Kencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran
IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
17. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 67 diubah,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 67
(1) Tim Teknis dapat melakukan verifikasi
kabupaten/kota nominasi peraih Adipura Kencana
berdasarkan dokumen yang disampaikan
bupati/wali kota kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2).
(2) Hasil verifikasi kabupaten/kota nominasi peraih
Adipura Kencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dievaluasi untuk dijadikan dasar penetapan
peraih Adipura Kencana.
18. Paragraf 2 Adipura Kirana dihapus.
19. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
20. Paragraf 3 Adipura Buana diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Paragraf 2
Adipura
21. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 69 diubah,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69
(1) Sekretariat Adipura mengusulkan kabupaten/kota
yang memenuhi syarat mendapatkan Adipura
kepada Tim Teknis setelah dilakukan pemantauan.
(2) Tim Teknis melakukan evaluasi terhadap
kabupaten/kota yang memenuhi syarat
mendapatkan Adipura sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
22. Ketentuan Pasal 70 dihapus.
23. Ketentuan Pasal 77 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
Menteri mengembangkan, menerapkan, dan
mengevaluasi mekanisme insentif kepada
kabupaten/kota yang meraih penghargaan Adipura
Kencana dan Adipura.
24. Ketentuan Pasal 78 ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(2), sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 78
(1) Menteri dapat mengembangkan, menerapkan, dan
mengevaluasi mekanisme disinsentif kepada
kabupaten/kota yang memiliki nilai Adipura dengan
kategori paling rendah dan/atau nilai Adipura
paling rendah untuk setiap kategori fungsional kota.
(2) Mekanisme disinsentif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. publikasi kabupaten/kota dengan nilai Adipura
paling rendah;
b. publikasi pengelolaan TPA dan/atau TPA
Regional paling buruk; dan/atau
c. tidak diprioritaskan dalam pengusulan
kabupaten/kota untuk mendapatkan dana
alokasi khusus lingkungan hidup sub bidang
persampahan.
25. Lampiran II diubah sehingga berbunyi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
26. Lampiran III diubah sehingga berbunyi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
27. Lampiran IV diubah sehingga berbunyi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
28. Lampiran XIV dihapus.
29. Lampiran XV dihapus.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Oktober
2017.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 November 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1708
Salinan sesuai dengan aslinya,
KEPALA BIRO HUKUM,
ttd.
KRISNA RYA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.101/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018
TENTANG
PEDOMAN PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 215 ayat (2) dan
Pasal 216 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang Pedoman Pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 333, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5617);
3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/Menhut-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN PEMULIHAN LAHAN
TERKONTAMINASI LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN
BERACUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya
disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen
lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup
dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan
serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lain.
2. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
3. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya
disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung B3.
4. Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup adalah serangkaian
kegiatan penanganan lahan terkontaminasi yang meliputi
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pemantauan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup
yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan hidup
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
5. Lahan Terkontaminasi Limbah B3 adalah lahan yang
terpapar Limbah B3 dan/atau lahan yang berdasarkan
hasil uji karakteristik terhadap sampel tanah dari lahan
tersebut menunjukkan bahwa lahan tersebut
mengandung zat kontaminan yang dikategorikan Limbah
B3.
6. Keberhasilan Pemulihan adalah target sasaran yang
dicapai dalam pemulihan fungsi lingkungan hidup pada
lahan terkontaminasi Limbah B3.
7. Pasca Pemulihan adalah tahapan kegiatan setelah
seluruh tahapan pemulihan lahan terkontaminasi
Limbah B3 diselesaikan.
8. Persetujuan Rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan
Hidup adalah keputusan yang berisi persetujuan atas
dokumen rencana pemulihan fungsi lingkungan hidup
pada lahan terkontaminasi Limbah B3.
9. Penetapan Status Telah Selesainya Pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 adalah keputusan yang berisi
pernyataan telah selesainya kegiatan pemulihan fungsi
lingkungan hidup pada lahan terkontaminasi Limbah B3.
10. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
11. Pengumpul Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pengumpulan Limbah B3 sebelum
dikirim ke tempat pengolahan Limbah B3, pemanfaatan
Limbah B3, dan/atau penimbunan Limbah B3.
12. Pengangkut Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pengangkutan Limbah B3.
13. Pemanfaat Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pemanfaatan Limbah B3.
14. Pengolah Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pengolahan Limbah B3.
15. Penimbun Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan penimbunan Limbah B3.
16. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang,
menempatkan, dan/atau memasukan Limbah dan/atau
bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi
tertentu dengan persyaratan tertentu ke media
lingkungan hidup tertentu.
17. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disingkat PPLH adalah pegawai negeri sipil yang diberi
tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawab untuk
melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan hidup
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
18. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang
selanjutnya disingkat PPLHD adalah pegawai negeri sipil
di daerah yang diberi tugas, wewenang, kewajiban dan
tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan
pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
20. Direktur Jenderal adalah eselon I yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan Limbah B3.
BAB II
PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Pasal 2
Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul
Limbah B3, Pengangkut Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3,
Pengolah Limbah B3, Penimbun Limbah B3 dan/atau yang
melakukan Dumping (pembuangan) Limbah B3 yang
menyebabkan pencemaran lingkungan hidup dan/atau
perusakan lingkungan hidup pada lahan, wajib melaksanakan
pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3.
Pasal 3
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan tahapan:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan;
c. pemantauan;
d. evaluasi; dan
e. pemantauan Pasca Pemulihan.
Pasal 4
Tahap perencanaan pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah
B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari:
a. pengumpulan data dan informasi; dan
b. penyusunan dokumen rencana Pemulihan Fungsi
Lingkungan Hidup.
Pasal 5
(1) Pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf a dilakukan melalui survei
lapangan.
(2) Survei lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk menentukan:
a. kronologis terjadinya Lahan Terkontaminasi
Limbah B3;
b. pemetaan sebaran Lahan Terkontaminasi Limbah
B3 baik di permukaan maupun di bawah
permukaan tanah;
c. sumber kontaminasi;
d. identifikasi jenis Limbah B3;
e. identifikasi zat kontaminan;
f. skala kontaminasi; dan
g. analisis karakteristik, jalur, besar dan frekuensi
paparan Limbah B3.
Pasal 6
(1) Pemetaan sebaran Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b
dilakukan dengan cara:
a. pengambilan dan pengujian sampel tanah, air
dan/atau air tanah secara sistematis;
b. menggunakan metode geofisika sesuai dengan
standar ilmiah yang dikonfirmasi dengan
pengambilan dan pengujian sampel sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
c. menggunakan metode radionuklida; dan/atau
d. menggunakan metode lain sesuai perkembangan
teknologi paling mutakhir.
(2) Hasil pemetaan sebaran lahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk peta sesuai
dengan kaidah kartografis.
Pasal 7
(1) Identifikasi zat kontaminan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e untuk tanah
terkontaminasi dilakukan dengan melakukan uji
karakteristik beracun melalui prosedur pelindian (Toxicity
Characteristic Leaching Procedure/TCLP) dan analisis
total konsentrasi zat kontaminan.
(2) Nilai baku untuk identifikasi zat kontaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan nilai baku sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini, dengan ketentuan:
a. jika konsentrasi zat kontaminan lebih besar dari
TCLP-A dan/atau total konsentrasi A, tanah pada
Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dimaksud wajib
dikelola sesuai dengan pengelolaan Limbah B3
kategori 1;
b. jika konsentrasi zat kontaminan sama dengan atau
lebih kecil dari TCLP-A dan/atau total konsentrasi A
dan lebih besar dari TCLP-B dan/atau total
konsentrasi B, tanah pada Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 wajib dikelola sesuai dengan pengelolaan
Limbah B3 kategori 2;
c. jika konsentrasi zat kontaminan sama dengan atau
lebih kecil dari TCLP-B dan/atau total konsentrasi B
dan lebih besar dari TCLP-C dan/atau total
konsentrasi C, tanah pada Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 wajib dikelola sesuai dengan pengelolaan
Limbah nonB3; dan
d. jika konsentrasi zat kontaminan sama dengan atau
lebih kecil dari TCLP-C dan total konsentrasi C,
tanah pada Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dapat
digunakan sebagai tanah pelapis dasar.
(3) Identifikasi zat kontaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan terhadap parameter kunci yang relevan
dari usaha dan/atau kegiatan yang diduga menjadi
sumber kontaminan.
Pasal 8
Penentuan skala kontaminasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf f dilakukan dengan kriteria:
a. skala kecil, jika:
1. luas lahan kontaminasi < 9 m2 (kurang dari atau
sama dengan sembilan meter persegi);
2. kedalaman lahan kontaminasi < 1,5 m (kurang dari
atau sama dengan satu setengah meter); dan
3. jenis Limbah B3 termasuk dalam kategori 2 atau
hasil uji identifikasi zat kontaminan menunjukan
tanah terkontaminasi wajib dikelola sesuai dengan
pengelolaan Limbah B3 kategori 2.
b. skala besar, jika Lahan Terkontaminasi Limbah B3
memenuhi kriteria selain sebagaimana dimaksud pada
huruf a.
Pasal 9
(1) Hasil pengumpulan data dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8
dijadikan dasar penyusunan dokumen rencana
Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup.
(2) Dalam hal Lahan Terkontaminasi Limbah B3 masuk ke
dalam kategori skala kecil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a, dokumen rencana Pemulihan Fungsi
Lingkungan Hidup disusun dengan memuat informasi:
a. identitas penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan;
b. kronologis terjadinya kontaminasi Limbah B3;
c. deskripsi Lahan Terkontaminasi Limbah B3;
d. skala kontaminasi;
e. sebaran dampak;
f. metode pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah
B3; dan
g. usulan target waktu penyelesaian pemulihan.
(3) Dalam hal Lahan Terkontaminasi Limbah B3 masuk ke
dalam kategori skala besar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf b, dokumen rencana Pemulihan Fungsi
Lingkungan Hidup disusun dengan memuat informasi:
a. identitas penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan;
b. hasil pengumpulan data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
c. peta lokasi titik uji yang telah dilakukan dan/atau
yang akan diusulkan;
d. kriteria dan nilai-nilai parameter target Keberhasilan
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3;
e. luas dan kedalaman Lahan Terkontaminasi Limbah
B3;
f. estimasi berat tanah terkontaminasi Limbah B3
untuk Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dengan
kategori skala besar;
g. metode pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah
B3, termasuk deskripsi dan studi kelayakan
teknologi pengelolaan yang digunakan;
h. tahapan Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup yang
mencakup rencana kerja kegiatan pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 secara keseluruhan
dilengkapi jadwal waktu;
i. usulan target waktu penyelesaian pemulihan; dan
j. rencana pemantauan kualitas lingkungan Pasca
Pemulihan.
Pasal 10
(1) Metode pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf f
dan ayat (3) huruf e meliputi upaya pengelolaan
kontaminan menggunakan proses kimia, fisika, biologi
dan/atau cara lain sesuai perkembangan teknologi.
(2) Metode pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan:
a. di luar lokasi, dengan memindahkan media
lingkungan yang terkontaminasi; dan/atau
b. pada lokasi, tanpa memindahkan media lingkungan
yang terkontaminasi.
(3) Dalam hal metode pemulihan diterapkan di luar lokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tanah pada
Lahan Terkontaminasi Limbah B3 wajib diberikan kode
dalam manifes dan logbook, dengan ketentuan:
a. K1, jika terdapat salah satu parameter pada tanah
terkontaminasi Limbah B3 yang masuk pengelolaan
Limbah B3 kategori 1;
b. K2, jika terdapat salah satu parameter pada tanah
terkontaminasi Limbah B3 dengan konsentrasi zat
kontaminan yang masuk dalam pengelolaan Limbah
B3 kategori 2; dan
c. K3, jika terdapat salah satu parameter pada tanah
terkontaminasi Limbah B3 dengan konsentrasi zat
kontaminan lebih besar dari konsentrasi parameter
yang sama pada titik referensi.
(4) Dalam hal jenis Limbah B3 telah diketahui, pemberian
kode Limbah B3 dilakukan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pasal 11
Dokumen rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3)
disusun dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 12
(1) Dokumen rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat
(3) harus mendapatkan persetujuan Menteri.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaksana pemulihan mengajukan
permohonan kepada Menteri dilengkapi dengan:
a. identitas pemohon; dan
b. dokumen rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan
Hidup.
Pasal 13
(1) Menteri menugaskan Direktur Jenderal untuk
melakukan penilaian dokumen rencana Pemulihan
Fungsi Lingkungan Hidup terhadap permohonan
persetujuan dokumen rencana Pemulihan Fungsi
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Penilaian dokumen rencana pemulihan Fungsi
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara:
a. kaji ulang dokumen; dan/atau
b. inspeksi lapangan atas Lahan Terkontaminasi
Limbah B3.
(3) Kaji ulang dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dilakukan untuk menilai:
a. kesesuaian muatan dokumen rencana Pemulihan
Fungsi Lingkungan Hidup terhadap seluruh aspek
yang wajib disampaikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3); dan
b. kelayakan rencana pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 yang diusulkan dapat
diterima dan memungkinkan untuk dilakukan
berdasarkan pertimbangan teknis dan ilmiah.
(4) Dalam hal hasil penilaian dokumen rencana Pemulihan
Fungsi Lingkungan Hidup:
a. disetujui, Direktur Jenderal merekomendasikan
penerbitan Persetujuan Rencana Pemulihan Fungsi
Lingkungan Hidup kepada Menteri; atau
b. tidak disetujui, Direktur Jenderal mengembalikan
dokumen rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan
Hidup kepada pemohon untuk diperbaiki, paling
lama 7 (tujuh) hari kerja sejak rekomendasi
perbaikan dikeluarkan.
(5) Persetujuan Rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a
paling sedikit berisi:
a. identitas penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan;
b. dasar pertimbangan persetujuan;
c. peta dan koordinat lokasi Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 yang akan dipulihkan;
d. luas dan kedalaman Lahan Terkontaminasi Limbah
B3;
e. estimasi berat tanah terkontaminasi Limbah B3
untuk Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dengan
kategori skala besar;
f. pernyataan persetujuan rencana pemulihan;
g. kriteria dan nilai-nilai parameter target Keberhasilan
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3;
h. metode pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah
B3;
i. target waktu penyelesaian pemulihan yang disetujui;
dan
j. persyaratan, kewajiban dan larangan yang
ditetapkan dalam melakukan pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3.
(6) Menteri menerbitkan Persetujuan Rencana Pemulihan
Fungsi Lingkungan Hidup berdasarkan rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a paling lama
7 (tujuh) hari kerja sejak rekomendasi diterima.
Pasal 14
Jangka waktu penilaian dokumen rencana Pemulihan Fungsi
Lingkupan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1), tidak termasuk jangka waktu yang diperlukan
pemohon/pelaksana pemulihan untuk memperbaiki dokumen
Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup.
Pasal 15
(1) Rencana pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
yang telah disetujui dalam Persetujuan Rencana
Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) huruf a, menjadi dasar
pelaksanaan pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah
B3.
(2) Terhadap pelaksanaan pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan pemantauan.
Pasal 16
(1) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(2) dilakukan dengan cara:
a. verifikasi hasil pemetaan sebaran Lahan
Terkontaminasi Limbah B3;
b. kesesuaian pelaksanaan pemulihan dengan jadwal
dan target waktu penyelesaian pemulihan; dan
c. identifikasi keberhasilan dan/atau kendala dalam
aplikasi metode pemulihan.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan
selama pelaksanaan pemulihan.
(3) Terhadap hasil pemantauan pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan evaluasi.
Pasal 17
(1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3)
dilakukan terhadap:
a. Keberhasilan Pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3; dan
b. pemenuhan target waktu penyelesaian pemulihan
sebagaimana ditetapkan dalam dokumen rencana
Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup.
(2) Tata cara penentuan Keberhasilan Pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 18
(1) Hasil pemantauan dan evaluasi pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan Pasal 17 disusun dalam bentuk
laporan dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan sampai dengan
jangka waktu penyelesaian pemulihan.
Pasal 19
(1) Pelaksana pemulihan dapat melakukan perubahan
rencana pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
dalam hal hasil evaluasi menunjukan target penyelesaian
pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf b tidak tercapai.
(2) Perubahan rencana pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapatkan persetujuan Menteri.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pelaksana pemulihan mengajukan
permohonan kepada Menteri dilengkapi dengan:
a. laporan hasil evaluasi pelaksanaan pemulihan
Lahan Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2); dan
b. dokumen perubahan rencana pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3.
Pasal 20
(1) Menteri menugaskan Direktur Jenderal untuk
melakukan penilaian dokumen perubahan rencana
pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 terhadap
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(3).
(2) Penilaian dokumen perubahan rencana pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat
(3).
(3) Dalam hal hasil penilaian dokumen perubahan rencana
pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
a. disetujui, Direktur Jenderal merekomendasikan
penerbitan perubahan Persetujuan Rencana
Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup kepada
Menteri; atau
b. tidak disetujui, Direktur Jenderal menerbitkan surat
penolakan perubahan Persetujuan Rencana
Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup.
(4) Perubahan Persetujuan Rencana Pemulihan Fungsi
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a paling sedikit berisi:
a. identitas penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan;
b. dasar pertimbangan perubahan persetujuan;
c. kriteria dan nilai-nilai parameter target Keberhasilan
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3;
d. metode pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah
B3;
e. target waktu penyelesaian pemulihan yang disetujui;
dan
f. persyaratan, kewajiban dan larangan yang
ditetapkan dalam melakukan pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3
(5) Menteri menerbitkan persetujuan perubahan Rencana
Pemulihan berdasarkan rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a paling lama 7 (tujuh) hari
kerja sejak rekomendasi diterima.
(6) Dalam hal perubahan rencana pemulihan tidak disetujui,
pelaksana pemulihan melanjutkan pemulihan sesuai
dengan dokumen rencana pemulihan yang telah disetujui
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).
Pasal 21
Laporan pelaksanaan pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2),
Menteri menugaskan Direktur Jenderal melakukan:
a. supervisi ; dan
b. evaluasi.
Pasal 22
Supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a
dilakukan terhadap:
a. pengambilan sampel sebelum dan setelah dilakukannya
pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3;
b. kegiatan pembersihan lahan dan pengelolaan tanah pada
Lahan Terkontaminasi Limbah B3;
c. pengiriman tanah dari terkontaminasi Limbah B3 kepada
jasa pengelola Limbah B3 yang memiliki izin Pengelolaan
Limbah B3 untuk kegiatan Pengangkutan Limbah B3;
dan
d. penerimaan tanah dari Lahan Terkontaminasi Limbah B3
oleh jasa pengelola Limbah B3 yang memiliki izin
Pengelolaan Limbah B3, untuk pelaksanaan pemulihan
di luar lokasi Lahan Terkontaminasi Limbah B3.
Pasal 23
(1) Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b
dilakukan terhadap:
a. Keberhasilan Pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3;
b. pemenuhan target waktu penyelesaian pemulihan
sebagaimana ditetapkan dalam Persetujuan Rencana
Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup; dan
c. pemenuhan ketentuan dalam Persetujuan Rencana
Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup.
(2) Tata cara penentuan Keberhasilan Pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 24
(1) Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan
hingga memperoleh Penetapan Status Telah Selesainya
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dari
Menteri.
(2) Untuk memperoleh Penetapan Status Telah Selesainya
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dari
Menteri, pelaksana pemulihan harus mengajukan
permohonan secara tertulis.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilengkapi dengan:
a. identitas pemohon; dan
b. laporan akhir pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3.
(4) Laporan akhir pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah
B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling
sedikit memuat rincian pelaksanaan pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3.
Pasal 25
(1) Menteri setelah menerima permohonan Penetapan Status
Telah Selesainya Pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(2) memberikan pernyataan tertulis mengenai
kelengkapan administratif permohonan paling lama 2
(dua) hari kerja sejak permohonan diterima.
(2) Setelah permohonan dinyatakan lengkap, Menteri
menugaskan Direktur Jenderal melakukan verifikasi
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menunjukkan:
a. Keberhasilan Pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 telah dipenuhi, Direktur Jenderal
merekomendasikan kepada Menteri untuk
menerbitkan Penetapan Status Telah Selesainya
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3; atau
b. keberhasilan tidak dapat dicapai, Direktur Jenderal
memerintahkan kepada pelaksana pemulihan untuk
melakukan pembersihan ulang dan mengevaluasi
rencana pemulihan.
(4) Menteri menerbitkan Penetapan Status Telah Selesainya
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 paling lama
7 (tujuh) hari kerja sejak rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a diterima.
(5) Penetapan Status Telah Selesainya Pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) paling sedikit memuat:
a. identitas Penanggungjawab usaha dan/atau
kegiatan;
b. lokasi pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3;
c. luasan/volume Lahan Terkontaminasi Limbah B3
yang dipulihkan;
d. metode pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah
B3;
e. ringkasan hasil verifikasi;
f. pernyataan bahwa:
1. pemulihan fungsi lingkungan hidup yang
dilaksanakan telah layak dan dapat dihentikan;
dan
2. lingkungan hidup telah kembali pada fungsi
semula sebelum terjadinya pencemaran
lingkungan hidup dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
Pasal 26
Jangka waktu verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (2) tidak termasuk jangka waktu yang diperlukan
pemohon untuk memperbaiki dokumen dan melakukan
tindakan koreksi terhadap pelaksanaan pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3.
Pasal 27
(1) Pelaksana pemulihan yang telah mendapatkan Penetapan
Status Telah Selesainya Pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (4) wajib melakukan pemantauan
Pasca Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3.
(2) Pemantauan Pasca Pemulihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan kualitas air
tanah melalui pengambilan dan pengujian sampel air
tanah di sekitar lokasi bekas Lahan Terkontaminasi
Limbah B3.
(3) Pemantauan Pasca Pemulihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam
6 (enam) bulan, selama 1 (satu) tahun.
(4) Hasil pemantauan Pasca Pemulihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan kepada Menteri.
Pasal 28
Menteri dapat mendelegasikan kewenangannya kepada
Direktur Jenderal, untuk:
a. menerbitkan Persetujuan Rencana Pemulihan Fungsi
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (6); dan/atau
b. menerbitkan Penetapan Status Telah Selesainya
Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4).
BAB III
PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH BAHAN
BERBAHAYA DAN BERACUN OLEH PEMERINTAH DAN/ATAU
PEMERINTAH DAERAH
Pasal 29
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya
melakukan pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
dengan ketentuan:
a. lokasi pencemaran tidak diketahui sumber
pencemarannya; dan/atau
b. tidak diketahui pihak yang melakukan pencemaran.
(2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali
kota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan:
a. untuk Lahan Terkontaminasi Limbah B3 yang:
1. berlokasi di lintas wilayah provinsi; dan/atau
2. berlokasi di lahan lintas batas Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan negara lain,
pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
dilakukan oleh Menteri;
b. untuk Lahan Terkontaminasi Limbah B3 yang
berlokasi di lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1
(satu) provinsi, pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 dilakukan oleh gubernur; dan
c. untuk Lahan Terkontaminasi Limbah B3 yang
berlokasi di wilayah kabupaten/kota, pemulihan
Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dilakukan oleh
bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Dalam hal bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c tidak mampu melaksanakan tugasnya,
pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 diserahkan
kepada gubernur.
(5) Dalam hal gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b dan ayat (4) tidak mampu melaksanakan
tugasnya, pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
diserahkan kepada Menteri.
(6) Penyerahan pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
disampaikan secara tertulis.
Pasal 30
(1) Dalam melaksanakan pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3, Menteri, gubernur dan bupati/wali kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 membentuk tim
kerja pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3.
(2) Tim kerja pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. tim kerja pusat yang dibentuk oleh Menteri;
b. tim kerja provinsi yang dibentuk oleh gubernur; dan
c. tim kerja kabupaten/kota yang dibentuk oleh
bupati/wali kota.
Pasal 31
(1) Tim kerja pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) terdiri
atas:
a. ketua;
b. sekretaris; dan
c. anggota.
(2) Ketua tim kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dijabat oleh:
a. Direktur Jenderal, untuk tim kerja pusat;
b. gubernur, untuk tim kerja provinsi; dan
c. bupati/wali kota, untuk tim kerja kabupaten/kota.
(3) Sekretaris tim kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b yaitu:
a. pejabat eselon II yang membidangi pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3, untuk tim kerja pusat;
b. pejabat eselon II di instansi yang membidangi
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
tingkat provinsi, untuk tim kerja provinsi; dan
c. pejabat eselon II di instansi yang membidangi
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
tingkat kabupaten/kota, untuk tim kerja
kabupaten/kota.
(4) Anggota tim kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdiri dari unsur:
a. perwakilan kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terkait, dan perangkat daerah
terkait tingkat provinsi dan kabupaten/kota, untuk
tim kerja pusat;
b. perwakilan kementerian yang membidangi
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
perangkat daerah terkait tingkat provinsi dan
kabupaten/kota, untuk tim kerja provinsi; dan
c. perwakilan kementerian yang membidangi
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
perangkat daerah terkait tingkat kabupaten/kota,
untuk tim kerja kabupaten/kota.
(5) Anggota tim kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat dibantu oleh pakar.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan tugas tim kerja
pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ditetapkan oleh
Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 33
Ketentuan mengenai tahapan pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 17, dan Pasal 27 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 yang dilaksanakan oleh tim kerja.
Pasal 34
(1) Dalam hal terdapat kegiatan masyarakat dan/atau
fasilitas umum yang berlokasi pada Lahan
Terkontaminasi Limbah B3, tim kerja melakukan:
a. pemberian informasi mengenai Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 kepada masyarakat
terkena dampak;
b. relokasi;
c. pemberian kompensasi;
d. pembongkaran; dan/atau
e. tindakan lain sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(2) Dalam hal Lahan Terkontaminasi Limbah B3 berjumlah
lebih dari satu, tim kerja menentukan urutan prioritas
pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 melalui
analisis risiko atas keberadaan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3.
Pasal 35
(1) Analisis risiko atas keberadaan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(2) dilakukan terhadap aspek:
a. karakteristik lepasan kontaminan yang terdapat
pada Lahan Terkontaminasi Limbah B3;
b. jalur migrasi kontaminan;
c. penerima dampak kontaminasi; dan
d. penyebab Lahan Terkontaminasi Limbah B3.
(2) Aspek karakteristik lepasan kontaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a mempertimbangkan sub
aspek:
a. jenis kategori bahaya berdasarkan hasil identifikasi
zat kontaminan sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Perundangan di bidang Pengelolaan
Limbah B3;
b. tipe lepasan kontaminan;
c. jumlah lepasan kontaminan; dan
d. luas lahan terkontaminasi.
(3) Aspek jalur migrasi kontaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b mempertimbangkan sub aspek:
a. jalur migrasi air permukaan, berdasarkan:
1. curah hujan; dan
2. ada tidaknya badan air permukaan terdekat.
b. jalur migrasi air tanah, berdasarkan:
1. distribusi curah hujan; dan
2. Permeabilitas tanah.
c. jalur migrasi udara, berdasarkan:
1. volatilitas kontaminan; dan
2. arah angin dominan.
3. jalur migrasi tanah.
(4) Aspek penerima dampak kontaminasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c mempertimbangkan sub
aspek:
a. keberadaan manusia yang terkena dampak
langsung; dan
b. keberadaan ekosistem sensitif yang terkena dampak
langsung.
(5) Aspek kriteria Penyebab Lahan Terkontaminasi Limbah
B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
mempertimbangkan sub aspek bencana alam.
Pasal 36
(1) Hasil analisis risiko atas keberadaan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 disusun dalam bentuk indeks risiko
dengan kriteria:
a. prioritas tinggi;
b. prioritas sedang; dan
c. prioritas rendah.
(2) Lahan Terkontaminasi Limbah B3 memenuhi kriteria
prioritas tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, jika nilai indeks risiko > 3,5 (lebih besar dari tiga
koma lima).
(3) Lahan Terkontaminasi Limbah B3 memenuhi kriteria
prioritas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, jika nilai indeks risiko ≤ 3,5 (sama dengan atau
lebih kecil dari tiga koma lima) dan > 2,5 (lebih besar dari
dua koma lima).
(4) Lahan Terkontaminasi Limbah B3 memenuhi kriteria
prioritas rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, jika nilai indeks risiko ≤2,5 (sama dengan atau
lebih kecil dari dua koma lima) dan ≥2.05 (lebih besar
atau sama dengan dua koma nol lima).
Pasal 37
Tata cara pelaksanaan analisis risiko atas keberadaan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 dan Pasal 36 tercantum dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal 38
(1) Hasil pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 yang
telah dilaksanakan oleh tim kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 disusun dalam bentuk laporan yang
paling sedikit memuat:
a. ringkasan hasil evaluasi; dan
b. status fungsi lingkungan hidup dari lahan yang
telah dilakukan pemulihan.
(2) Dalam hal status fungsi lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b menunjukkan bahwa
lahan terkontaminasi telah berhasil dipulihkan,
pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dinyatakan
telah selesai.
Pasal 39
(1) Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dilakukan
bersamaan dengan proses penelusuran pihak yang
bertanggung jawab atas pencemaran dan/atau
kerusakan pada Lahan Terkontaminasi Limbah B3.
(2) Dalam hal pihak yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diketahui, Pemerintah atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
membebankan penggantian atas setiap biaya yang
dikeluarkan dalam pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 kepada pihak yang bertanggung jawab.
(3) Penggantian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Perundangundangan.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 40
Segala biaya yang timbul dari pelaksanaan Peraturan Menteri
ini dibebankan kepada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber
lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, untuk pelaksanaan
tugas dan kewajiban Menteri dan Pemerintah Daerah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
b. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang
melakukan pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Persetujuan rencana pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah B3 yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Menteri
ini berlaku, tetap berlaku sebagai dasar pemulihan Lahan
Terkontaminasi Limbah B3.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 33 Tahun 2009
tentang Tata Cara Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 43
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1700
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM,
ttd.
KRISNA RYA
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
P.102/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018
TENTANG
TATA CARA PERIZINAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH MELALUI PELAYANAN
PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam
yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan
dan perikehidupan manusia serta mahkluk hidup
lainnya, sehingga harus dijaga kualitasnya untuk
kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang
serta keseimbangan ekosistem;
b. bahwa untuk menjaga kualitas air, perlu dilakukan
upaya pengendalian Pencemaran Air dengan
pembatasan pembuangan Air Limbah melalui
instrumen perizinan;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan
perizinan yang efektif, efisien, dan transparan kepada
Pelaku Usaha guna mendukung kelancaran dan
kecepatan di bidang perizinan, perlu menerapkan
sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara
elektronik;
d. bahwa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/
7/2018 Tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria
Pelayanan Perizinan Terintegrasi Secara Elektronik
Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup Dan
Kehutanan, perlu dijabarkan lebih lanjut mengenai tata
cara perizinan bidang pembuangan Air Limbah yang
terintegrasi melalui pelayanan perizinan berusaha
terintegrasi secara elektronik;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang Tata Cara Perizinan Pembuangan
Air Limbah Melalui Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3816);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4161);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang
Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5285);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6215);
6. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
8. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang
Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Pelayanan
Perizinan Terintegrasi Secara Elektronik Lingkup
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 927);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG TATA CARA PERIZINAN
PEMBUANGAN AIR LIMBAH MELALUI PELAYANAN
PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA
ELEKTRONIK.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau
Online Single Submission yang selanjutnya disingkat
OSS adalah Perizinan Berusaha yang diberikan
menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali
kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik
yang terintegrasi.
2. Pelaku Usaha adalah badan usaha atau perseorangan
yang melakukan kegiatan usaha pada bidang tertentu.
3. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB
adalah identitas Pelaku Usaha yang diterbitkan oleh
Lembaga OSS setelah Pelaku Usaha melakukan
Pendaftaran.
4. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang
selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga
pemerintahan nonkementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman
modal.
5. Komitmen adalah pernyataan Pelaku Usaha untuk
memenuhi persyaratan Izin Usaha dan/atau Izin
Komersial atau Operasional.
6. Izin Pembuangan Air Limbah adalah izin yang
diberikan kepada setiap usaha dan/atau kegiatan
untuk melakukan pembuangan dan/atau
pemanfaatan Air Limbah ke media lingkungan.
7. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan.
8. Air Limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau
kegiatan yang berwujud cair.
9. Instalasi Pengolahan Air Limbah yang selanjutnya
disingkat IPAL adalah sebuah infrastuktur yang
dirancang untuk mengelola Air Limbah secara fisika,
kimia dan/atau biologi sehingga memenuhi Baku
Mutu Air Limbah.
10. Badan Air adalah air yang terkumpul dalam suatu
wadah bak alami maupun buatan yang mempunyai
tabiat hidrologikal, wujud/fisik, kimiawi, dan hayati
yang dapat dimanfaatkan untuk suatu/beberapa
keperluan/ kegunaan, termasuk dalam pengertian ini
cekungan air tanah, sungai, rawa dan danau.
11. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait
padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek fungsi.
12. Baku Mutu Air Limbah adalah ukuran batas atau
kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam Air
Limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam
Badan Air atau laut dari suatu usaha dan/atau
kegiatan.
13. Pencemaran Air adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain
ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu Air Limbah yang telah
ditetapkan.
14. Mutu Air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan
atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu
dan metoda tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
15. Status Mutu Air adalah tingkat kondisi mutu air yang
menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada
suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan
membandingkan dengan baku mutu air yang
ditetapkan.
16. Kelas Air adalah peringkat kualitas air yang dinilai
masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan
tertentu.
17. Titik Pembuangan adalah lokasi dikeluarkannya Air
Limbah secara permanen yang ditentukan berdasarkan
koordinat dan jarak dari instalasi proses produksi
suatu industri.
18. Titik Asupan adalah titik pengambilan air baku untuk
proses produksi suatu industri.
19. Pencemaran Laut adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain
ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi
dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
21. Direktur Jenderal adalah eselon I yang bertanggung
jawab bidang pengendalian Pencemaran Air.
Pasal 2
Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan:
a. pembuangan Air Limbah ke laut;
b. pembuangan Air Limbah ke air permukaan; dan/atau
c. pemanfaatan Air Limbah secara aplikasi ke tanah,
wajib memiliki Izin Pembuangan Air Limbah dari Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 3
(1) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
mengajukan permohonan Izin Pembuangan Air
Limbah melalui Lembaga OSS.
(2) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Lembaga OSS menerbitkan Izin Pembuangan
Air Limbah dengan Komitmen.
(3) Pelaku Usaha yang telah memiliki Izin Pembuangan
Air Limbah dengan Komitmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengajukan permohonan pemenuhan
Komitmen kepada:
a. Menteri melalui Direktur Jenderal, untuk usaha
dan/atau kegiatan yang melakukan pembuangan
Air Limbah ke laut;
b. gubernur, untuk usaha dan/atau kegiatan yang :
1. melakukan pembuangan Air Limbah ke
laut; dan
2. berlokasi di wilayah provinsi yang
mendapatkan pendelegasian kewenangan
dari Menteri.
c. bupati/wali kota, untuk usaha dan/atau kegiatan
yang melakukan:
1. pembuangan Air Limbah ke air
permukaan; atau
2. pemanfaatan Air Limbah secara aplikasi ke
tanah.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disertai dengan:
a. NIB;
b. Izin Lingkungan definitif;
c. Izin Komersial/Operasional dengan
Komitmen; dan
d. pernyataan pemenuhan Komitmen yang ditanda
tangani paling rendah setingkat manajer yang
membidangi urusan lingkungan.
(5) Pernyataan pemenuhan Komitmen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf c dilengkapi dengan
dokumen teknis sesuai dengan kegiatan pembuangan
dan/atau pemanfaatan Air Limbah yang dimohonkan.
(6) Dokumen permohonan pemenuhan Komitmen
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
disampaikan dalam bentuk salinan cetak disertai
dengan dokumen asli.
(7) Pernyataan pemenuhan Komitmen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf c disusun dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
(1) Dokumen teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (5) untuk kegiatan pembuangan Air Limbah ke
air permukaan terdiri atas:
a. kajian pembuangan Air Limbah ke air
permukaan;
b. informasi mengenai tata letak industri
keseluruhan dan penandaan unit yang berkaitan
dengan pengelolaan Air Limbah;
c. neraca air dan Air Limbah yang menggambarkan
keseluruhan sistem yang berkaitan dengan
pengelolaan Air Limbah;
d. informasi mengenai deskripsi sistem IPAL;
e. informasi yang menjelaskan upaya yang
dilakukan dalam melakukan pengelolaan Air
Limbah;
f. informasi uraian penanganan kondisi darurat
Pencemaran Air;
g. prosedur operasional standar tanggap darurat
IPAL; dan
h. pakta integritas.
(2) Dokumen teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (5) untuk kegiatan pembuangan Air Limbah ke
laut terdiri atas:
a. kajian pembuangan Air Limbah ke laut;
b. informasi mengenai tata letak industri
keseluruhan dan penandaan unit yang berkaitan
dengan pengelolaan Air Limbah;
c. neraca air menggambarkan keseluruhan sistem
pengelolaan Air Limbah;
d. informasi mengenai deskripsi dari sistem
pengolahan IPAL;
e. informasi yang menjelaskan upaya yang
dilakukan dalam pengelolaan Air Limbah;
f. informasi uraian penanganan kondisi darurat
Pencemaran Laut;
g. prosedur operasional standar tanggap darurat
tanggap darurat IPAL; dan
h. pakta integritas.
(3) Dokumen teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (5) untuk pemanfaatan Air Limbah secara
aplikasi ke tanah terdiri atas:
a. informasi mengenai produksi;
b. neraca massa air dan Air Limbah;
c. rencana pengelolaan Air Limbah;
d. rona lingkungan pada lokasi pemanfaatan Air
Limbah ke tanah; dan
e. pakta integritas.
(4) Persyaratan teknis pembuangan dan/atau
pemanfaatan Air Limbah disusun dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(1) Direktur Jenderal, kepala instansi lingkungan hidup
provinsi, dan kepala instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya
melakukan pengawasan terhadap permohonan
pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (4) huruf c,.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tahapan:
a. validasi dokumen;
b. verifikasi; dan
c. penerbitan notifikasi.
Pasal 6
(1) Validasi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2) huruf a dilakukan untuk memastikan
kelengkapan dan kebenaran dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a, huruf b dan
huruf c, dan Pasal 5.
(2) Dalam hal hasil validasi menyatakan permohonan:
a. lengkap dan benar, Direktur Jenderal, kepala
instansi lingkungan hidup provinsi atau kepala
instansi lingkungan hidup kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya menerbitkan tanda bukti
validasi; atau
b. tidak lengkap atau tidak benar, Direktur
Jenderal, kepala instansi lingkungan hidup
provinsi atau kepala instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya
menerbitkan tanda bukti ketidaklengkapan
dokumen.
(3) Terhadap permohonan yang dinyatakan tidak lengkap
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
pemohon dapat mengajukan kelengkapan dokumen
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanda
bukti ketidaklengkapan dokumen diterbitkan.
(4) Dalam hal penyempurnaan tidak dilakukan sampai
dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), permohonan dinyatakan batal.
(5) Terhadap permohonan yang dinyatakan batal
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur
Jenderal, kepala instansi lingkungan hidup provinsi,
atau kepala instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota menyampaikan tanda bukti
ketidaklengkapan dokumen dan permohonan
dinyatakan batal kepada Lembaga OSS.
(6) Tanda bukti validasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disusun dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 7
(1) Permohonan yang telah mendapatkan tanda bukti
validasi, dilakukan verifikasi.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk memastikan kesesuaian antara
dokumen teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dengan kebenaran di lapangan.
(3) Hasil verifikasi disusun dalam bentuk berita acara
yang berisi informasi:
a. Komitmen terpenuhi; atau
b. Komitmen tidak terpenuhi.
(4) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disusun dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
(1) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3), Direktur Jenderal, kepala
instansi lingkungan hidup provinsi atau kepala
instansi lingkungan hidup kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya menerbitkan:
a. surat rekomendasi telah terpenuhinya
Komitmen; atau
b. surat rekomendasi belum terpenuhinya
Komitmen, disertai alasan.
(2) Surat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a memuat informasi:
a. sumber Air Limbah;
b. sistem pengelolaan Air Limbah;
c. debit Air Limbah, Baku Mutu Air Limbah dan
beban pencemaran yang diizinkan dibuang ke
lingkungan;
d. koordinat dan nama lokasi:
1. titik penaatan,
2. Titik Pembuangan Air Limbah; dan
3. titik pemantuan kualitas air di badan air
atau laut.
e. penanganan sarana dan prosedur
penanggulangan keadaan darurat;
f. prosedur operasional standar tanggap darurat
tanggap darurat IPAL; dan
g. kewajiban dan larangan.
(3) Surat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disusun dengan menggunakan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini
Pasal 9
(1) Surat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) menjadi dasar Menteri, gubernur, dan
bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya dalam
menerbitkan:
a. Izin Pembuangan Air Limbah; atau
b. surat pernyataan belum terpenuhinya komitmen.
(2) Izin Pembuangan Air Limbah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a memuat informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(3) Izin Pembuangan Air Limbah atau surat pernyataan
belum terpenuhinya komitmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga OSS
melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
Pasal 10
(1) Validasi dokumen sampai dengan penerbitan Izin
Pembuangan Air Limbah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dan Pasal 9 dilakukan paling lama 25
(dua puluh lima) hari kerja sejak permohonan
diterima.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak termasuk waktu yang diperlukan bagi pemohon
dalam melengkapi dokumen.
Pasal 11
(1) Berdasarkan Izin Pembuangan Air Limbah atau surat
pernyataan belum terpenuhinya komitmen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3),
Lembaga OSS menerbitkan:
a. pernyataan definitif Izin Pembuangan Air
Limbah; atau
b. pernyataan tidak dipenuhinya Komitmen Izin
Pembuangan Air Limbah.
(2) Pelaku usaha yang telah mendapatkan pernyataan
definitif Izin Pembuangan Air Limbah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat langsung
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
(3) Pelaku Usaha yang mendapatkan pernyataan tidak
dipenuhinya Komitmen Izin Pembuangan Air Limbah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat
mengajukan permohonan kembali.
Pasal 12
Pelaku Usaha yang telah mendapatkan pernyataan definitif
Izin Pembuangan Air Limbah wajib menaati kewajiban dan
larangan yang tercantum dalam Izin Pembuangan Air
Limbah.
Pasal 13
(1) Izin Pembuangan Air Limbah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a berlaku selama 5
(lima) tahun dan dapat diperpanjang.
(2) Perpanjangan Izin Pembuangan Air Limbah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diajukan
oleh Pelaku Usaha paling lambat 60 (enam puluh) hari
kerja sebelum masa berlakunya Izin Pembuangan Air
Limbah berakhir.
Pasal 14
(1) Menteri, gubernur atau bupati/wali kota melakukan
pengawasan ketaatan Pelaku Usaha terhadap Izin
Pembuangan Air Limbah definitif.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Pasal 15
Permohonan Izin Pembuangan Air Limbah:
a. yang telah diajukan oleh Pelaku Usaha sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik, dan belum diterbitkan
Izinnya, harus mengajukan permohonan Izin
Pembuangan Air Limbah melalui sistem OSS; atau
b. yang telah selesai dilakukan verifikasi sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses melalui
sistem OSS tanpa perlu dilakukan verifikasi kembali.
Pasal 16
Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Pembuangan
Air Limbah sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik berlaku, harus mendaftarkan perizinan
tersebut melalui sistem OSS untuk mendapatkan NIB.
Pasal 17
(1) Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, semua
ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
mengatur pelayanan perizinan di bidang pembuangan
Air Limbah, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.
(2) Peraturan Menteri ini dikecualikan terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik.
(3) Permohonan perizinan di luar sistem OSS sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan sepanjang
tidak ada perubahan kebijakan tentang:
a. sektor yang dikecualikan dari pelaksanaan
reformasi peraturan perizinan berusaha
berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi; atau
b. jenis perizinan berusaha yang dilaksanakan
melalui OSS sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi.
Pasal 18
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2018
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ttd.
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1701
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM
ttd.
KRISNA RYA
d